Oleh: Zubaidah Jufri, S.H., M.Kn., CHRP.

 

Setiap manusia pada akhirnya akan meninggalkan dunia ini untuk selamanya. Tidak ada yang tahu usia seseorang, karena ajal dapat menjemput kapanpun dan dimanapun kita berada. Ketika seseorang pergi untuk selamanya, maka seluruh harta bendanya baik hak maupun kewajibannya akan langsung menjadi waris yang pembagiannya sudah diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sering kali hal ini menjadi sengketa waris di kemudian hari.

Berbicara tentang waris memang masih dianggap tabu bagi sebagian besar masyarakat. Ingin rasanya membahas soal waris tapi khawatir akan dianggap tamak ataupun tidak elok oleh keluarga. Bahkan pembahasan waris dapat menyebabkan keretakan hubungan di antara sesama anggota keluarga. Padahal waris akan selalu melekat dalam kehidupan manusia karena kematian adalah suatu keniscayaan yang pasti terjadi.

Situasi dapat menjadi buruk apabila ada salah satu atau sebagian ahli waris yang merasa tidak adil dalam pembagian harta waris. Belum lagi jika ada yang merasa harta waris disembunyikan atau dikuasai oleh ahli waris lainnya. Jika sudah begini pembahasan waris identik dengan masalah yang berujung sengketa di pengadilan. Hal sensitif lainya dalam membahas waris adalah saat menentukan siapa yang berhak dan tidak berhak mendapat waris, serta jumlah bagian masing-masing ahli waris.

Penyebab terjadinya konflik keluarga dalam hal waris bisa disebabkan karena kurangnya pengetahuan sehingga ahli waris idak memahami apa yang menjadi hak atau kewajibannya terhadap harta waris. Kurangnya pengetahuan juga dapat menyebabkan sulitnya mencapai kesepakatan dalam pembagian waris. Apalagi jika harta waris baru akan dibagi setelah melewati beberapa generasi berikutnya, akan menimbulkan kerumitan dalam menetapkan ahli waris yang sah maupun perhitungan bagian-bagiannya.

Konflik antar ahli waris juga sering terjadi karena sikap egois yang ingin menang sendiri dalam mendapatkan bagian harta waris yang terbesar atau terbaik. Misalnya pewaris meninggalkan tiga bidang tanah, para ahli warisnya berebutan untuk mendapatkan tanah yang lokasinya paling strategis.

Pembagian waris di Indonesia sudah diatur dalam tiga sumber hukum, yaitu Hukum Islam, Hukum Perdata, dan Hukum Adat. Bagi pewaris yang beragama Islam, maka pembagian warisnya tunduk pada Hukum Islam yang berpedoman pada Kompilasi Hukum Islam, sedangkan non-Islam dapat memilih antara Hukum Adat atau KUHPerdata. Penyelesaian sengketa dengan Hukum Islam dilakukan melalui Pengadilan Agama sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Sedangkan untuk penyelesaian sengketa berdasarkan sumber KUHPerdata dan Hukum Adat dilakukan melalui Pengadilan Negeri.

Sebenarnya untuk menghindari potensi sengketa waris di kemudian hari, setiap orang dapat mempersiapkannya dengan membuat wasiat danatau hibah pada saat masih hidup. Dalam Pasal 171 huruf (f) Kompilasi Hukum Islam, mendefinisikan wasiat sebagai pemberian suatu benda dari pewaris kepada orang lain atau lembaga yang akan berlaku setelah pewaris meninggal dunia. Wasiat ini dibuat pada saat pewaris masih hidup dan diserahkan kepada penerimanya setelah pewaris meninggal dunia.

Adapun hibah juga diperbolehkan dalam Hukum Islam, yaitu pemberian dari seseorang yang masih hidup kepada orang lain. Hibah orang tua kepada anaknya juga diperbolehkan, namun dapat diperhitungkan sebagai warisan. Hibah orang tua kepada anaknya juga dapat ditarik kembali. Baik wasiat maupun hibah hanya dapat diterapkan sebanyak-banyaknya 1/3 harta benda dari si pewaris.

Pemberian hibah dan wasiat juga diperbolehkan dalam KUHPerdata. Harta benda yang menjadi objek hibah atau wasiat dalam Hukum Perdata tidak boleh melebihi legitime portie atau bagian mutlak dari para ahli waris. Legitime portie adalah bagian dan harta benda yang harus diberikan kepada para ahli waris dalam garis lurus menurut undang-undang, yang terhadapnya orang yang meninggal dunia tidak boleh menetapkan sesuatu, baik sebagai hibah antara orang-orang yang masih hidup, maupun sebagai wasiat (Pasal 913 KUHPerdata). Pemberian hibah atau wasiat yang mengakibatkan berkurangnya bagian mutlak dalam pewarisan, dapat dilakukan pengurangan dengan tuntutatn dari ahli waris atau pengganti mereka (Pasal 920 KUHPerdata). Sehingga jika para ahli waris sepakat dan tidak mengajukan tuntutan terhadap berkurangnya legitime portie, maka hibah ataupun wasiat tersebut tetap berlaku.

Hukum Adat juga memperbolehkan hibah dan wasiat, namun ketentuannya diatur menurut adatnya masing-masing. Hukum Adat dalam pewarisan memiliki corak dan sifatnya sendiri yang berbeda dengan Hukum Islam maupun Hukum Perdata. Hukum Adat mengenal tiga sistem kekerabatan, yaitu: (a) sistem patrilineal, kedudukan laki-laki lebih menonjol dibandingkan perempuan dalam pewarisan; (b) sistem matrilineal, kedudukan perempuan lebih menonjol dibandingkan laki-laki dalam pewarisan; dan (c) sistem parental, kedudukan laki-laki dan perempuan tidak dibedakan dalam pewarisan.

Pemberian wasiat dan hibah memang lebih bersifat preventif untuk mencegah terjadinya konflik waris di kemudian hari. Khususnya hibah karena pembagiannya dilakukan saat pewaris masih hidup sehingga lebih dapat terkontrol dan mencegah terjadinya pertengkaran.

Namun demikian dalam beberapa kasus tertentu, justru sengketa waris bermula dari pembagian harta benda melalui wasiat. Penerima wasiat yang memperoleh harta peninggalan pewaris akan dihadapkan dengan para ahli waris yang merasa memiliki hak lebih. Begitu juga hibah orang tua kepada anaknya malah menimbulkan konflik baru karena ahli waris yang tidak menerima hibah atau menerima hibah tetapi jumlahnya lebih kecil dapat menuntut menarik hibah atau paling tidak menerapkannya sebagai bagian warisan untuk penerima hibah.

Padahal sebenarnya selama pewaris memahami aturan terkait hibah dan wasiat, seharusnya konflik tidak akan terjadi. Ada batas maksimal wasiat maupun hibah harusnya ditaati oleh pewaris. Tata cara hibah maupun wasiat juga telah diatur dalam Kompilasi Hukum Islam, yaitu dilakukan secara lisan atau tertulis di hadapan dua orang saksi atau di hadapan Notaris. Sedangkan dalam KUHPerdata wasiat harus dalam bentuk tertulis yang diketahui dua orang saksi dan Notaris. Untuk hibah ada yang mengharuskan tertulis dengan akta Notaris ada yang tidak (lihat Pasal 1687 KUHPerdata).

Begitu juga keterbukaan informasi dari pewaris kepada para ahli warisnya sangat penting untuk meghindari sengketa. Seperti informasi mengenai harta benda, piutang maupun utang, hibah atau wasiat yang akan atau telah dilakukan, termasuk juga terkait ahli waris lainnya. Mengingat pernah ada beberapa kasus di Indonesia dimana setelah pewaris meninggal tiba-tiba muncul perempuan yang mengaku sebagai istri siri ataupun seseorang yang mengaku sebagai anak kandung menuntut pembagian harta warisan. Dampak dari miss informasi di atas tentu sangat berpotensi menimbulkan konflik harta warisan.

Pada akhirnya jika terjadi sengketa penyelesaiannya dilakukan melalui pengadilan. Tidak hanya waktu dan biaya yang akan terkuras, harta benda yang menjadi objek sengketa waris bisa jadi akan terbengkalai dan berkurang value-nya karena dalam keadaan status quo dimana tidak ada pihak yang boleh melakukan perbuatan hukum terhadapnya.

Kematian adalah suatu keniscayaan yang pasti terjadi, sehingga selagi ada kesempatan sudah sepatutnya mempersiapkan anggota keluarga yang akan menjadi ahli waris untuk memahami hukum waris yang berlaku sesuai agamanya. Adapun pemberian hibah ataupun wasiat baiknya dilakukan dengan sepengetahuan para ahli waris dengan batasan jumlah sesuai yang telah diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku.

 

DISCLAIMER:

Any information contained in this Article  is provided for informational purposes only and should not be construed as legal advice on any subject matter.  You should not act or refrain from acting on the basis of any content included in this Legal Update without seeking legal or other professional advice.  This document is copyright protected. No part of this document may be disclosed, distributed, reproduced or transmitted in any form or by any means, including photocopying and recording or stored in retrieval system of any nature without the prior written consent of SIP Law Firm.

Setiap informasi yang terkandung dalam Artikel ini disediakan hanya untuk tujuan informasi dan tidak boleh ditafsirkan sebagai nasihat hukum tentang masalah apa pun. Anda tidak boleh bertindak atau menahan diri dari bertindak berdasarkan konten apa pun yang termasuk dalam Update Hukum ini tanpa mencari nasihat hukum atau profesional lainnya. Dokumen ini dilindungi hak cipta. Tidak ada bagian dari dokumen ini yang dapat diungkapkan, didistribusikan, direproduksi atau dikirim dalam bentuk apa pun atau dengan cara apa pun, termasuk fotokopi dan rekaman atau disimpan dalam sistem pengambilan apa pun tanpa persetujuan tertulis sebelumnya dari Firma Hukum SIP.