Perkembangan e-commerce di Indonesia dalam satu dekade terakhir telah mengubah pola konsumsi masyarakat secara signifikan. Marketplace menjadi ruang utama bagi pelaku usaha, baik skala besar maupun UMKM, untuk memasarkan produk mereka. Namun, di balik peluang tersebut, muncul tantangan serius berupa pelanggaran merek yang semakin marak. Produk tiruan, pemalsuan, hingga penggunaan merek tanpa izin menjadi fenomena yang sulit dikendalikan.
Sepanjang 2024–2025, tren gugatan pelanggaran merek menunjukkan peningkatan yang konsisten. Hal ini tidak hanya merugikan pemilik merek sah, tetapi juga menurunkan kepercayaan konsumen terhadap ekosistem perdagangan digital. Oleh karena itu, penting untuk menelaah data pelanggaran, menegaskan siapa yang bertanggung jawab, serta merumuskan langkah preventif dan represif dalam perlindungan merek.
Data Pelanggaran Merek di Indonesia Sepanjang 2019-2025
Sepanjang periode 2019–2025, pelanggaran merek di Indonesia menunjukkan tren yang semakin mengkhawatirkan. Berdasarkan catatan Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI), dari total 296 perkara pelanggaran kekayaan intelektual yang ditangani dalam tujuh tahun terakhir, 163 kasus di antaranya berkaitan langsung dengan merek dagang. Angka ini menegaskan bahwa merek merupakan objek HKI yang paling rentan dilanggar, terutama dalam ekosistem perdagangan digital. Marketplace menjadi kanal utama terjadinya pelanggaran karena sifatnya yang terbuka, masif, dan relatif sulit diawasi.
Pelanggaran merek yang dominan sepanjang periode ini meliputi pemalsuan produk, peniruan logo, dan penggunaan nama merek yang menimbulkan kebingungan konsumen. Kasus-kasus besar seperti sengketa MS Glow vs PS Glow, Starbucks vs Rokok Starbucks, dan Chacha Lokal vs CHACHA Delfi Swiss menjadi sorotan publik karena memperlihatkan bagaimana merek terkenal sering dijadikan objek peniruan untuk meraup keuntungan cepat. Sengketa ini tidak hanya merugikan pemilik merek sah, tetapi juga menurunkan kepercayaan konsumen terhadap marketplace sebagai ruang perdagangan yang aman.
Marketplace seperti Tokopedia, Shopee, dan Lazada menjadi titik rawan karena anonimitas penjual dan skala distribusi masif. Produk tiruan dapat dijual ke ribuan konsumen dalam waktu singkat, dengan harga jauh lebih murah dibandingkan produk asli. Hal ini diperparah oleh lemahnya verifikasi identitas penjual dan keterbatasan sistem pengawasan internal marketplace. Akibatnya, konsumen sering kali tidak menyadari bahwa mereka membeli produk palsu hingga terjadi sengketa atau laporan resmi.
Dampak ekonomi dari pelanggaran merek pun sangat signifikan. Laporan Masyarakat Indonesia Anti Pemalsuan (MIAP) memperkirakan kerugian akibat peredaran barang palsu mencapai triliunan rupiah per tahun. Kerugian ini tidak hanya dialami oleh pemilik merek sah, tetapi juga berdampak pada penerimaan negara dari sektor pajak dan bea masuk. Selain itu, reputasi merek asli mengalami penurunan, dan konsumen kehilangan kepercayaan terhadap produk yang mereka kenal.
Lalu, Siapa yang Bertanggungjawab Atas Pelanggaran Merek di Marketplace?
Pertanggungjawaban atas pelanggaran merek di marketplace merupakan isu yang kompleks dan melibatkan banyak pihak dalam ekosistem perdagangan digital. Secara prinsip, pelaku usaha atau penjual adalah pihak yang paling utama dimintai pertanggungjawaban. Masyarakat mengenal produk-produk yang melanggar hak merek dengan barang kw, replika, dupe, grade ori, atau sebutan-sebutan lain yang menggambarkan tingkat kemiripannya dengan merek asli.
Lebih lanjut, bentuk-bentuk pelanggaran hak merek dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 100 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis (“UU MIG”) yaitu:
- Menggunakan merek yang sama pada keseluruhannya;
- Menggunakan merek yang mempunyai persamaan pada pokoknya;
- Menggunakan merek yang mempunyai persamaan sebagian atau keseluruhannya yang jenis barangnya mengakibatkan gangguan kesehatan, gangguan lingkungan hidup, dan/atau kematian manusia.
Berkaitan dengan hal tersebut, pendapat dari OK Saidin mengenai macam-macam praktik perdagangan tidak jujur meliputi:
- Praktik peniruan merek dagang (trademark piracy);
- Praktik pemalsuan merek dagang (counterfeiting);
- Perbuatan-perbuatan yang dapat mengacaukan publik berkenaan dengan sifat dan asal usul merek (imitation of labels and packaging).
Sementara itu, Pasal 83 ayat (1) UU MIG secara tegas telah memberikan perlindungan kepada pemilik merek maupun penerima lisensi sebagai pihak yang memiliki hak eksklusif, bahwa:
“Pemilik Merek terdaftar dan/atau penerima Lisensi Merek terdaftar dapat mengajukan gugatan terhadap pihak lain yang secara tanpa hak menggunakan Merek yang mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya untuk barang dan/atau jasa yang sejenis berupa:
- Gugatan ganti rugi; dan/atau
- Penghentian semua perbuatan yang berkaitan dengan penggunaan Merek tersebut.”
Namun, dalam konteks perdagangan digital, marketplace sebagai perantara juga memiliki peran penting dan tidak bisa sepenuhnya lepas tangan. Hal ini sebagaimana diatur melalui Pasal 15 ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik sebagaimana telah diubah ke Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2024 (“UU ITE”) bahwa:
“Setiap Penyelenggara Sistem Elektronik harus menyelenggarakan Sistem Elektronik secara andal dan aman serta bertanggung jawab terhadap beroperasinya Sistem Elektronik sebagaimana mestinya.”
Apabila marketplace terbukti melakukan pembiaran atau lalai dalam menghapus konten yang melanggar, maka mereka dapat dimintai pertanggungjawaban berdasarkan Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUHPerdata”) tentang perbuatan melawan hukum. Hal ini pun turut diatur melalui Pasal 15 ayat (1) dan (2) Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik (“PP 71/2019”) bahwa:
- Setiap Penyelenggara Sistem Elektronik wajib menghapus Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang tidak relevan yang berada di bawah kendalinya atas permintaan orang yang bersangkutan;
- Kewajiban penghapusan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang tidak relevan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari:
- Penghapusan (right to erasure); dan
- Pengeluaran dari daftar mesin pencari (right to delisting).
Dalam praktiknya, tanggung jawab atas pelanggaran merek di marketplace bersifat berlapis. Penjual bertanggung jawab langsung atas perbuatan pelanggaran, marketplace bertanggung jawab secara tidak langsung apabila lalai melakukan pengawasan, dan negara melalui DJKI berperan sebagai regulator serta penegak hukum. Sepanjang 2024–2025, tren gugatan menunjukkan bahwa pemilik merek tidak hanya menggugat penjual, tetapi juga menuntut marketplace untuk memperketat sistem verifikasi produk dan menindaklanjuti laporan pelanggaran dengan lebih cepat.
Beberapa marketplace besar bahkan mulai menerapkan brand protection program, yang memungkinkan pemilik merek mendaftarkan produknya agar lebih mudah diawasi. Meski demikian, efektivitas program ini masih bergantung pada konsistensi pengawasan dan komitmen marketplace dalam menjaga integritas perdagangan digital.
Lebih jauh, tanggung jawab marketplace juga dapat dilihat dari perspektif due diligence dan corporate responsibility. Marketplace yang memiliki kapasitas teknologi dan sumber daya besar dianggap tidak cukup hanya menyediakan platform, melainkan juga harus aktif melakukan kurasi terhadap produk yang ditawarkan.
Hal ini sejalan dengan prinsip good corporate governance, di mana perusahaan digital dituntut untuk tidak hanya mengejar keuntungan, tetapi juga menjaga kepatuhan hukum dan melindungi konsumen. Dengan demikian, marketplace yang lalai dapat dianggap melakukan pembiaran yang merugikan pemilik merek dan konsumen, sehingga dapat dimintai pertanggungjawaban hukum maupun moral.
Baca juga: Membangun Kepercayaan Konsumen Lewat Legalitas Usaha
Apa Saja Upaya Preventif dan Represif yang Dapat Dilakukan?
- Upaya Preventif
- Pendaftaran Merek & edukasi: Pemilik merek dianjurkan untuk mencatat merek dagangnya secara resmi di bawah UU MIG. Hak tersebut memberi dasar hukum untuk menuntut pelanggaran.
- Patroli siber dan monitoring digital: Dengan maraknya transaksi daring, sebaiknya melakukan patroli siber untuk mendeteksi dan menindak produk bajakan atau pemalsuan merek di marketplace.
- Kolaborasi dengan marketplace: DJKI menyatakan akan bekerja sama dengan platform digital untuk memperkuat ekosistem perlindungan HKI.
- Upaya Represif
- Gugatan hukum oleh pemilik merek: Pemilik merek terdaftar dapat mengajukan gugatan perdata atau penuntutan pidana apabila ada pihak menggunakan merek tanpa izin.
- Sanksi pidana: Berdasarkan Pasal 100 UU MIG, pelanggar bisa terkena pidana penjara hingga 5 tahun dan/atau denda hingga Rp 2 miliar; untuk pelanggaran berat (misalnya barang yang membahayakan kesehatan), ancaman bisa lebih berat.
- Pemusnahan barang bukti & penarikan produk di marketplace: Berdasarkan laporan media, DJKI dalam beberapa kasus telah memusnahkan barang tiruan dan menarik produk bajakan dari peredaran, termasuk melalui kerja sama dengan marketplace.
Pelanggaran merek di marketplace pada dasarnya merupakan tanggung jawab utama penjual sebagai pihak yang secara langsung menggunakan atau memperdagangkan merek tanpa hak. Namun, marketplace tidak sepenuhnya terbebas dari tanggung jawab karena mereka memiliki kewajiban untuk melakukan pengawasan, verifikasi, serta penarikan produk yang melanggar ketika menerima laporan.
Ketika marketplace lalai menjalankan fungsi tersebut, mereka dapat ikut dimintai pertanggungjawaban secara administratif atau perdata. Dengan demikian, perlindungan merek di ekosistem digital menuntut model tanggung jawab bersama antara penjual, marketplace, dan pemilik merek agar peredaran produk palsu dapat ditekan secara efektif.***
Baca juga: Pembajakan Produk di E-Commerce: Apakah Marketplace Ikut Bertanggung Jawab?
Daftar Hukum:
- Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis (“UU MIG”).
- Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (“UU ITE”).
- Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUHPerdata”).
- Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik (“PP 71/2019”).
Referensi:
- Pelanggaran Kekayaan Intelektual Capai 296 Kasus dalam Tujuh Tahun, DJKI Perkuat Langkah Penegakan Hukum. Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI). (Diakses pada 4 Desember 2025 pukul 09.30 WIB).
- Peredaran Barang Palsu Rugikan Negara, Begini Upaya Perlindungannya. Medcom. (Diakses pada 4 Desember 2025 pukul 09.43 WIB).
- Giantama, A. N. (2020). Pertanggungjawaban Hukum Penyedia Platform Terhadap Barang yang Melanggar Merek Dalam Marketplace. Jurnal Privat Law, VIII(1), 21–27. (Diakses pada 4 Desember 2025 pukul 09.52 WIB).
- Kemenkum Catat 296 Perkara Pelanggaran KI Terjadi dalam Tujuh Tahun. AntaraNews. (Diakses pada 4 Desember 2025 pukul 10.21 WIB).
