Profesi dokter adalah profesi mulia yang dilandasi kepercayaan antara dokter dan pasien. Namun, ketika kepercayaan itu disalahgunakan, bukan hanya kode etik yang dilanggar, tapi juga hukum dan nilai-nilai kemanusiaan. Beberapa waktu yang lalu viral pemberitaan tentang oknum dokter yang melakukan pemeriksaan terhadap pasiennya yang berujung pada tindakan melampaui batas kewenangan sebagai seorang dokter. Pasien pun merasa tindakan yang dilakukan oleh oknum dokter spesialis itu mengarah pada dugaan tindak pelecehan seksual terhadap pasien.
Sebagaimana diketahui bahwa tindakan pelecehan seksual tidak dibenarkan dan diatur secara ketat dalam aturan yang berlaku di indonesia. Tindakan pencabulan mengarah pada tindak pidana yang diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (“KUHP”) pada Pasal 294 KUHP ayat (2).
Profesi dokter menempati posisi strategis dalam sistem kesehatan masyarakat karena berkaitan langsung dengan keselamatan, martabat, dan hak asasi manusia. Relasi antara dokter dan pasien berdasarkan prinsip kepercayaan (trust) dan etika profesional yang ketat. Namun, ketika dokter menyalahgunakan kewenangannya dalam pemeriksaan medis hingga melakukan tindakan pencabulan terhadap pasien, hal ini menjadi pelanggaran berat—tidak hanya secara etika, tetapi juga melanggar hukum pidana dan ketentuan dalam Undang-Undang Praktik Kedokteran.
Pemeriksaan Medis yang Melampaui Batas Kewenangan dan Etika
Dokter memiliki kewenangan untuk melakukan pemeriksaan fisik dalam batasan:
- Berdasarkan indikasi medis yang jelas,
- Dilakukan dengan persetujuan pasien (informed consent),
- Dilandasi tujuan pengobatan, bukan motif pribadi atau seksual.
Jika seorang dokter melakukan pemeriksaan tubuh pasien tanpa indikasi medis yang relevan — misalnya menyentuh organ intim tanpa alasan medis dan tanpa persetujuan pasien, maka ia telah melampaui batas kewenangan profesional dan melanggar etika kedokteran.
Diatur dalam Kode Etik Kedokteran Indonesia (“KODEKI”) bahwa:
“Setiap dokter wajib menjunjung tinggi, menghormati, dan melindungi hak pasien termasuk hak atas privasi dan martabat pasien.”
Pelanggaran terhadap prinsip ini menjadi celah masuk ke ranah hukum pidana.
Perspektif Hukum Pidana
Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”), tindakan tersebut termasuk dalam kategori tindak pidana pencabulan sebagaimana diatur dalam:
- Pasal 289 KUHP
“Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seseorang melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, diancam dengan pidana penjara paling lama 9 tahun.”
- Pasal 294 KUHP ayat (2)
“Barang siapa melakukan perbuatan cabul terhadap orang yang berada di bawah kekuasaannya atau pengawasannya, diancam dengan pidana penjara paling lama 7 tahun.”
Kondisi pasien yang sedang dalam perawatan atau pemeriksaan menempatkan mereka dalam posisi lemah dan bergantung pada dokter. Dalam konteks ini, hubungan kuasa menjadi unsur penting untuk memperberat pidana pelaku.
Perspektif UU Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan (“UU Kesehatan”)
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan (“UU Kesehatan”) menegaskan bahwa dokter hanya dapat melakukan praktik:
- Berdasarkan kompetensi dan kewenangan yang diperoleh dari izin resmi,
- Dengan menjalankan praktik sesuai standar profesi dan standar operasional prosedur (SOP).
Pasal 274 huruf a menyebutkan:
“Tenaga medis dan tenaga kesehatan dalam menjalankan praktik wajib, memberikan Pelayanan Kesehatan sesuai dengan standar profesi, standar pelayanan profesi, standar prosedur operasional, dan etika profesi serta kebutuhan Kesehatan Pasien.”
Pasal 291 ayat (1) menyebutkan:
“Setiap Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan dalam menyelenggarakan Pelayanan Kesehatan berkewajiban untuk mematuhi standar profesi, standar pelayanan, dan standar prosedur operasional”.
Jika dokter menyalahgunakan praktik kedokteran untuk tujuan seksual, maka selain dikenai sanksi pidana, ia juga dapat dikenai:
- Sanksi administratif berupa pencabutan Surat Tanda Registrasi (STR) atau izin praktik (SIP),
- Pemeriksaan oleh lembaga peradilan di lingkungan kedokteran yang berlaku majelis disiplin profesi dalam penegakan disiplin tenaga medis dan tenaga Kesehatan.
Penerapan UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (“UU TPKS”)
Selain KUHP, tindakan ini juga dapat dijerat melalui Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (“TPKS”). UU ini memperluas definisi kekerasan seksual termasuk yang terjadi karena relasi kuasa profesional, seperti antara dokter dan pasien. Dokter yang memanfaatkan posisinya untuk melakukan pencabulan dapat dipidana lebih berat dan diminta membayar restitusi kepada korban.
Kesimpulan
Dokter yang melanggar batas kewenangan dan melakukan tindakan pencabulan terhadap pasien telah:
- Melanggar etika profesi,
- Melanggar Undang-Undang Praktik Kedokteran, dan
- Melanggar hukum pidana, baik KUHP maupun UU TPKS.
Penegakan hukum terhadap pelaku harus dilakukan secara tegas agar memberikan efek jera serta menjaga integritas profesi medis. Selain itu, korban berhak mendapatkan perlindungan hukum dan pemulihan secara menyeluruh, baik secara fisik, psikologis, maupun sosial.***
Daftar Hukum:
- Kitab Undang-undang Hukum Pidana (“KUHP”). – Database Peraturan
- Undang-undang Nomor 17 tahun 2023 tentang Kesehatan (“UU Kesehatan”). – Regulasip
- Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (“TPKS”). – Database Peraturan
Author / Contributor:
![]() | Ikra Rhama, S.H, M.H., C.L.A Senior AssociateContact: Mail : @siplawfirm.id Phone : +62-21 799 7973 / +62-21 799 7975 |