Kejaksaan Negeri (Kejari) Samarinda telah menetapkan ETW, 36 tahun sebagai tersangka dugaan kasus kredit fiktif sebesar Rp 7,77 miliar. Dalam melancarkan aksinya, eks mantri Kredit Usaha Rakyat (KUR) BRI ini menggunakan modus “nasabah topengan” (kredit fiktif) sehingga dapat menguasai debit.
Pelaku ditahan terkait dugaan penyalahgunaan fasilitas kredit dalam tiga tahun, yakni pada 2019 hingga 2021 pada tiga kantor unit, yakni BRI Unit Bengkuring, BRI Unit Sungai Dama, dan BRI Unit Karang Paci pada Kantor BRI Cabang Samarinda 1.
ETW telah ditetapkan sebagai tersangka oleh Jaksa Penyidik Tindak Pidana Khusus pada Kejari tanggal 5 April 2023. Perbuatan yang dilakukan tersangka dalam perkara ini telah menimbulkan kerugian keuangan negara sebesar Rp 7,77 miliar.
Dalam penyelewengan kredit di perbankan ada dua istilah, yakni kredit topengan dan kredit tempilan. Kredit topengan adalah pengajuan kredit dengan menggunakan nama orang lain dan seluruh uangnya dikuasai oleh orang lain yang bukan debitur.
Sedangkan kredit tempilan adalah kredit yang uangnya digunakan sebagian oleh debitur dan sebagian lagi digunakan oleh orang lain.
Kredit fiktif
Kredit fiktif merupakan bentuk kejahatan yang dilakukan pelaku dengan menggunakan identitas dan informasi palsu untuk memperoleh fasilitas dari bank.
Dalam melancarkan aksinya, pelaku menggunakan identitas palsu, yang dalam hal ini adalah identitas nasabah lain yang digunakan tanpa diketahui oleh pemilik identitas bersangkutan.
Apabila merujuk pada ketentuan mengenai syarat sah perjanjian sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata, tentunya kredit fiktif ini tidak memenuhi persyaratan tersebut.
Hal ini dikarenakan identitas yang digunakan oleh pihak nasabah pemohon kredit bukan merupakan identitas asli sehingga tergolong sebagai perbuatan melawan hukum sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1365 KUHPerdata.
Pada dasarnya, tindak pidana kredit fiktif dapat melibatkan beberapa tindakan, seperti mengajukan kredit dengan memberikan informasi palsu, seperti data keuangan yang direkayasa, aset yang tidak ada, atau pendapatan yang dibesar-besarkan. Kerap pelaku mengajukan dokumen palsu atau memalsukan dokumen yang diperlukan untuk memperoleh kredit.
Pelaku juga akan melakukan tindakan menggunakan identitas palsu atau data palsu untuk mengajukan kredit, seperti menggunakan identitas orang lain tanpa izin.
Bahkan, dalam melancarkan aksinya tak jarang pelaku dibantu oleh pihak internal bank atau lembaga keuangan untuk membantu memuluskan pengajuan kredit fiktif. Setelah dana diperoleh, pelaku akan menyerahkan uang hasil kredit fiktif itu kepada pihak ketiga tanpa itikad baik untuk membayar kembali kredit tersebut.
Tindak pidana kredit fiktif dapat dianggap sebagai bentuk penipuan atau tindak pidana ekonomi yang melanggar hukum dan etika. Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) dan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) juga dapat berlaku dalam kasus-kasus seperti ini tergantung pada keadaan dan konteksnya.