Persoalan yang kerap muncul dalam hukum waris adalah menentukan ahli waris atau pihak yang paling berhak menerima warisan dari kekayaan seseorang yang meninggal dunia. Tak jarang pembagian harta waris ini menjadi masalah bagi keluarga di Indonesia.

Sebenarnya Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUH Perdata) telah menentukan bahwa pewarisan merupakan salah satu cara untuk memperoleh hak milik. Secara khusus, pasal 832 dan 852 huruf a KUH Perdata menyatakan bahwa pihak yang berhak untuk menjadi ahli waris adalah para keluarga sedarah baik terikat perkawinan sah ataupun di luar nikah dan suami atau istri yang hidup terlama.  Pasal 250 KUH Perdata menyatakan bahwa tiap anak yang dilahirkan sepanjang perkawinan sah berhak mendapatkan harta warisan.

Namun adakalanya muncul persoalan ketika perkawinan itu dilakukan tanpa pencatatan berdasarkan undang-undang yang berlaku. Meski agama sudah menganggap perkawinan sah, tanpa pencatatan berdasarkan undang-undang yang berlaku, perkawinan dianggap tidak ada.

Pencatatan perkawinan dilakukan di Kantor Urusan Agama (KUA) bagi penduduk beragama Islam sedangkan untuk penduduk yang beragama selain Islam di Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil.

Kewajiban Pencatatan Perkawinan Menurut Hukum Positif Indonesia

Perkawinan harus mendapat pengakuan dari negara.  Pasal 2 ayat (2) UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyatakan bahwa tiap-tiap perkawinan harus dicatat menurut peraturan yang berlaku. Ketentuan mengenai pencatatan perkawinan diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975  tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan menyatakan bahwa  perkawinan yang sah menurut peraturan perundang-undangan wajib dilaporkan kepada instansi pelaksana di tempat terjadinya perkawinan paling lambat 60 hari sejak tanggal perkawinan. Sesudah itu, instansi pelaksana terkait akan menerbitkan Kutipan Akta Perkawinan yang masing-masing diberikan kepada suami dan istri.

Ketentuan tentang pencatatan perkawinan tersebut berlaku bagi warga negara Indonesia (WNI) dan bagi warga negara asing (WNA) yang dilakukan di Indonesia atas permintaan WNA yang bersangkutan.

Perkawinan WNI dengan WNA yang dilakukan di luar negeri berada di luar jangkauan hukum Indonesia. Namun, Pasal 56 ayat 1 UU No. 1 Tahun 1974 memperbolehkan perkawinan dua orang WNI atau WNI dengan WNA. Perkawinan itu dianggap sah apabila dilangsungkan menurut hukum yang berlaku di negara di mana perkawinan itu dilangsungkan dan, bagi WNI, tidak melanggar ketentuan-ketentuan undang-undang.

Dari uraian di atas sudah cukup jelas bahwa pencatatan perkawinan WNI di luar negeri dianggap sah apabila tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia.

Bagi WNI yang beragama Islam, perkawinan juga harus memenuhi ketentuan hukum syariah. Perkawinan WNI yang beragama selain Islam juga harus dilaksanakan menurut hukum agama bersangkutan.

Pasal 37 UU No. 24 Tahun 2013 tentang perubahan UU No.23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan menyatakan bahwa perkawinan yang dilakukan di luar wilayah Indonesia wajib didaftarkan di instansi yang berwenang di negara tempat perkawinan itu dilangsungkan atau dilaporkan di perwakilan Republik Indonesia dalam jangka waktu  30 (tiga puluh) hari.

Berdasarkan Pasal 107 Peraturan Presiden No. 25 Tahun 2008, apabila pelaporan lewat dari jangka waktu yang telah ditentukan maka  akan dikenakan denda administratif sesuai peraturan daerah setempat.

Implikasi Yuridis dari Perkawinan Tidak Dicatatkan

Pencatatan perkawinan secara normatif tidak dinyatakan sebagai syarat sahnya suatu perkawinan karena yang menentukan keabsahan perkawinan tersebut adalah hukum agama dan kepercayaan pengantin Namun demikian, perkawinan tanpa pencatatan (perkawinan siri) tidak dapat dibuktikan adanya perkawinan.

Pencatatan perkawinan adalah bukti otentik jika terjadi masalah dalam perkawinan, misalnya untuk menentukan status anak yang lahir dalam perkawinan, dan jika terjadi perceraian.  Akta Perkawinan, misalnya, dapat digunakan sebagai alat bukti untuk menyelesaikan masalah yang muncul.

Pencatatan perkawinan bisa berfungsi sebagai alat bukti tertulis yang sah untuk memperkarakan persoalan rumah tangga secara hukum di pengadilan, selain juga untuk urusan-urusan administratif suami istri dan anak-anaknya.

Perkawinan yang tidak dicatatkan bisa membawa dampak merugikan bagi istri dan perempuan pada umumnya, baik secara hukum maupun sosial, serta bagi anak yang dilahirkan. Seorang anak yang sah adalah anak yang dianggap lahir dari perkawinan yang sah antara ayah dan ibunya. Dalam hukum positif di Indonesia, keturunan yang sah didasarkan atas adanya perkawinan yang sah.

Meski UU No. 1 Tahun 1974 tidak mengatur secara tegas sanksi atau konsekuensi hukum bila perkawinan di luar negeri tidak dicatatkan di Indonesia, Surat Edaran Mahkamah Agung No. 3 Tahun 2015 menyatakan bahwa “Dalam hal terjadi perkawinan yang dilakukan di luar negeri yang tidak dicatatkan di kantor pencatat perkawinan di Indonesia, maka perkawinan itu dianggap tidak pernah ada.”

Ada implikasi yuridis dari “perkawinan yang tidak mendapat perlindungan hukum” dan “dianggap tidak ada perkawinan” baik bagi pembuktian perkawinan, orang yang melakukan perkawinan, anak yang lahir dalam perkawinan dan terhadap harta yang muncul dalam perkawinan tersebut.

Perkawinan di dalam dan luar negeri yang tidak dicatatkan memiliki akibat hukum, diantaranya:

a. Aspek Kejelasan Status Anak yang Dilahirkan

Secara agama, status anak dari hasil perkawinan yang tidak tercatat mendapat hak yang sama dengan anak hasil perkawinan yang sah. Namun pada praktiknya, anak dari hasil perkawinan yang tidak tercata tidak mendapat hak keperdataannya dengan mudah dari ayahnya seperti  hak hukum atas nafkah, waris, maupun akta kelahiran.

Perkawinan yang tidak tercatat dapat diartikan bahwa peristiwa perkawinan tersebut tidak pernah ada.  Akibatnya,  anak yang lahir dari perkawinan tersebut dikategorikan sebagai anak luar kawin berdasarkan  Pasal 42 UU No. 1 Tahun 1974 yang menyatakan bahwa “Anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah”.

Berdasarkan pasal 43 ayat 1 UU No. 1 Tahun 1974, status hukum anak di luar kawin hanya akan mempunyai hubungan keperdataan dari ibu dan keluarga ibunya saja, sedangkan dengan bapak biologis dan keluarga bapaknya, anak di luar kawin tidak mempunyai hubungan keperdataan. Demikian pula dalam hal pembuatan identitas diri anak berupa akta kelahiran, di dalam akta kelahiran anak di luar kawin hanya dicantumkan nama ibunya saja, sedangkan nama bapaknya tidak tercantum.

Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Nomor 46/PUU-VIII/2010 telah menyatakan Pasal 43 ayat 1 UU No. 1 Tahun 1974 ini bertentangan dengan UUD 45 sepanjang dimaknai menghilangkan hubungan perdata dengan laki-laki yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum ternyata mempunyai hubungan darah sebagai ayahnya.

Mahkamah Konstitusi  menyatakan bhawa Pasal 43 ayat 1 UU No. 1 Tahun 1974 tersebut harus dibaca, “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya”.

b. Aspek Status Hak Mewaris dan Aspek Harta Gono Gini/Harta Bersama

Akibat perkawinan tidak dicatatkan menurut hukum negara adalah  ketidakjelasan hubungan hukum antara suami dan istri dan ketidakjelasan dari sisi terbentuknya harta benda perkawinan, serta hubungan pewarisan. Hal ini menjadikan tidak ada jaminan hukum berkaitan dengan hak waris istri.

Secara hukum, perempuan tidak dianggap sebagai istri sah dalam hal pembagian harta bersama. Ia tidak berhak atas nafkah dan warisan dari suami jika ditinggal meninggal dunia. Selain itu sang istri tidak berhak atas harta bersama atau harta gono-gini jika terjadi perpisahan, karena secara hukum negara perkawinan tersebut dianggap tidak pernah terjadi.

 

Author / Contributor:

Hari Prakosa, S.H.

Associate

Contact:

Mail       : hari@siplawfirm.id

Phone    : +62-21 799 7973 / +62-21 799 7975