Kita pasti sudah tidak asing lagi dengan istilah market place, dimana pada masa pandemi menjadi alternatif solusi bagi masyarakat untuk tetap bisa berbelanja tanpa keluar rumah. Market place dapat dipahami sebagai suatu platform baik website maupun aplikasi yang memfasilitasi transaksi jual-beli barang/jasa secara online antara penjual dan pembeli. Dalam istilah yang sederhana, market place seperti pasar namun diselenggarakan secara online.

Sistem jual beli secara online dalam market place merupakan bentuk Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE). PMSE ini juga lebih dikenal dengan sebutan e-commerce. Pemerintah Indonesia sendiri telah menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 80 Tahun 2019 tentang Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PP 80/2019). Dalam PP 80/2019, PMSE didefinisikan sebagai perdagangan yang transaksinya dilakukan melalui serangkaian perangkat dan prosedur elektronik.[1]

Berlakunya PP 80/2019 menjadi acuan yang harus diikuti oleh para Pelaku Usaha PMSE. Pelaku Usaha PMSE adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha yang berbentuk badan hukum atau bukan badan hukum yang dapat berupa Pelaku Usaha Dalam Negeri dan Pelaku Usaha Luar Negeri dan melakukan kegiatan usaha di bidang PMSE.[2]

Pelaku Usaha PMSE dapat dikategorikan menjadi 3 (tiga) berdasarkan jenis kegiatannya, yaitu:[3]

  • Pedagang (merchant)

Pelaku Usaha yang melakukan PMSE baik dengan sarana yang dibuat dan dikelola sendiri secara langsung atau melalui sarana milik pihak PPMSE, atau sistem elektronik lainnya yang menyediakan sarana PMSE.

  • Penyelenggara PMSE

Pelaku Usaha penyedia sarana Komunikasi Elektronik yang digunakan untuk transaksi Perdagangan.

  • Penyelenggara Sarana Perantara (intermediary services)

Pelaku Usaha Dalam Negeri atau Pelaku Usaha Luar Negeri yang menyediakan sarana Komunikasi Elektronik selain penyelenggara telekomunikasi yang hanya berfungsi sebagai perantara dalam Komunikasi Elektronik antara pengirim dengan penerima.

Provider marketplace merupakan Penyelenggara PMSE yang menyediakan sarana transaksi perdagangan secara elektronik. Sebagai contoh marketplace yang sudah dikenal di Indonesia seperti Tokopedia, Bukalapak, dan Shopee. Sedangkan merchant adalah para pedagang yang menjual barangnya melalui marketplace. Terkait intermediary services hanya sebagai perantara yang mempertemukan penjual dan pembeli, contohnya OLX, Carmudi, dan Rumah123. Penyelenggara intermediary services tidak terlibat langsung dalam transaksi perdagangan antara penjual dan pembeli. Untuk social media tertentu yang menyediakan forum jual beli seperti Facebook juga dapat dianggap sebagai intermediary services.

Hadirnya marketplace merupakan solusi bagi merchant untuk mengjangkau pasar yang sangat luas tanpa harus mengeluarkan biaya yang besar. Namun keberadaan marketplace juga bisa disalahgunakan oleh oknum merchant untuk menjual barang-barang ilegal.

Perlu diketahui jika barang ilegal bukan hanya barang yang dilarang beredar seperti narkoba, namun juga barang-barang yang belum memiliki izin edar untuk makanan, minuman, dan obat-obatan, serta barang yang tidak memenuhi SNI atau bahkan barang hasil curian. Barang ilegal juga dapat berupa barang palsu yang kita ketahui juga banyak dijual secaara online.

Terkait barang ilegal berupa barang palsu yang melanggar Hak Cipta, ketentuannya diatur dalam Undang-Undang No. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta sebagai berikut:

Pasal 10

Pengelola tempat perdagangan dilarang membiarkan penjualan dan/atau penggandaan barang hasil pelanggaran Hak Cipta dan/atau Hak Terkait di tempat perdagangan yang dikeolalnya.

Pasal 114

Setiap Orang yang mengelola tempat perdagangan dalam segala bentuknya yang dengan sengaja dan mengetahui membiarkan penjualan dan/atau penggandaan barang hasil pelanggaran Hak Cipta dan/atau Hak Terkait di tempat perdagangan yang dikeolanya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10, dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

Lalu bagaimana jika ditemukan ada barang-barang ilegal yang dijual melalui marketplace, apakah Penyelenggara PMSE dapat dimintakan pertanggung jawaban secara hukum?

Ketentuan Pasal 22 ayat (1) PP 80/2019 mengatur bahwa jika dalam PMSE terdapat konten informasi elektronik ilegal, maka pihak PPMSE dalam negeri dan/atau PPMSE luar negeri serta Penyelenggara Sarana Perantara bertanggung jawab atas dampak atau konsekuensi hukum akibat keberadaan konten informasi elektronik ilegal tersebut.

Namun pertanggung jawaban Penyelenggara PMSE dapat gugur apabila segera melakukan tindakan untuk menghapus konten ilegal tersebut setelah mengetahuinya. Hal ini diatur dalam Pasal 22 ayat (2) PP 80/2019 yang berbunyi:

Pasal 22 ayat (2)

Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku apabila PPMSE dalam negeri dan/atau PPMSE luar negeri yang bersangkutan bertindak cepat untuk menghapus link elektronik dan/atau konten informasi elektronik ilegal setelah mendapat pengetahuan atau kesadaran.

Salah satu upaya yang dapat dilakukan oleh Penyelenggara PMSE adalah menyediakan ruang untuk pengaduan (Report Page) bagi user maupun masyarakat apabila menemukan konten atau barang ilegal yang dijual dalam marketplace.  Walaupun sudah seharusnya Penyelenggara PMSE melakukan filtering dan monitoring berkala terhadap setiap konten yang akan ditampilkan dalam sistem elektroniknya.

Maka terkait adanya barang ilegal yang dijual oleh oknum merchant, dapat dipastikan dirinya akan bertanggung jawab baik secara pidana maupun perdata. Sedangkan untuk Penyelenggara PMSE atau provider marketplace dapat terhindar dari tanggung jawab apabila melakukan penghapusan konten ilegal segera setelah mengetahuinya. Namun hal ini juga tidak berlaku jika marketplace terbukti memang memfasilitasi perdagangan barang ilegal, seperti yang pernah terjadi yaitu berupa penjualan data pribadi melalui dark web. Tentunya pengelola dark web yang memang secara khusus untuk menjual barang-barang ilegal dapat dijerat dengan sanksi hukum pidana maupun digugat secara perdata oleh pihak yang dirugikan.

 

DISCLAIMER

Setiap informasi yang terkandung dalam Artikel ini disediakan hanya untuk tujuan informasi dan tidak boleh ditafsirkan sebagai nasihat hukum tentang masalah apa pun. Anda tidak boleh bertindak atau menahan diri dari bertindak berdasarkan konten apa pun yang termasuk dalam Update Hukum ini tanpa mencari nasihat hukum atau profesional lainnya. Dokumen ini dilindungi hak cipta. Tidak ada bagian dari dokumen ini yang dapat diungkapkan, didistribusikan, direproduksi atau dikirim dalam bentuk apa pun atau dengan cara apa pun, termasuk fotokopi dan rekaman atau disimpan dalam sistem pengambilan apa pun tanpa persetujuan tertulis sebelumnya dari Firma Hukum SIP.

 

 For more information, please contact the Author:

 

R. Yudha Triarianto W, S.H., M.H.

Associate Lawyer

 

email: yudha@siplawfirm.id

phone: +62-21 7997973

 

[1] Pasal 1 Angka 2 PP 80/2019

[2] Pasal 1 Angka 6 PP 80/2019

[3] Pasal 1 Angka 10 s.d 12 PP 80/2019