Oleh: Oska Denu Triatmaja, S.H.

 

Anak merupakan masa depan bangsa dan negara, anak memiliki masa harapan hidup panjang di mana kelak akan menjadi penerus suatu bangsa dan negara. Maka dari itu, perlindungan terhadap hak anak harus dikedepankan. diversi Anak memiliki karakteristik khusus (spesifik) dibandingkan dengan orang dewasa dan merupakan salah satu kelompok rentan yang haknya masih terabaikan, oleh karena itu hak-hak anak menjadi penting diprioritaskan.[1]

Di mata hukum positif di Indonesia (ius constitutum/ ius operatum) lazim diartikan sebagai orang yang belum dewasa (minderjarig/person under age), orang yang di bawah umur/keadaan di bawah umur (minderjarig heid/inferiority) atau kerap juga disebut juga sebagai anak yang berada di bawah pengawasan wali (minderjarige under voordij). Konklusi substansinya, ternyata hukum positif Indonesia tidak mengenal unifikasi hukum bersifat baku, imperatif dan berlaku secara universal keseragaman terminologis teknis yuridis pengertian Anak serta tidak menentukan kriteria batasan umur bagi seorang anak.[2]

Dalam hal hukum pidana pembatasan umur Anak identik dengan batas usia pertanggungjawaban pidana seorang Anak yang dapat diajukan ke depan persidangan peradilan pidana Anak.

Pada saat ini, hukum mengenai peradilan pidana Anak diatur dalam Undang-undang Nomor 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (selanjutnya disebut UU SPPA). Kemudian batasan umur Anak diatur dalam ketentuan pasal 1 ayat (3) UU SPPA yang menyebutkan bahwa Anak yang berkonflik dengan hukum adalah Anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun akan tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana.

Dalam hal Penyelesaian perkara pidana Anak, pengadilan Anak mengupayakan untuk kepentingan terbaik Anak, baik dari segi fisik maupun psikologis. Dalam pasal 5 ayat (1) UU SPPA disebutkan bahwa sistem peradilan Anak wajib mengutamakan pendekatan Keadilan Restoratif. Selanjutnya apa itu Keadilan Restoratif? Keadilan Restoratif dijelaskan dalam pasal 1 ayat (6) yang menyebutkan Keadilan Restoratif adalah penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula dan bukan pembalasan. Salah satu dari proses pengadilan Anak adalah adanya diversi.

Apa itu Diversi

Diversi adalah pengalihan penyelesaian perkara Anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana, hal ini tertuang dalam pasal 1 ayat (6) UU SPPA. Tujuan dari Diversi itu sendiri diatur oleh pasal 6 UU SPPA yang bertujuan untuk:

  1. Mencapai perdamaian antara korban dan anak;
  2. Menyelesaikan perkara anak di luar proses peradilan;
  3. Menghindarkan anak dari perampasan kemerdekaan;
  4. Mendorong masyarakat untuk berpartisipasi; dan
  5. Menanamkan rasa tanggung jawab kepada anak.

Diversi dilakukan berdasarkan pendekatan keadilan atau peradilan berbasis musyawarah atau keadilan restoratif. Substansi keadilan atau peradilan berbasis musyawarah atau keadilan restoratif merupakan penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula (restitutio in integrum), dan bukan pembalasan.[3]

Diversi tidak diterapkan kepada semua tindak pidana yang dilakukan oleh Anak. Hal ini dengan tegas diatur dalam Pasal 7 ayat (2) UU SPPA yang menyatakan bahwa:

Diversi dilaksanakan dalam hal tindak pidana yang dilakukan :

(a) diancam dengan pidana  penjara dibawah 7 (tahun);

(b) bukan merupakan pengulangan tindak pidana.

Menurut Peraturan Mahkamah Agung No. 4 Tahun 2014 (selanjutnya disebut Perma No. 4 Tahun 2014), Musyawarah diversi adalah musyawarah antara pihak yang melibatkan anak dan orang tua/wali, korban dan/atau orang tua/wali, pembimbing kemasyarakatan, pekerja sosial profesional, perwakilan dan pihak-pihak yang terlibat lainnya untuk mencapai kesepakatan melalui pendekatan keadilan restoratif. Sedangkan fasilitator adalah hakim yang ditunjuk oleh ketua Pengadilan untuk menangani perkara anak yang bersangkutan. Dalam Pasal 2 Perma No. 4 Tahun 2014, dijelaskan bahwa diversi diberlakukan terhadap anak yang telah berumur 12 (tahun) tetapi belum berumur 18 (tahun) atau telah berumur 12 (tahun) meskipun pernah kawin tetapi belum berumur 18 (tahun).

UU SPPA menentukan bahwa proses diversi pada setiap tingkat pemeriksaan yaitu pada tahap penyidikan, penuntutan, dan persidangan Anak. Hal ini secara tegas disebutkan dalam pasal 7 ayat (1) UU SPPA. Jika tidak dalam salah satu tingkat pemeriksaan tidak dilaksanakannya diversi maka dalam pasal 95 UU SPPA memberikan ancaman sanksi administratif bagi pejabat atau petugas yang melanggar mengupayakan diversi sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan terdapat sanksi pidana bagi Penyidik, Penuntut Umum, dan Hakim yang dengan sengaja tidak melaksanakan kewajiban dalam melaksanakan diversi di mana diatur dalam pasal 96 UU SPPA dengan ancaman pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp. 200.000.000,- (dua ratus juta rupiah).

Dalam Pasal 8 ayat (3) UU SPPA proses yang dilakukan wajib memperhatikan:

  1. Kepentingan korban;
  2. Kesejahteraan dan tanggung jawab Anak;
  3. Penghindaran stigma negatif;
  4. Menghindari pembalasan;
  5. Keharmonisan masyarakat; dan
  6. Kepatutan, kesusilaan, dan ketertiban umum.

Dalam UU SPPA upaya wajib dilakukan Diversi pada tingkat Penyidikan diatur dalam ketentuan Pasal 7, Pasal 27, Pasal 28, dan Pasal 29 UU SPPA. Apabila diperinci, Hal ini dilakukan ditingkat penyidikan lazimnya dalam praktik dilakukan melalui langkah-langkah sebagai berikut:

  1. Setelah tindak pidana dilaporkan atau diadukan, kemudian dibuat Laporan Polisi, maka Penyidik wajib bersurat untuk meminta pertimbangan dan saran tertulis dari petugas Pembimbing Kemasyarakatan atau Balai Pemasyarakatan (Bapas);
  2. Hasil Penelitian Kemasyarakatan wajib diserahkan oleh Bapas kepada Penyidik dalam waktu paling lama 3 x 24 jam setelah permintaan Penyidik diterima;
  3. Penyidik wajib mulai mengupayakan diversi dalam waktu paling lama 7 (tujuh) hari setelah Penyidikan dimulai dan dilaksanakan paling lama 30 (tiga puluh) hari setelah dimulainya diversi;
  4. Apabila Pelaku maupun Korban setuju untuk dilakukan diversi maka polisi, Pembimbing Kemasyarakatan, Bapas dan Pekerja Sosial Profesional memulai proses musyawarah penyelesaian perkara dengan melibatkan pihak terkait, di mana proses musyawarah tersebut dilaksanakan paling lama 30 (tiga puluh) hari setelah dimulainya diversi. Akan tetapi, apabila pelaku atau korban tidak mau dilakukan diversi maka penyidikan perkara tersebut dilanjutkan, dibuatkan Berita Acara Penyidikan dan perkara dilimpahkan ke Penuntut Umum;
  5. Apabila diversi berhasil di mana para pihak mencapai kesepakatan, hasil kesepakatan tersebut dituangkan dalam bentuk kesepakatan. Hasil kesepakatan tersebut disampaikan oleh atasan pejabat yang bertanggung jawab di setiap tingkat pemeriksaan ke Pengadilan Negeri sesuai dengan daerah hukumnya dalam waktu paling lama 3 (tiga) hari sejak kesepakatan dicapai untuk memperoleh penetapan. Kemudian Pengadilan mengeluarkan Penetapan dalam waktu paling lama 3 (tiga) hari sejak diterimanya kesepakatan diversi. Penetapan tersebut disampaikan kepada Pembimbing Kemasyarakatan, Penyidik, Penuntut Umum, atau Hakim dalam waktu paling lama 3 (tiga) hari sejak ditetapkan. Setelah menerima penetapan tersebut Penyidik menerbitkan penghentian penyidikan;
  6. Apabila diversi gagal, Penyidik membuat Berita Acara Diversi dan wajib melanjutkan penyidikan dan melimpahkan perkara ke Penuntut Umum dengan melampirkan Berita Acara Diversi dan Laporan Penelitian Masyarakat dari petugas Pembimbing Kemasyarakatan/ Bapas. [4]

Dalam UU SPPA upaya wajib dilakukan Diversi pada tingkat Penuntutan diatur dalam ketentuan Pasal 7, dan Pasal 42 UU SPPA. Apabila diperinci, Diversi dilakukan ditingkat penuntutan lazimnya dalam praktik dilakukan melalui langkah-langkah sebagai berikut:

  1. Setelah menerima berkas dari kepolisian, Penuntut Umum wajib memperhatikan berkasa perkara dari kepolisian dan hasil Penelitian Kemasyarakatan yang telah dibuat oleh Bapas serta kendala yang menghambat proses diversi pada tingkat penyidikan;
  2. Penuntut Umum wajib mulai mengupayakan diversi dalam waktu paling lama 7 (tujuh) hari setelah menerima berkas perkara dari penyidik dan proses diversi dilaksanakan paling lama 30 (tiga puluh) hari setelah dimulainya diversi;
  3. Apabila Pelaku maupun Korban setuju untuk dilakukan diversi maka Penuntut Umum, Pembimbing Kemasyarakatan, Bapas dan Pekerja Sosial Profesional memulai proses musyawarah penyelesaian perkara dengan melibatkan pihak terkait, di mana proses musyawarah tersebut dilaksanakan paling lama 30 (tiga puluh) hari setelah dimulainya diversi. Akan tetapi, apabila pelaku atau korban tidak mau dilakukan diversi maka penuntutan perkara tersebut dilanjutkan, dibutkan Berita Acara Proses Diversi dan perkara dilimpahkan ke Pengadilan Anak;
  4. Apabila diversi berhasil di mana para pihak mencapai kesepakatan, maka hasil kesepakatan tersebut dituangkan dalam bentuk kesepakatan diversi. Hasil kesepakatan diversi tersebut disampaikan oleh atasan pejabat yang bertanggung jawab di setiap tingkat pemeriksaan ke Pengadilan Negeri sesuai dengan daerah hukumnya dalam waktu paling lama 3 (tiga) hari sejak kesepakatan dicapai untuk memperoleh penetapan. Kemudian Pengadilan mengeluarkan Penetapan dalam waktu paling lama 3 (tiga) hari sejak diterimanya kesepakatan diversi. Penetapan tersebut disampaikan kepada Pembimbing Kemasyarakatan, Penyidik, Penuntut Umum, atau Hakim dalam waktu paling lama 3 (tiga) hari sejak ditetapkan. Setelah menerima penetapan tersebut Penuntut Umum menerbitkan penetapan penghentian penuntutan;
  5. Apabila diversi gagal, Penuntut Umum melimpahkan perkara ke Pengadilan dengan melampirkan Berita Acara dan Laporan Penelitian Masyarakat. [5]

Dalam UU SPPA upaya wajib dilakukan Diversi pada tingkat pemeriksaan di sidang Anak (tahap persidangan) diatur dalam ketentuan Pasal 7, Pasal 14 dan Pasal 52 UU SPPA. Apabila diperinci, Diversi dilakukan ditingkat pemeriksaan di sidang Anak lazimnya dalam praktik dilakukan melalui langkah-langkah sebagai berikut:

  1. Setelah menerima berkas dari Penuntut Umum, Ketua Pengadilan wajib menetapkan hakim Anak atau Majelis Hakim Anak untuk menangani perkara anak paling lama 3 (tiga) hari setelah menerima berkas perkara;
  2. Hakim wajib mengupayakan diversi paling lama 7 (tujuh) hari setelah ditetapkan oleh Ketua Pengadilan Negeri. Pada praktik peradilan, yang melakukan Diversi tersebut sebagai Fasilitator Diversi yakni hakim Anak yang ditunjuk oleh Ketua Pengadilan untuk menangani perkara anak yang bersangkutan (Pasal 1 angka 2 Perma Nomor 4 Tahun 2014). Diversi dilakukan melalui musyawarah dengan melibatkan pihak-pihak terkait dan dilakukan untuk mencapai kesepakatan Diversi melalui pendekatan keadilan restoratif.
  3. Apabila Pelaku maupun Korban setuju untuk dilakukan diversi maka Hakim Anak, Pembimbing Kemasyarakatan, Bapas dan Pekerja Sosial Profesional memulai proses diversi penyelesaian perkara dengan melibatkan pihak terkait. Proses tersebut dilaksanakan paling lama 30 (tiga puluh) hari dengan diawali adanya penetapan Hakim Anak/ Majelis Hakim Anak tentang Penetapan Hari Diversi dan prosesnya dapat dilaksanakan di ruang mediasi Pengadilan Negeri dan kemudian dibuatkan Berita Acara Proses Diversi, baik berhasil maupun yang gagal sebagaimana lampiran I, II, III, dan IV Perma No. 4 Tahun 2014 tanggal 24 Juli 2014; [6]
  4. Apabila diversi berhasil di mana para pihak mencapai kesepakatan, maka hasil kesepakatan tersebut dituangkan dalam bentuk kesepakatan. Hasil kesepakatan diversi tersebut disampaikan kepada Ketua Pengadilan Negeri untuk dibuat Penetapan. Ketua Pengadilan Negeri mengeluarkan Penetapan dalam waktu paling lama 3 (tiga) hari terhitung sejak diterimanya kesepakatan diversi. Penetapan tersebut disampaikan kepada Pembimbing Kemasyarakatan dan Hakim Anak yang menangani perkara dalam waktu paling lama 3 (tiga) hari sejak ditetapkan (lampiran V, VI, dan VII Perma No. 44 Tahun 2014). Berikutnya, setelah menerima penetapan dari Ketua Pengadilan tentang kesepakatan diversi maka Hakim Anak/Majelis Hakim Anak menerbitkan penetapan penghentian pemeriksaan perkara dan juga hendaknya berisi redaksional, “memerintahkan terdakwa dikeluarkan dari tahanan”, terhadap Anak yang dalam proses perkara dilakukan penahanan.[7]
  5. Apabila diversi gagal perkara dilanjutkan ke tahap persidangan, di mana selanjutnya Hakim Anak melanjutkan persidangan sesuai dengan prosedur persidangan anak.[8]

Hasil kesepakatan diatur dalam pasal 11 UU SPPA yang berbunyi:

Hasil kesepakatan Diversi dapat berbentuk, antara lain:

  1. Perdamaian dengan atau tanpa ganti kerugian;
  2. Penyerahan kembali kepada orang tua/wali;
  3. Keikutsertaan dalam penyidikan atau pelatihan di lembaga pendidikan atau pelatihan di lembaga pendidikan atau LPKS paling lama 3 (tiga) bulan; atau
  4. Pelayanan masyarakat.

Dalam hal kesepakatan diversi tidak dilaksanakan maka proses  peradilan pidana Anak dilanjutkan. Hal ini secara tegas diatur dalam pasal 13 huruf b UU SPPA.

 

 

Referensi:

[1] PERMEN Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak R.I. Nomor 15 Tahun 2010, Pedoman Umum Penanganan Anak Yang Berhadapan Dengan Hukum, Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak R.I.

[2] Dr. Lilik Mulyadi, S.H., M.H., Wajah Sistem Peradilan Pidana Anak Indonesia, P.T. Alumni, Bandung, 2014, hlm 1

[3] Ibid., hlm.41.

[4] Ibid., hlm.116-118.

[5] Ibid., hlm.119-121.

[6] Ibid., hlm.122.

[7] Ibid., hlm.132-133.

[8] Ibid., hlm.139.

 

DISCLAIMER:

Any information contained in this Article  is provided for informational purposes only and should not be construed as legal advice on any subject matter.  You should not act or refrain from acting on the basis of any content included in this Legal Update without seeking legal or other professional advice.  This document is copyright protected. No part of this document may be disclosed, distributed, reproduced or transmitted in any form or by any means, including photocopying and recording or stored in retrieval system of any nature without the prior written consent of SIP Law Firm.

Setiap informasi yang terkandung dalam Artikel ini disediakan hanya untuk tujuan informasi dan tidak boleh ditafsirkan sebagai nasihat hukum tentang masalah apa pun. Anda tidak boleh bertindak atau menahan diri dari bertindak berdasarkan konten apa pun yang termasuk dalam Update Hukum ini tanpa mencari nasihat hukum atau profesional lainnya. Dokumen ini dilindungi hak cipta. Tidak ada bagian dari dokumen ini yang dapat diungkapkan, didistribusikan, direproduksi atau dikirim dalam bentuk apa pun atau dengan cara apa pun, termasuk fotokopi dan rekaman atau disimpan dalam sistem pengambilan apa pun tanpa persetujuan tertulis sebelumnya dari Firma Hukum SIP.