Perkembangan teknologi reproduksi seperti in vitro fertilization (IVF) atau bayi tabung, intra uterine insemination (IUI) atau inseminasi buatan, dan Surrogate Mother (ibu pengganti) menjadikan suatu alternatif bagi pasangan yang mengalami gangguan fertilisasi untuk mendapatkan keturunan. Di Indonesia umumnya para pasangan yang mengalami gangguan fertilisasi cenderung menjalankan program IVF (bayi tabung) dan IUI (inseminasi buatan). Sedangkan, praktik dari Surrogate Mother (ibu pengganti) jarang diketahui dan masih menjadi perdebatan karena menimbulkan persoalan yuridis, khususnya terkait status hukum anak, hak dan kewajiban para pihak, serta kemungkinan timbulnya konflik moral, agama, dan sosial. Dalam regulasi hukum di Indonesia yang telah tertuang dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan (“UU Kesehatan”), telah menegaskan bahwa proses reproduksi dengan bantuan teknologi, hanya dapat dilakukan oleh pasangan suami istri yang sah, sebagaimana tertera dalam Pasal 58 UU Kesehatan.  

Perbedaan Praktik Surrogate Mother, Bayi Tabung, dan Inseminasi Buatan

Pasal 44 ayat (1) Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 2 Tahun 2025 tentang Penyelenggaraan Upaya Kesehatan Reproduksi (“Permenkes 2/2025”) mendefinisikan bahwa pelayanan kesehatan reproduksi dengan bantuan merupakan Pelayanan Kesehatan yang dilakukan untuk memperoleh kehamilan di luar cara alamiah tanpa melalui proses hubungan suami istri atau senggama apabila cara alami tidak memperoleh hasil. Pelayanan kesehatan ini bertujuan dalam membantu pasangan yang mengalami infertilitas agar dapat memperoleh keturunan, dengan menggunakan peralatan dan cara yang mutakhir. Seiring berkembangnya zaman, teknologi yang berperan sebagai alternatif bagi pasangan yang mengalami gangguan fertilisasi muncul dengan berbagai macam istilah, di antaranya:

1. Bayi Tabung (In Vitro Fertilization (IVF))
Bayi tabung merupakan teknik pembuahan secara semi alami yang dilakukan dengan tahapan prosedur pengambilan sel telur istri (ibu) dan sel sperma suami (ayah), yang kemudian disatukan dalam suatu tabung di laboratorium, dengan tujuan mengamati proses perkembangan kedua sel tersebut setelah di satukan. Kemudian, apabila sel yang  telah disatukan menunjukkan proses perkembangan menjadi sebuah embrio, proses selanjutnya embrio yang telah menunjukkan perkembangan dalam tabung tersebut akan di transfer kembali ke rahim ibu dengan harapan tumbuh sebagaimana layaknya pembuahan alamiah.

2. Inseminasi Buatan (Intra Uterine Insemination (IUI))
Inseminasi buatan proses pembuahan terjadi di dalam tubuh wanita secara alami, namun proses tersebut dilakukan dengan cara memperpendek perjalanan sperma menuju indung telur dengan tujuan terjadi pembuahan dengan cepat. Dalam prosesnya sel sperma dialirkan langsung ke dalam rahim untuk mengurangi risiko kegagalan saat sperma menuju ke indung telur.

3. Ibu Pengganti (Surrogate Mother)
Ibu pengganti/sewa rahim merupakan kesepakatan untuk menyewakan rahim wanita yang bukan pasangan suami istri untuk dititipkan embrio/mengandung bayi dari pasangan yang tidak dapat melakukan kehamilan secara alami. Menurut American Pregnancy Association, praktik Ibu pengganti terjadi ketika terdapat kelainan rahim pada seorang wanita yang tidak dimungkinkan untuk menjalani kehamilan.

Landasan Hukum Surrogate Mother 

Pada hakikatnya, praktik surrogate mother dilandaskan dengan sebuah kesepakatan atau perjanjian antara seorang wanita yang mengikatkan diri melalui perjanjian dengan pihak suami-istri yang ingin memiliki buah hati. Prosedur ini dilakukan dengan cara meminjam rahim wanita tersebut untuk ditanamkan embrio dari hasil penggabungan sel telur dan sel sperma pasangan suami-istri tersebut hingga seorang wanita tersebut melahirkan. Bayi tersebut akan diserahkan kepada pihak suami-istri berdasarkan kesepakatan yang telah disepakati bersama. Perjanjian dalam praktik surrogate mother dikenal dengan istilah gestational agreement. Apabila ditinjau dalam hukum perdata, walaupun Pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUHPerdata”) telah mengatur mengenai asas kebebasan berkontrak, yang mana para pihak diberikan kebebasan untuk membuat perjanjian. Namun apabila dirujuk kembali menurut syarat sahnya suatu perjanjian, sebagaimana termuat dalam Pasal 1320 KUHPerdata, yang meliputi unsur:

  1. Kesepakatan para pihak;
  2. kecakapan para pihak;
  3. Suatu hal tertentu; dan
  4. Suatu sebab yang halal.

Sehingga apabila dianalisis kembali menyangkut unsur suatu sebab yang halal, praktik surrogate mother tidak memenuhi syarat sah nya perjanjian. Mengacu pada suatu sebab yang halal, berarti mengacu dengan 3 (tiga) hal yang harus dipenuhi:

  1. Tidak boleh bertentangan dengan undang-undang
    Jika dikaji kembali, praktik surrogate mother telah bertentangan dengan Pasal 58 UU Kesehatan yang menjelaskan mengenai syarat melakukan program reproduksi dengan bantuan teknologi yang hanya boleh dilakukan oleh pasangan suami-istri yang sah.
  2. Tindak bertentangan dengan kesusilaan
    Wulan Fitriana dalam artikel yang ditulis dalam website hukumonline menerangkan bahwa praktik surrogate mother memiliki dampak terjadinya perbuatan zina, dikarenakan terdapat percampuran sperma laki-laki ke dalam rahim wanita yang menyewakannya. Dalam Pasal 98 Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Kesehatan (“PP Kesehatan”), telah menyatakan bahwa upaya kesehatan reproduksi dilaksanakan berdasarkan dengan menghormati martabat manusia sesuai dengan norma agama. Selain itu, hal ini juga dipertegas kembali dalam Pasal 44 ayat (2) Permenkes 2/2025 yang menyatakan bahwa praktik pelayanan kesehatan reproduksi berbantu yang dilakukan sesuai dengan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi tidak boleh bertentang dengan norma agama. 
  3. Tidak mengganggu ketertiban umum
    Lebih lanjut Wulan Fitriana menjelaskan, selain itu surrogate mother dapat menimbulkan stigma baru di dalam masyarakat.

Berdasarkan uraian di atas, aspek hukum dalam gestational agreement atau perjanjian sewa menyewa rahim pada hakikatnya perjanjian tersebut tidak memenuhi syarat sahnya perjanjian, terkait suatu sebab yang halal. Sehingga perjanjian tersebut dapat dibatalkan demi hukum. Terlebih lagi belum terdapat aturan hukum secara spesifik terkait pelaksanaan praktik surrogate mother, hal tersebut hanya tersirat dalam UU Kesehatan, PP Kesehatan dan Permenkes 2/2025.***

Daftar Hukum:

Referensi: