Eksistensi  dan perkembangan Nominee Arrangement atau perjanjian pinjam nama kepemilikan tanah dan bangunan mengalami tantangan dengan diberlakukannya Surat Edaran Mahkamah Agung RI (SEMA) Nomor : 10 Tahun 2020 tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat Pleno MA Tahun 2020. SEMA menyatakan bahwa, “Pemilik sebidang tanah adalah pihak yang namanya tercantum dalam sertifikat, meskipun tanah tersebut dibeli menggunakan uang/harta/aset milik pihak lain atau Warga Negara Asing”.

Praktek Nominee Arrangement di Indonesia 

Sebelum berlakunya SEMA, selama ini WNA yang berada di Indonesia dan berkeinginan membuka usaha berbasiskan tanah dan bangunan, akan mengalami kesulitan untuk memiliki hak atas tanah dengan status hak milik, karena terbentur ketentuan Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (UUPA) yang melarang WNA memiliki tanah dengan status hak milik di Indonesia.

Untuk menyiasatinya, para WNA kemudian meminjam nama penduduk asli yang namanya dicantumkan dalam sertifikat hak milik (SHM). Meskipun anggaran pembelian lahan tersebut bersumber dari orang asing. Biasanya nama yang tercantum dalam SHM diberikan imbalan sejumlah uang yang nilainya telah disepakati oleh kedua belah pihak. Selanjutnya, orang asing yang menguasai sertifikat tanah itu dapat dengan leluasa menggunakan atau memanfaatkan tanah tersebut. 

Adanya kesepakatan antara WNA dengan WNI terkait peminjaman nama yang tercantum sebagai pemilik tanah berikut nilai imbalan jasanya, serta kewenangan atau kekuasaan mengelola dan memanfaatkan tanah yang sepenuhnya berada ditangan WNA dituangkan dalam perjanjian Nominee Arrangement atau Perjanjian Pinjam Nama. Perjanjian ini dibuat secara tertulis dan ditandatangani oleh kedua belah pihak secara akta notarial serta dibuat dalam dua bahasa, yaitu bahasa asing dan bahasa Indonesia.

Praktek perjanjian pinjam nama yang marak terjadi di Indonesia telah mendorong orang asing untuk datang dan menanamkan modalnya di Indonesia. Kondisi ini justru telah memicu dan menggairahkan iklim investasi dan mendorong peningkatan ekonomi nasional. Praktek ini banyak terjadi di kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, Medan, Makassar, Bandung, Palembang, Semarang, Bali, Lombok, NTB, Yogyakarta, dan kota besar lainnya.

Biasanya orang asing yang menguasai lahan melalui perjanjian Nominee Arrangement memanfaatkan lahan tersebut untuk kegiatan usaha dan pariwisata. Praktik perjanjian ini dipilih dengan alasan, hak milik dengan mengataskan nama WNI dapat berlangsung lama atau selamanya selama pihak yang tercantum namanya di sertifikat masih hidup dan dapat diturunkan kepada ahli waris. Apabila sertifikat itu diturunkan kepada ahli waris, maka WNA tersebut dapat memperbaharui perjanjiannya dengan mencantumkan nama ahli waris. 

Sementara jika menggunakan Hak Guna Usaha (HGU), Hak Guna Bangunan (HGB) atau hak lainnya selain hak milik (SHM) perjanjian tersebut memiliki keterbatasan, seperti batas waktu dan batasan jenis usaha yang dapat dijalankan. Oleh sebab itu perjanjian pinjam nama atau Nominee Arrangement lebih disukai dan dipilih oleh WNA yang akan berusaha dan tinggal di Indonesia.

Nominee Arrangement Beri Kemudahan Usaha 

Praktek Nominee Arrangement selama ini dianggap sebagai bentuk hukum yang ramah terhadap kemudahan berusaha (ease of doing business) bagi orang asing di Indonesia. Cara ini telah mendorong tumbuhnya investasi di Tanah Air dan membuka lapangan pekerjaan, sekaligus dapat menambah kas keuangan negara dari sektor pajak dan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB). 

Terkait akses kemudahan berusaha di suatu negara, setiap tahun Bank Dunia mengumumkan daftar peringkat negara-negara kemudahan berusaha. Daftar ini menjadi referensi bagi investor global untuk menentukan negara mana yang akan menjadi sasaran atau target investasinya.

Terdapat 10 komponen penilaian tingkat kemudahan berusaha yang dilakukan Bank Dunia terhadap 190 negara, yaitu :

  1. Kemudahan memulai usaha (starting business). Penilaian berdasarkan tingkat kemudahan dalam pengurusan perizinan.
  2. Kemudahan dalam memperoleh izin mendirikan bangunan.
  3. Ketersediaan listrik (getting electricity) yang mencangkup prosedur, waktu dan biaya dalam memperoleh jaringan listrik, pengadaan listrik, dan biaya konsumsi listrik.
  4. Pendaftaran hak atas tanah. Penilaian diarahkan pada mekanisme pendaftaran tanah yang dapat memberikan kepastian dan perlindungan hukum terhadap pemegang hak atas bidang tanah, satuan rumah susun, dan hak-hak atas tanah lainya.
  5. Kemudahan memperoleh kredit bank dan perusahaan pembiayaan lainya.
  6. Perlindungan pemegang saham minoritas. Memfokuskan pada ada tidaknya instrumen hukum yang efektif bagi investor yang menanamkan modalnya di Indonesia sebagai pemegang saham minoritas.
  7. Pembayaran pajak.
  8. Perdagangan lintas batas negara/internasional (eksport/import).
  9. Penegakan kontrak/perjanjian. Berkaitan dengan biaya, waktu dan kejelasan dalam penyelesaian perselisihan perdagangan serta kualitas proses hukum dari suatu kontrak atau perjanjian.
  10. Penyelesaian Kepailitan. Kemudahan tingkat pemulihan (recovery rate) dalam kepailitan dan kekuatan kerangka hukum kepailitan yang cepat, adil dan efektif.

Berdasarkan penilaian Bank Dunia terhadap 190 negara, Indonesia menduduki peringkat 72 di tahun 2018 dan 2019. Pada tahun selanjutnya Indonesia justru turun satu peringkat diposisi 73. Jika dibandingkan negara-negara Asean, seperti Singapura, Malaysia, Thailand, dan Vietnam, peringkat negara kita masih tertinggal. Meskipun pada tahun 2021 Bank Dunia menghentikan kegiatan penilaian kemudahan berusaha, akan tetapi penilaian yang telah dilakukan sebelumnya tetap dipandang penting oleh investor saat hendak menentukan negara tujuan investasinya.

Nominee Arrangement Merupakan Penyelundupan Hukum

Sebagaimana ketentuan Pasal 21 Ayat (1) dan Pasal 26 Ayat (2) Undang-undang No. 5 Tahun 1960 Tentang UUPA yang melarang orang asing memiliki tanah dengan status hak milik di Indonesia. Kemudian aturan itu dipertegas dengan ketentuan pasal 41 dan Pasal 42 UUPA. Peraturan Pemerintah No. 103 Tahun 2015 Tentang Pemilikan Rumah Tempat Tinggal atau Hunian oleh Orang Asing yang berkedudukan di Indonesia ikut mengatur larangan yang sama.

Dengan adanya larangan dalam bentuk peraturan dan perundang-undangan, maka praktik Nominee Arrangement dianggap sebagai penyelundupan hukum.

Eksistensi Nominee Arrangement didasarkan pada asas kebebasan berkontrak sebagaimana diatur dalam Pasal 1338 Ayat (1) KUHPerdata. Meskipun asas kebebasan berkontrak membolehkan orang untuk melakukan perjanjian apapun dan dengan siapapun, akan tetapi perjanjian yang dibuat tersebut harus tetap memenuhi syarat-syarat sahnya perjanjian sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata yang mensyaratkan perjanjian harus memenuhi empat syarat yaitu :

  1. Kesepakatan
  2. Kecakapan
  3. Obyek tertentu
  4. Causa yang halal.

Pada syarat causa yang halal, sesuai ketentuan pasal 1335 dan 1337 KUHPerdata suatu perjanjian tidak boleh bertentangan dengan undang-undang, kepatutan, kesusilaan dan ketertiban umum.

Perjanjian pinjam nama (Nominee Arrangement) dipandang bertentangan dengan Undang-undang No. 5 Tahun 1960 yang melarang WNA memiliki tanah dengan status hak milik. Perjanjian yang “memungkinkan” WNA yang namanya tidak terdaftar dalam sertifikat hak milik tanah, tetapi bertindak seolah-olah sebagai pemilik tanah merupakan bentuk pelanggaran UUPA. Oleh karenanya Nominee Arrangement dianggap sebagai bentuk penyelundupan hukum yang merusak tatanan hukum.

Bahwa kemudian Mahkamah Agung RI melalui SEMA No.10 Tahun 2020 menyatakan “Pemilik sebidang tanah adalah pihak yang namanya tercantum dalam sertifikat, meskipun tanah tersebut dibeli menggunakan uang/harta/aset milik WNI/Pihak Lain”.

Dengan perumusan hukum tersebut, maka yang dianggap secara hukum sebagai pemilik tanah yang didasarkan pada perjanjian pinjam nama kepemilikan tanah adalah WNI yang namanya terdaftar dalam Sertifikat Hak Milik (SHM). WNA yang telah mengeluarkan uang atau dana pembelian tanah, apabila suatu saat terjadi sengketa dimana WNI yang dipinjam dan namanya terdaftar dalam sertifikat mempermasalahkan atau mengklaim kepemilikan tanah, maka dengan mendasarkan pada SEMA, pengadilan akan menyatakan WNI yang namanya terdaftar dalam sertifikat selaku pemilik tanah.

Kesimpulan dan Saran

Adanya rumusan hukum sebagaimana SEMA No.10 Tahun 2020, secara tidak langsung telah melarang dan mematikan eksistensi dan perkembangan Nominee Arrangement atau Perjanjian Pinjam nama kepemilikan tanah.

Perlu kajian mendalam bukan hanya dari aspek hukum, tetapi juga dari aspek ekonomi terkait pemberlakuan SEMA No.10 tahun 2020 tersebut terhadap iklim kemudahan berusaha di Indonesia, mengingat surat edaran tersebut kemungkinan akan berdampak pada menurunya iklim investasi asing ke Indonesia. Padahal dalam rangka pemulihan dan kebangkitan ekonomi Indonesia pasca Pandemi Covid-19, serta rencana kepindahan Ibu Kota Negara RI, tentu investasi asing mempunyai peran sangat signifikan bagi pembangunan infrastruktur IKN serta tumbuh kembangnya perekonomian suatu negara.[]

 

 

Hari Prakosa, S.H.

Associate

Contact:

Mail       : @siplawfirm.id

Phone    : +62-21 799 7973 / +62-21 799 7975