Selasa, (31/01/2023) Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih menolak permohonan nikah beda agama atas nama E. Ramos Petege, pemeluk Katholik yang akan menikah dengan perempuan muslim. Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan, dalam perkawinan terdapat kepentingan dan tanggung jawab agama dan negara yang saling berkait erat.

Keputusan ini mengacu pada putusan Nomor 24/PUU-XX/2022, perkara pengujian Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU Perkawinan) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

Berikut alasan penolakan permohonan nikah beda agama :
1. Melalui Putusan Nomor 68/PUU-XII/2014 dan Putusan Nomor 46/PUU-VIII/2010, MK telah memberikan landasan konstitusionalitas relasi agama dan negara dalam hukum perkawinan bahwa agama menetapkan tentang keabsahan perkawinan, sedangkan negara menetapkan keabsahan administratif perkawinan dalam koridor hukum.

2. MK menolak permohonan atas dasar landasan konstitusionalitas relasi agama dan negara dalam hukum perkawinan. Agama menetapkan keabsahan perkawinan, sedangkan negara menetapkan keabsahan administratif perkawinan dalam koridor hukum.

3. Konsep beragama pada dasarnya terbagi menjadi dua, pertama beragama dalam pengertian menyakini suatu agama tertentu yang merupakan ranah forum internum yang tidak dapat dibatasi pemaksaan bahkan tidak dapat diadili. Kedua, beragama dalam pengertian ekspresi beragama melalui pernyataan dan sikap sesuai hati Nurani di muka umum yang merupakan ranah forum externum. Adapun perkawinan merupakan bagian dari bentuk ibadah sebagai suatu ekspresi beragama. Dengan demikian, perkawinan dikategorikan sebagai forum eksternum di mana negara dapat campur tangan sebagaimana halnya dengan pengelolaan zakat maupun pengelolaan haji.

4. Segala tindakan dan perbuatan yang dilakukan oleh warga negara termasuk dalam hal menyangkut urusan perkawinan harus taat dan tunduk serta tidak bertentangan atau melanggar peraturan perundang-undangan. Peraturan perundang-undangan mengenai perkawinan dibentuk untuk mengatur dan melindungi hak dan kewajiban setiap warga negara dalam kaitannya dengan perkawinan sejalan dengan Pasal 28 UUD 1945.

5. Dalam menjalankan hak yang dijamin UUD 1945, setiap warga negara wajib tunduk terhadap pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan dan penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain serta untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis berdasarkan hukum.

6. Pada ketentuan Pasal 2 UU 1/1974 pencatatan yang dimaksud ayat (2) haruslah pencatatan yang membawa keabsahan dalam ayat (1). Dengan demikian, UU tersebut menghendaki agar perkawinan yang dicatat adalah perkawinan yang sah. Diwajibkannya pencatatan perkawinan oleh negara merupakan kewajiban administratif. Sedangkan perihal sahnya perkawinan dengan adanya norma Pasal 2 ayat (1) a quo, negara justru menyerahkannya kepada agama dan kepercayaannya karena syarat sah perkawinan ditentukan oleh hukum masing-masing agama dan kepercayaan.

7. Ketentuan Pasal 2 ayat (1) UU 1/1974 memberikan koridor bagi pelaksanaan perkawinan, agar sah maka perkawinan dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya. Berlakunya ketentuan pasal 2 ayat (1) bukan berarti menghambat ataupun menghalangi kebebasan setiap orang untuk memilih agama dan kepercayaannya. Kaidah pengaturan norma Pasal 2 ayat (1) adalah perihal perkawinan yang sah menurut agama dan kepercayaan, bukan mengenai memilih agama dan kepercayaan.

8. Pasal 34 UU 23/2006 menegaskan setiap warga negara yang telah melangsungkan perkawinan yang sah menurut peraturan perundang-undangan berhak mencatatkan perkawinannya pada kantor catatan sipil bagi pasangan non Islam dan KUA bagi pasangan beragama Islam. Jaminan pencatatan perkawinan bagi setiap warga negara juga dapat dilakukan terhadap perkawinan yang ditetapkan oleh peradilan.

9. Meskipun dalam penjelasannya dijelaskan, perkawinan yang ditetapkan pengadilan adalah perkawinan yang dilakukan antar umat yang berbeda agama, menurut Mahkamah bukan berarti negara mengakui perkawinan beda agama. Karena negara atau organisasi dalam hal ini mengikuti penafsiran yang telah dilakukan oleh lembaga atau organisasi keagamaan yang memiliki otoritas mengeluarkan penafsiran. Dalam hal terjadi perbedaan penafsiran maka lembaga atau organisasi keagamaan dari individu tersebut yang berwenang menyelesaikannya.