Musik selalu menjadi elemen utama yang menghidupkan suasana perayaan akhir tahun. Dari konser skala besar di ruang publik, pertunjukan musik di pusat perbelanjaan, hingga acara internal perusahaan, kehadiran lagu dan musik berperan besar dalam membangun pengalaman hiburan yang berkesan. Namun di balik kemeriahan tersebut, terdapat aspek tanggung jawab yang kerap luput dari perhatian penyelenggara acara, yaitu kewajiban memberikan imbalan yang layak kepada para pencipta dan pemilik karya musik yang digunakan secara komersial.
Kurangnya pemahaman mengenai mekanisme dan perhitungan royalti musik sering kali menimbulkan anggapan bahwa penggunaan lagu dalam acara akhir tahun merupakan hal yang bebas dilakukan tanpa konsekuensi. Padahal, penggunaan karya musik untuk kepentingan bisnis dan publik memiliki implikasi hukum dan ekonomi yang tidak sederhana. Memahami bagaimana royalti dihitung dan dikelola menjadi langkah penting bagi penyelenggara event agar dapat menjalankan kegiatan secara profesional, beretika, serta berkontribusi pada keberlangsungan ekosistem industri yang sehat dan berkeadilan.
Kewajiban Pembayaran Royalti bagi Penyelenggara Event
Musik yang diperdengarkan dalam sebuah acara, khususnya event akhir tahun, bukan hanya sekadar hiburan, melainkan juga karya cipta yang dilindungi oleh hukum. Oleh karena itu, setiap penyelenggara acara memiliki kewajiban untuk membayar royalti kepada pencipta atau pemegang hak cipta. Kewajiban ini ditegaskan dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta (“UU HC”), yang menjelaskan bahwa lagu dan musik yang merupakan ciptaan yang dilindungi di bawah UU ini, otomatis memberikan hak eksklusif kepada pencipta atas karya mereka, termasuk hak ekonomi berupa royalti.
Royalti adalah imbalan yang harus dibayarkan ketika ciptaan seperti lagu digunakan untuk tujuan komersial. Dalam konteks penggunaan komersial, Pasal 9 ayat (2) UU Hak Cipta mensyaratkan bahwa setiap orang yang menggunakan karya cipta secara komersial wajib mendapatkan izin dari pencipta atau pemegang hak cipta dan membayarkan imbalan berupa royalti. Kewajiban ini berlaku baik untuk penggunaan langsung melalui perjanjian lisensi maupun sistem kolektif yang diatur dalam aturan turunan.
Dalam Pasal 3 ayat (1) dan (2) Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Royalti Hak Cipta Lagu dan/atau Musik (“PP 56/2021”) diatur bahwa:
- Setiap Orang dapat melakukan Penggunaan Secara Komersial lagu dan/atau musik dalam bentuk layanan publik yang bersifat komersial dengan membayar Royalti kepada Pencipta, Pemegang Hak Cipta, dan/atau pemilik Hak Terkait melalui LMKN;
- Bentuk layanan publik yang bersifat komersial meliputi:
- Seminar dan konferensi komersial;
- Restoran, kafe, pub, bar, bistro, kelab malam, dan diskotek;
- Konser musik;
- Pesawat udara, bus, kereta api, dan kapal laut;
- Pameran dan bazar;
- Bioskop;
- Nada tunggu telepon;
- Bank dan kantor;
- Pertokoan;
- Pusat rekreasi;
- Lembaga penyiaran televisi;
- Lembaga penyiaran radio;
- Hotel, kamar hotel, dan fasilitas hotel; dan
- Usaha karaoke.
Untuk memfasilitasi pengelolaan royalti yang efisien, Indonesia menerapkan sistem kolektif melalui Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN). Sesuai PP 56/2021, setiap orang yang menggunakan lagu atau musik secara komersial termasuk dalam acara akhir tahun wajib mengajukan lisensi dan membayar royalti kepada pencipta atau pemilik hak terkait melalui LMKN. LMKN bertindak sebagai single point (pintu tunggal) untuk menarik, menghimpun, dan mendistribusikan royalti kepada pencipta dan pemegang hak terkait.
Dengan kata lain, penyelenggara event bertanggung jawab langsung atas kewajiban pembayaran royalti apabila kegiatan yang diselenggarakan memuat penggunaan karya musik yang dapat diakses oleh publik dan bertujuan komersial, sebagaimana putusan MK terbaru. Hal ini mencakup konser, penggunaan musik dalam area publik, maupun siaran pertunjukan musik langsung.
Pahami Formula Perhitungan Royalti untuk Acara Akhir Tahun menurut Ketentuan LMKN
Untuk mewujudkan sistem pengelolaan royalti yang transparan serta adil, pemerintah menerbitkan Peraturan Menteri Hukum Nomor 27 Tahun 2025 tentang Peraturan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Royalti Hak Cipta Lagu dan/atau Musik (“Permenkum 27/2025”). Regulasi ini menetapkan definisi, mekanisme penarikan, serta bagaimana royalti dilakukan bagi penggunaan secara komersial di berbagai layanan, termasuk kegiatan event atau konser musik.
Walaupun kedua aturan tersebut tidak secara eksplisit mencantumkan satu “formula universal” tunggal di setiap jenis acara, prinsip perhitungannya secara umum mengikuti ketentuan berikut:
- Jenis Penggunaan
Penggunaan karya cipta dalam event di akhir tahun dikategorikan sebagai Penggunaan Secara Komersial (public performance/pertunjukan), termasuk konser, live music, playlist publik, dan siaran.
- Lisensi dan Laporan Penggunaan
Penyelenggara harus mengajukan lisensi, mencatat penggunaan lagu melalui Sistem Informasi Lagu dan Musik (SILM), dan melaporkan daftar lagu serta data penggunaan ke LMKN.
- Penetapan Tarif oleh LMKN
Besaran tarif royalti ditetapkan berdasarkan pedoman tarif yang disusun oleh LMKN dan disahkan oleh Menteri. Tarif ini biasanya mempertimbangkan faktor seperti ukuran event, jumlah penonton, fasilitas, jenis venue, dan durasi pemutaran musik. Besaran aktual ini dapat berbeda antara kategori acara.
- Distribusi Royalti
Setelah dihimpun, royalti akan didistribusikan kepada pencipta dan pemilik hak terkait berdasarkan data yang ada di SILM, setelah dikurangi biaya operasional dan dana cadangan sesuai regulasi dalam Pasal 26 Permenkum 27/2025, bahwa:
“Royalti yang telah dihimpun oleh LMKN Pencipta dan LMKN pemilik Hak Terkait secara bersama-sama digunakan untuk:
- Didistribusikan kepada Pencipta, Pemegang Hak Cipta, dan pemilik Hak Terkait yang telah menjadi anggota LMK;
- Dana operasional; dan
- Dana cadangan.”
Sebagai ilustrasi dalam praktik, dalam konteks lain (misalnya restoran atau kafe publik), tarif royalti sering diberlakukan berdasarkan parameter tertentu, seperti jumlah kursi dan lama penggunaan musik. Prinsip ini menunjukkan bahwa tarif tidak hanya satu angka absolut tetapi memperhitungkan elemen komersial dari penggunaan musik oleh penyelenggara.
Baca juga: Ini Daftar Perizinan yang Diperlukan untuk Event Akhir Tahun dan Cara Mendapatkannya
Konsekuensi Hukum Jika Tidak Membayar Royalti
Mengabaikan kewajiban pembayaran royalti musik bukanlah hal sepele karena berisiko menimbulkan konsekuensi hukum yang sangat serius dan berlapis. Dalam UU Hak Cipta, khususnya dalam Pasal 113 ayat (2) ditegaskan bahwa setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa hak melakukan pelanggaran hak cipta, salah satunya berupa pertunjukan ciptaan tanpa izin dapat dikenakan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp500 juta. Ketentuan ini menunjukkan bahwa pelanggaran royalti bukan hanya pelanggaran administratif, melainkan tindak pidana yang dapat berimplikasi langsung pada kebebasan seseorang.
Selain sanksi pidana, terdapat pula sanksi administratif yang dapat dikenakan kepada penyelenggara acara. Misalnya, pencabutan izin usaha, larangan mengadakan event di masa mendatang, atau pencatatan dalam daftar hitam oleh LMKN. Hal ini tentu akan merugikan reputasi penyelenggara, karena publik dan mitra bisnis akan menilai mereka sebagai pihak yang tidak patuh hukum. Dalam praktiknya, LMKN bersama aparat penegak hukum telah beberapa kali melakukan penindakan terhadap restoran, kafe, dan pusat hiburan yang memutar musik tanpa lisensi. Penindakan ini biasanya diawali dengan teguran, kemudian berlanjut pada proses hukum jika pelanggaran terus berlanjut.
Konsekuensi hukum juga dapat meluas ke ranah perdata. Pencipta atau pemegang hak cipta berhak mengajukan gugatan ganti rugi atas kerugian yang timbul akibat penggunaan musik tanpa izin. Gugatan ini dapat diajukan ke Pengadilan Niaga, dan jika dikabulkan, penyelenggara acara dapat diwajibkan membayar kompensasi yang nilainya bisa lebih besar daripada royalti yang seharusnya dibayarkan. Dengan demikian, risiko finansial yang dihadapi penyelenggara tidak hanya berupa denda pidana, tetapi juga potensi ganti rugi perdata yang memberatkan.
Dalam konteks reputasi, penyelenggara yang tidak membayar royalti akan kehilangan kepercayaan dari artis, musisi, dan masyarakat. Hal ini dapat berdampak pada keberlangsungan bisnis mereka, karena artis atau musisi mungkin enggan bekerja sama dengan pihak yang tidak menghargai hak cipta. Media massa juga sering memberitakan kasus pelanggaran royalti, sehingga publikasi negatif dapat merusak citra penyelenggara. Misalnya, beberapa tahun terakhir terdapat kasus di mana kafe dan hotel diberitakan secara luas karena tidak membayar royalti, dan hal ini menimbulkan boikot dari konsumen.
Konsekuensi hukum yang ketat ini sejalan dengan tujuan negara untuk memperkuat ekosistem musik di Indonesia. Dengan adanya sanksi pidana, administratif, dan perdata, diharapkan penyelenggara acara lebih disiplin dalam memenuhi kewajiban pembayaran royalti. Regulasi yang ketat juga menjadi bentuk perlindungan terhadap pencipta, agar karya mereka tidak dieksploitasi tanpa imbalan yang layak. Pada akhirnya, kepatuhan terhadap kewajiban royalti bukan hanya untuk menghindari sanksi, tetapi juga untuk memastikan keberlanjutan industri musik dan penghargaan terhadap hak kekayaan intelektual.***
Baca juga: Bagaimana Pengelolaan Royalti Hak Cipta Lagu atau Musik Bekerja?
Daftar Hukum:
- Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta (“UU HC”).
- Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Royalti Hak Cipta Lagu dan/atau Musik (“PP 56/2021”).
- Peraturan Menteri Hukum Nomor 27 Tahun 2025 tentang Pelaksanaan PP Nomor 56 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Royalti Hak Cipta Lagu dan/atau Musik (“Permenkum 27/2025”).
Referensi:
- Bayar Royalti Lagu: ke Pencipta atau LMKN?. HukumOnline. (Diakses pada 23 Desember 2025 pukul 12.58 WIB).
- Putusan MK: Royalti Wajib Dibayar Penyelenggara Konser, Bukan Penyanyi. detik. (Diakses pada 23 Desember 2025 pukul 13.17 WIB).
- Tidak Bayar Royalti Musik? Ini Konsekuensi Hukum yang Harus Diwaspadai. Suara.com. (Diakses pada 23 Desember 2025 pukul 13.30 WIB).
