Oleh: Cakra Budi Prasetyo , S.H., M.H.

 

Persaingan usaha merupakan persaingan antar pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan produksi dan atau pemasaran barang atau jasa yang dilakukan dengan berbagai cara guna mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya dengan biaya produksi sekecil-kecilnya. Pada dasarnya banyak sekali praktik dalam persaingan usaha yang dilarang. Dalam Undang-undang Nomor 5 tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (selanjutnya disebut sebagai “UU Nomor 5 Tahun 1999”), setidaknya terdapat 12 Perjanjian yang dilarang, dan 4 kegiatan yang dilarang dalam pelaksanaan persaingan usaha, yaitu :

Perjanjian yang dilarang :

  1. Perjanjian Oligopoli (Pasal 4);
  2. Perjanjian penetapan harga/Price fixing agreement (Pasal 5 ayat (1), (2));
  3. Perjanjian Diskriminasi Harga/Price Discrimination (Pasal 6);
  4. Penetapan harga dibawah pasar/Predatory Pricing (Pasal 7);
  5. Penetapan harga jual kembali/Resale price maintenance (Pasal 8);
  6. Perjanjian pembagian wilayah pemasaran atau lokasi pasar/market division (Pasal 9);
  7. Perjanjian Pemboikotan (Pasal 10);
  8. Perjanjian Kartel (Pasal 11);
  9. Perjanjian Trust (Pasal 12);
  10. Perjanjian Oligopsoni (Pasal 13);
  11. Perjanjian Integrasi Vertikal (Pasal 14); dan
  12. Perjanjian Tertutup (Pasal 15).

Kegiatan yang dilarang :

  1. Kegiatan Monopoli (Pasal 17);
  2. Kegiatan Monopsoni (Pasal 18);
  3. Penguasaan Pasar (Pasal 19, Pasal 20, Pasal 21); dan
  4. Persekongkolan (Pasal 22, Pasal 23, Pasal 24).

Artikel ini akan membahas salah satu kegiatan yang dilarang dalam penyelenggaraan persaingan usaha yang sehat yaitu Persekongkolan dalam Tender. Salah satu bentuk praktek persaingan usaha yang dilarang dengan ancaman pidana dalam Pasal 48 ayat (2) UU Nomor 5 Tahun 1999 berupa denda serendah-rendahnya Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar Rupiah) dan setinggi-tingginya Rp 25.000.000,00 (dua puluh lima miliar Rupiah) , atau kurungan pengganti denda selama-lamanya 5 (lima) bulan.

Dalam UU Nomor 5 Tahun 1999, terdapat pertentangan norma/contradiction norm dalam satu Undang-undang. Pada ketentuan umum Pasal 1 angka 8, persekongkolan atau konspirasi usaha diartikan sebagai “bentuk kerjasama yang dilakukan oleh pelaku usaha dengan pelaku usaha lain dengan maksud untuk menguasai pasar bersangkutan bagi kepentingan pelaku usaha yang bersekongkol”. Sedangkan Pasal 22 memberikan perluasan makna persekongkolan yang mengganti kata “pelaku usaha lain” menjadi “pihak lain”, sehingga definisi persekongkolan dalam Pasal 22 menjadi “Pelaku usaha dilarang bersekongkol dengan pihak lain untuk mengatur dan atau menentukan pemenang tender sehingga dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat”.

Pertentangan norma ini menjadi dasar Uji Materiil Mahkamah Konstitusi Nomor 85/PUU-XIV/2016 Terhadap Pasal 22, Pasal 23, Pasal 24, tertanggal 28 September 2016. Yang pada akhirnya Mahkamah Konstitusi memutus dengan menyatakan frasa “pihak lain” dalam Pasal 22, Pasal 23, dan Pasal 24 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 33, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2817) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 secara bersyarat dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai selain “dan/atau pihak yang terkait dengan pelaku usaha lain”, sehingga berbunyi :

  • Pasal 22 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat berbunyi:

Pelaku usaha dilarang bersekongkol dengan pelaku usaha lain dan/atau pihak yang terkait dengan pelaku usaha lain untuk mengatur dan atau menentukan pemenang tender sehingga dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat.

  • Pasal 23 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat berbunyi:

Pelaku usaha dilarang bersekongkol dengan pelaku usaha lain dan/atau pihak yang terkait dengan pelaku usaha lain untuk mendapatkan informasi kegiatan usaha pesaingnya yang diklasifikasikan sebagai rahasia perusahaan sehingga dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat.

  • Pasal 24 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat berbunyi:

Pelaku usaha dilarang bersekongkol dengan pelaku usaha lain dan/atau pihak yang terkait dengan pelaku usaha lain untuk menghambat produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa pelaku usaha pesaingnya dengan maksud agar barang dan atau jasa yang ditawarkan atau dipasok di pasar bersangkutan menjadi berkurang baik dari jumlah, kualitas, maupun ketepatan waktu yang dipersyaratkan.

Pemaknaan “pihak lain” sebagaimana yang diatur dalam Pasal 22, Pasal 23, dan Pasal 24 UU Nomor 5 tahun 1999 yang ada dalam praktik selama ini tidak dapat dimaknai menjangkau siapa saja dan tanpa batas, akan tetapi diharapkan akan menjadi terbatas yaitu sampai pada pihak yang ada kaitannya dengan pelaku usaha. Dengan demikian sepanjang Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) tidak memiliki bukti yang cukup tentang keterkaitan pihak ketiga dengan pelaku usaha lainnya, hal itu tidak dapat diartikan sebagai bentuk persekongkolan. Hal ini mengharuskan dalam memaknai Pasal 1 angka 8 dan Pasal 22 tentang persekongkolan harus dimaknai secara imperatif dan dipedomani serta dilaksanakan yang terimplementasi ke dalam pasal-pasal lain yang bersifat teknis operasional agar tidak terjadi multitafsir dan tetap berprinsip kepastian hukum

Uji materiil yang dilakukan mahkamah Konstitusi tidak menjadikan penyempitan makna frasa “pihak lain” namun hanya membatasinya. Hal ini dikarenakan dalam praktek persekongkolan dapat terjadi dengan 3 cara yaitu persekongkolan secara horisontal, persekongkolan secara vertikal dan persekongkolan secara gabungan. Artinya praktek persekongkolan tidak hanya melibatkan antar pelaku usaha. Praktek persekongkolan tender dapat terjadi dengan melibatkan pihak diluar pelaku usaha, salah satunya adalah panitia pengadaan tender. Berikut bentuk-bentuk praktek persekongkolan Tender yang terjadi:

  1. Persekongkolan Tender Horisontal

Bentuk persekongkolan tender pertama, dilakukan oleh sesama para pelaku usaha atau antara para peserta tender pengadaan barang dan/jasa lain yang masih sederajat. Persekongkolan semacam ini, mereka akan bersaing secara semu/tidak nyata diantara para peserta tender. Para peserta tender akan saling bertukar informasi, menaikkan harga penawaran dan menurunkan harga penawaran. Peserta yang telah disepakati antar pelaku usaha yang bersekongkol untuk dimenangkan, akan diupayakan oleh para peserta lain sedemikian rupa agar peserta tersebut dapat memenangkan tender. Sedangkan peserta lain yang kalah dalam tender, akan sengaja dengan tidak melengkapi syarat tertentu, sehingga mereka dapat digugurkan pada tahap selanjutnya atau dengan cara memberikan harga penawaran yang lebih tinggi daripada harga penawaran yang telah direncanakan untuk menang.

Praktek Tender yang dibuka untuk umum memiliki beberapa kelemahan. Dimana panitia pengadaan lelang akan sulit melihat kompetensi dan profesionalitas para pelaku usaha yang mendaftarkan diri. Banyak pelaku usaha yang hanya memiliki kemampuan memenuhi syarat administratif, dan hanya beberapa yang memiliki kemampuan administratif serta kompetensi dibidangnya. Para pelaku usaha yang tidak mampu secara tekhnis hanya akan berperan sebagai pendamping. Mereka hanya mengharapkan komisi dari pelaksanaan tender tersebut. Sedangkan pelaku usaha yang memiliki kemampuan secara tekhnis dan administratif biasanya akan dimenangkan dalam tender. Pihak yang bersekongkol akan memiliki kesempatan yang lebih besar untuk memenangkan tender, dibandingkan pesaing lain yang jujur. Korban dari praktek semcam ini adalah para peserta tender yang telah memiliki niat baik, dan melaksanakan kegiatan dengan baik justru dikalahkan dalam persaingan ini.

  1. Persekongkolan Tender Vertikal

Bentuk persekongkolan kedua adalah persekongkolan tender vertikal. Dalam persekongkolan tender vertikal, peserta tender, atau beberapa peserta tender akan bekerjasama, sepakat, dengan panitia pengadaan barang dan/atau jasa. Dalam keadaan seperti ini, panitia akan memberikan beberapa kemudahan, persyaratan, informasi, kepada penawar yang bersekongkol dengan tujuan agar setiap dokumen yang diajukan kepada panitia memungkinkan untuk lolos atau menang tender. Dalam praktik persekongkolan tender vertikal, para panitia pengadaan barang atau panitia lelang, memiliki kepentingan keuntungan sendiri baik berupa komisi atupun fee dari peserta tender yang akan dimenangkan. Kondisi tersebut menciptakan persaingan usaha yang seolah-olah terjadi, namun sebenarnya tidak ada persaingan sama sekali. Karena dalam hal ini sudah dapat dipastikan bahwa pihak yang bersekongkol akan menjadi pemenang tender tersebut. pesaing/ peserta tender lain akan gugur karena mereka tidak dapat memenuhi spesifikasi yang sangat rinci atau sangat rumit atas barang dan/jasa yang dibutuhkan.

  1. Persekongkolan Tender Gabungan

Bentuk ketiga dari persekongkolan tender adalah, Persekongkolan Tender gabungan. Persekongkolan ini terbentuk antara panitia tender atau panitia lelang dengan beberapa peserta tender. Ciri dari persekongkolan semacam ini membentuk persaingan fiktif. Panitia tender maupun para peserta tender melakukan proses tender hanya secara administratif dan tertutup. Hal ini dikarenakan sejak awal pendaftaran tender sudah dapat ditentukan siapa pemenang tender. Mereka yang melakukan persekongkolan akan menjadi pemenang dalam tender. Bentuk persekongkolan semacam ini mengakibatkan pelaksanaan tender secara fiktif.

 

Referensi :

  1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
  2. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat
  3. Mahkamah Konstitusi Nomor 85/PUU-XIV/2016, tanggal 28 September 2016