Lingkungan hidup yang sehat dan bersih merupakan pemenuhan hak asasi manusia, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 28H ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (“UUD NRI 1945”). Dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (“UUPPLH”), mendefinisikan Lingkungan Hidup sebagai kesatuan ruang yang terdapat benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup termasuk manusia. Pencemaran lingkungan merupakan salah satu permasalahan global yang membutuhkan penanganan yang intensif. Timbulnya degradasi akibat pencemaran limbah industri yang menghasilkan Limbah Berbahaya dan Beracun (B3) dan limbah domestik lainnya, turun mengancam keberlangsungan kehidupan makhluk hidup didalamnya. 

Umumnya, aktivitas perusahaan dalam bidang industri yang tidak dapat mengolah hasil limbah dengan baik, merupakan salah satu penyebab kerusakan lingkungan. Indonesia sudah memiliki kebijakan dalam bentuk UUPLH sebagai payung hukum untuk menjaga perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Meskipun demikian, dalam implementasinya hal tersebut tidak berjalan dengan semestinya. Tentu hal ini merupakan tantangan utama dalam mengatasi keberlangsungan lingkungan hidup.

Kewajiban Perusahaan Terhadap Lingkungan

Kewajiban Corporate Social Responsibility (CSR) atau Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan (TJSL) perusahaan telah diatur dalam peraturan perundang-undangan. Dasar hukum CSR sendiri tersebar dalam beberapa peraturan, misalnya dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas  (“UUPT”), dan Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2012 tentang Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Perseroan Terbatas (“PP TJSL PT”). Berdasarkan Pasal 1 angka 3 UU PT, TJSL/CSR merupakan komitmen berkelanjutan dari perusahaan untuk bertindak secara etis, legal, dan berkontribusi untuk meningkatkan kualitas hidup dari pekerja dan keluarga, komunitas lokal, hingga masyarakat secara keseluruhan.

Berdasarkan Pasal 2 PP TJSL PT menjelaskan bahwa, setiap perseroan selaku subjek hukum mempunyai tanggung jawab sosial dan lingkungan. Dalam Pasal 74 ayat (1) UU PT menjelaskan perusahaan yang menjalankan usahanya di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam wajib melaksanakan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan (TJSL/CSR). Maksud dari perusahan yang menjalankan kegiatan usaha di bidang sumber daya alam, yaitu perusahaan yang kegiatan usahanya memiliki potensi pencemaran dalam lingkungan hidup.

Menurut Budimanta yang dikutip dari laman Hukumonline, terdapat tiga jenis tanggung jawab sosial yang harus perusahaan lakukan, meliputi:

  • Community Relations

Merupakan pelaksanaan dengan cara menjalin komunikasi dan hubungan baik antara masyarakat dan perusahaan.

  • Community Service

Merupakan pelaksanaan tanggung jawab sosial perusahaan ini mengedepankan kebutuhan masyarakat sekitar perusahaan.

  • Community Empowering

Merupakan pemberdayaan kehidupan masyarakat dengan tujuan meningkatkan kualitas hidup.

Selain perusahan yang memiliki keterkaitan dengan sumber daya alam, petinggi perusahaan juga memiliki tanggung jawab sosial dalam pengelolaan lingkungan. Para penanam modal sebuah perusahaan yang memanfaatkan sumber daya alam juga wajib berperan dalam menjaga kelestarian lingkungan hidup sebagaimana tercantum dalam Pasal 16 Huruf d Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal (“UU PM”). Lebih lanjut dalam Pasal 17 UU PM, mewajibkan Penanam modal yang mengusahakan sumber daya alam yang tidak terbarukan wajib mengalokasikan dana secara bertahap untuk pemulihan  lokasi  yang  memenuhi  standar  kelayakan lingkungan hidup. Hal tersebut bertujuan untuk memberikan kepastian hukum dengan mempertegas kewajiban penanam modal terhadap penerapan prinsip tata  kelola  perusahaan  yang  sehat dalam tanggung jawab terhadap pengelolaan lingkungan hidup.

Sanksi Hukum Bagi Perusahaan yang Melanggar

Dalam Pasal 54 UU PPLH, telah menegaskan bahwa setiap orang yang melakukan perusakan atau pencemaran terhadap lingkungan hidup memiliki kewajiban melakukan pemulihan lingkungan hidup, dengan cara:

  1. menghentikan sumber pencemaran dan membersihkan unsur pencemaran;
  2. melakukan remediasi, yaitu cara memulihkan kondisi lingkungan seperti sedia kala untuk memperbaiki mutu lingkungan;
  3. melakukan rehabilitasi, yaitu upaya memulihkan, mempertahankan dan meningkatkan produktivitas lingkungan upaya pemulihan  untuk  mengembalikan  nilai,  fungsi,  dan manfaat   lingkungan   hidup   termasuk   upaya pencegahan    kerusakan    lahan,    memberikan perlindungan, dan memperbaiki ekosistem;
  4. melakukan restorasi, yaitu adalah  upaya pemulihan untuk menjadikan lingkungan hidup atau bagian-bagiannya  berfungsi  kembali  sebagaimana semula;
  5. cara lain yang sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Dalam perkara lingkungan hidup menganut jenis pertanggungjawaban mutlak (strict liability) sebagaimana tercantum dalam Pasal 88 UUPPLH, yang berarti kegiatan usaha yang dijalankan oleh orang perorangan maupun badan hukum, apabila kegiatan usaha tersebut    menggunakan  atau menghasilkan limbah B3  yang  menimbulkan  ancaman  serius terhadap  lingkungan  hidup  atas  kerugian  yang  terjadi,  wajib bertanggung  jawab secara mutlak tanpa perlu pembuktian unsur kesalahan. Kemudian, tindak pidana lingkungan hidup dilakukan oleh, untuk, atau atas nama badan usaha, tuntutan pidana dan sanksi pidana dijatuhkan kepada:

  1. badan usaha; dan/atau
  2. orang yang memberi perintah untuk melakukan tindak pidana tersebut atau orang yang bertindak sebagai pemimpin kegiatan dalam tindak pidana tersebut.

Dalam ketentuan pidana sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 97 sampai dengan Pasal 115 UU PPLH ancaman sanksi pidana yang diterapkan, yaitu pidana penjara maksimal 15 tahun dan denda paling banyak Rp 15.000.000.000,- (lima belas miliar rupiah). Kemudian secara ketentuan hukum administratif, perusahaan yang melakukan pelanggaran hukum terhadap pencemaran lingkungan, dapat dikenakan sanksi administratif sebagaimana tercantum dalam Pasal 76 ayat (2) UU PPLH, berupa teguran tertulis, paksaan pemerintah, pembekuan izin lingkungan atau pencabutan izin lingkungan.

Tantangan dan Urgensi Penegakkan Hukum Lingkungan

Secara normatif, aturan yang telah dibentuk sedemikian rupa dalam mengatasi pelanggaran hukum terhadap perusakan lingkungan telah mengatur mengenai tanggung jawab dan sanksi baik bagi perorangan maupun badan hukum. Sanksi yang diterapkan dengan tujuan dapat menimbulkan efek jera bagi pelaku juga beraneka ragam, mulai dari sanksi pidana, perdata, hingga sanksi administratif. Meskipun demikian, dalam pelaksanaanya masih ditemukan tantangan, yang meliputi:

  1. Kurangnya sumber daya manusia yang kompeten atas kepekaanya terhadap lingkungan;
  2. kurangnya pengawasan secara terintegrasi dengan sistem perizinan terpadu;
  3. Proses pembuktian yang terbilang sulit di hadapan pengadilan.

Pencemaran lingkungan yang dilakukan oleh perusahaan merupakan bentuk pelanggaran serius terhadap hukum dan tanggung jawab sosial yang telah diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan, seperti UU PPLH serta UU PT. Meskipun sanksi hukum yang tegas telah diatur, mulai dari pidana, perdata, hingga administratif, implementasi penegakannya masih menghadapi berbagai tantangan, seperti kurangnya sumber daya manusia yang kompeten, lemahnya pengawasan, dan proses pembuktian yang sulit. Oleh karena itu, dibutuhkan komitmen yang kuat dari seluruh pemangku kepentingan, termasuk pemerintah dan pelaku usaha, untuk memperkuat sistem pengawasan, memperbaiki mekanisme penegakan hukum, serta menumbuhkan kesadaran kolektif dalam menjaga kelestarian lingkungan.***

Daftar Hukum:

Referensi: