Perkembangan teknologi digital telah mendorong lahirnya berbagai model bisnis keuangan berbasis teknologi, salah satunya adalah skema peer to peer lending atau yang kerap dikenal sebagai Fintech P2P Lending. Model pembiayaan tersebut memberikan kemudahan akses pendanaan bagi masyarakat tanpa melalui prosedur perbankan konvensional yang kompleks.

Meskipun demikian, di balik pertumbuhannya yang pesat, Fintech P2P Lending justru menjadi salah satu sektor jasa keuangan yang relatif rentan terhadap risiko gagal bayar. Tentu saja kondisi tersebut tidak hanya berdampak terhadap kepentingan kreditur, melainkan juga pada stabilitas sistem keuangan.

 

Karakteristik Bisnis Fintech P2P Lending

 

Fintech Peer to Peer Lending (P2P Lending) merupakan suatu model bisnis yang memfasilitasi dan mempertemukan antara pemberi pinjaman (lender) dengan penerima pinjaman (borrower) melalui sistem elektronik yang dikelola oleh penyelenggara. Pada kerangka hukum Indonesia, kehadiran Fintech P2P Lending menjadi bagian dari Layanan Pendanaan Bersama Berbasis Teknologi Informasi (LPBBTI) yang berada dalam pengawasan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagaimana diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 10/POJK.05/2022 tentang Layanan Pendanaan Bersama Berbasis Teknologi Informasi (“POJK 10/2022”).

Sebelum pelaku usaha melaksanakan bisnis P2P Lending, terlebih dahulu ia harus memperoleh izin usaha dari OJK sebagaimana dalam Pasal 8 ayat (1) POJK 10/2022 yang menyatakan bahwa:

“Penyelenggara yang melaksanakan kegiatan usaha LPBBTI harus terlebih dahulu memperoleh izin usaha dari Otoritas Jasa Keuangan.”

Selain wajib mendapatkan izin usaha dari OJK, dalam menyelenggarakan bisnisnya, P2P Lending wajib dilaksanakan melalui sistem elektronik. Adapun wujud pelaksanaannya terdiri atas: pembayaran digital (e-payment), penggunaan tanda tangan elektronik, pengolahan data elektronik, serta sistem pengamanan elektronik yang andal dan terintegrasi. Kewajiban tersebut merupakan konsekuensi dari karakteristik utama dari Fintech P2P Lending, yakni seluruh prosesnya dilaksanakan tanpa melalui kontak fisik antara para pihak.

Lalu, karakteristik lain dari bisnis Fintech P2P Lending terletak pada peran penyelenggara yang tidak bertindak sebagai kreditur maupun debitur, melainkan sebagai fasilitator transaksi pinjam-meminjam. Posisi tersebut menjadikan risiko kredit secara langsung berada pada pihak lender, sementara itu penyelenggara memperoleh pendapatan melalui biaya layanan. Berbeda dengan lembaga perbankan yang wajib menerapkan prinsip kehati-hatian secara ketat, namun Fintech P2P Lending cenderung beroperasi dengan model mitigasi risiko yang lebih fleksibel dan berbasis teknologi.

Karakteristik P2P Lending selanjutnya adalah mengenai persentase pinjaman yang berhasil diselesaikan atau yang biasa dikenal dengan sebutan Tingkat keberhasilan bayar (TKB). TKB merupakan suatu ukuran dan ciri utama bisnis Fintech P2P Lending. Hal tersebut dikarenakan skema TKB hanya ada pada Fintech P2P Lending. Dalam hal ini, keberadaan TKB dapat dijadikan sebagai bentuk transparansi terhadap kinerja pendanaan. Menurut Pasal 101 ayat (4) POJK 10/2022, kinerja pendanaan setidaknya memuat beberapa informasi sebagai berikut:

  1. Nilai pendanaan yang tersalurkan
  2. Jumlah pemberi dana 
  3. Jumlah penerima dana; dan
  4. Tingkat keberhasilan bayar

Lebih lanjut, penetapan mengenai skema perhitungan TKB adalah sebagai berikut:

Selain itu, karakteristik lainnya adalah tingginya volume transaksi dengan nilai pinjaman yang relatif kecil, namun dalam hanya berada dalam jangka waktu yang singkat. Pola tersebut menyebabkan arus kas penyelenggara sangat bergantung pada tingkat keberhasilan pengembalian pinjaman oleh borrower. Ketika tingkat wanprestasi meningkat secara signifikan, maka tentu saja berisiko mengganggu keberlangsungan platform P2P Lending, khususnya apabila biaya operasional tidak lagi sebanding dengan pendapatan yang diterima.

 

Faktor Pendukung Terjadinya Gagal Bayar pada Fintech P2P Lending

 

Risiko gagal bayar pada Fintech P2P Lending tidak dapat dilepaskan dari berbagai faktor struktural maupun eksternal. Dari sisi internal, faktor pendukung terjadinya gagal bayar, antara lain: lemahnya manajemen risiko kredit dan kurang optimalnya proses due diligence terhadap calon borrower. Meskipun adanya sistem melalui teknologi yang mampu berkontribusi dalam melakukan analisis data secara cepat, namun ketergantungan pada suatu sistem secara berlebihan tanpa verifikasi yang memadai berpotensi menghasilkan penilaian risiko yang tidak akurat.

Di sisi lain, karakter borrower Fintech P2P Lending pada umumnya berasal dari kalangan unbanked atau underbanked. Kelompok ini seringkali tidak memiliki riwayat kredit yang jelas, sehingga kemampuan pembayarannya akan sulit diprediksi secara objektif karena tidak ditemukannya credit scoring yang kerap digunakan sebagai penilaian kelayakan kredit seseorang secara ringkas. Pada praktiknya, adanya kondisi tersebut berisiko menyebabkan meningkatkan angka kredit bermasalah (non-performing loan), hingga berujung pada gagal bayar secara massal.

Faktor eksternal juga memiliki pengaruh signifikan, khususnya terkait dengan kondisi ekonomi makro dan stabilitas sistem pembayaran. Dalam hal ini, kebijakan sistem pembayaran yang berada di bawah kewenangan Bank Indonesia telah diatur melalui Peraturan Bank Indonesia Nomor 18/40/PBI/2016 tentang Penyelenggaraan Pemrosesan Transaksi Pembayaran (“PBI 18/2016”) dan Peraturan Bank Indonesia Nomor 19/12/PBI/2017 tentang Penyelenggaraan Teknologi Finansial (“PBI 19/2017”) menjadi instrumen penting dalam menjaga kelancaran transaksi digital. Maka dari itu, adanya gangguan pada sistem pembayaran atau perubahan kebijakan moneter dapat berdampak langsung terhadap likuiditas dan kepercayaan pengguna Fintech P2P Lending.

Baca juga: Begini Penerapan Aturan Anti Pencucian Uang Terbaru OJK di Era AI dan Digital Lending

 

PKPU sebagai Upaya Restrukturisasi Utang

 

Ketika Fintech P2P Lending menghadapi kesulitan keuangan yang serius dan tidak mampu memenuhi kewajiban pembayaran kepada kreditur, mekanisme hukum yang dapat ditempuh tidak terbatas pada kepailitan semata. Dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (“UU KPKPU”) memberikan ruang bagi debitur untuk mengajukan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) sebagai langkah restrukturisasi.

Pada hakikatnya, PKPU bertujuan memberikan kesempatan bagi debitur untuk merumuskan rencana perdamaian dengan para kreditur dengan tujuan untuk  menghindari likuidasi harta pailit. Dalam hal ini, Fintech P2P Lending dapat memanfaatkan PKPU sebagai instrumen hukum untuk menata kembali kewajiban finansialnya, termasuk penjadwalan ulang pembayaran atau restrukturisasi utang operasional. Pendekatan tersebut sejalan dengan prinsip keberlanjutan usaha (going concern) yang diakui dalam praktik hukum kepailitan modern.

Namun demikian, penerapan PKPU dalam kasus Fintech P2P Lending memiliki kompleksitas tersendiri. Struktur hubungan hukum yang melibatkan ribuan lender sebagai kreditur konkuren memerlukan mekanisme koordinasi dan komunikasi yang transparan, sehingga kegagalan dalam mencapai persetujuan mayoritas kreditur sebagaimana disyaratkan UU KPKPU berpotensi menggagalkan rencana perdamaian dan berujung pada pernyataan pailit. Oleh karena itu, PKPU tidak dapat dipandang semata-mata sebagai solusi instan, melainkan sebagai instrumen hukum yang menuntut kesiapan pengelolaan, keterbukaan informasi, serta itikad baik dari penyelenggara Fintech P2P Lending.

Rentannya Fintech P2P Lending terhadap gagal bayar merupakan konsekuensi dari karakteristik bisnisnya yang berbasis teknologi, kalangan borrower yang berisiko tinggi, serta dinamika regulasi dan sistem pembayaran. Gagal bayar tidak hanya sekedar persoalan wanprestasi bagi borrower, melainkan juga sebagai bentuk cerminan tata kelola dan manajemen risiko penyelenggara yang masih kurang baik. Pada kondisi krisis, PKPU dapat menjadi alternatif restrukturisasi yang lebih berimbang jika dibandingkan dengan kepailitan, sepanjang dilaksanakan secara transparan dan berlandaskan itikad baik. Dengan demikian, penguatan regulasi dan tata kelola menjadi kunci utama dalam menjaga keberlanjutan industri Fintech P2P Lending di Indonesia.***

Baca juga: Implementing Indonesia’s Latest Anti-Money Laundering Rules in the Age of AI and Digital Lending

 

Daftar Hukum:

  • Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (“UU KPKPU”)
  • Peraturan Bank Indonesia Nomor 18/40/PBI/2016 tentang Penyelenggaraan Pemrosesan Transaksi Pembayaran (“PBI 18/2016”)
  • Peraturan Bank Indonesia Nomor 19/12/PBI/2017 tentang Penyelenggaraan Teknologi Finansial (“PBI 19/2017”)
  • Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 10/POJK.05/2022 tentang Layanan Pendanaan Bersama Berbasis Teknologi Informasi (“POJK 10/2022”)

Referensi:

  • Apa itu TKB dalam P2P Lending? Ini Fungsi dan Cara Hitungnya. OCBC. (Diakses pada 23 Desember 2025 Pukul 14.07 WIB).
  • Ada Banyak Faktor Penyebab Gagal Bayar di Industri Fintech Lending. Kontan. (Diakses pada 23 Desember 2025 Pukul 14.38 WIB).