Penyelesaian utang piutang melalui kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (UUK & PKPU) hakikatnya dapat berlangsung cepat mengingat proses pembuktiannya yang sederhana. Tapi dalam praktiknya, penyelesaian perkara kepailitan justru terjadi sebaliknya tidak seperti diharapkan oleh Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU (Pasal 8 ayat 4).

Proses penyelesaian perkara melalui permohonan kepailitan dan PKPU tidak selalu berjalan mulus. Ini disebabkan munculnya permasalahan hubungan hukum dan peristiwa hukum pada saat proses penyelesaian perkara. Hubungan hukum dapat diartikan sebagai “asas hak” di mana setiap orang yang berkepentingan dapat mengajukan keberatan atau gugatan (the point of interest of the action).

Adanya hubungan hukum antara para pihak dalam suatu gugatan dipertegas dengan terbitnya Yurisprudensi Mahkamah Agung (MA) No. 294 K/Sip/1971 tanggal, 7 Juni 1971 yang menyatakan bahwa;

Suatu gugatan haruslah diajukan oleh orang yang mempunyai hubungan hukum dengan orang yang digugat ”.

Adapun peristiwa hukum dalam persoalan ini adalah peristiwa dalam lingkup kepailitan dan PKPU yang dapat dianggap merugikan boedel pailit, kreditur, debitur, dan pihak ketiga.

Undang-Undang Kepailitan dan PKPU memberikan peluang seluas-luasnya dan ruang penyelesaian atas munculnya sengketa terkait terjadinya hubungan hukum atau peristiwa hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 3 (1) UU Kepailitan dan PKPU, sebagai berikut;

Putusan atas permohonan pernyataan pailit dan hal-hal lain yang berkaitan dan/atau diatur dalam undang-undang ini, diputuskan oleh pengadilan yang daerah hukumnya meliputi daerah tempat kedudukan hukum debitur”.

Yang dimaksud “hal-hal lain“ meliputi action pauliana, perlawanan pihak ketiga terhadap penyitaan, atau perkara dimana debitur, kreditur, kurator, atau pengurus menjadi salah satu pihak dalam perkara yang berkaitan dengan harta pailit, termasuk gugatan kurator terhadap direksi yang menyebabkan perseroan dinyatakan pailit.

Hukum acara yang digunakan untuk mengadili perkara ‘’hal-hal lain’’ sama dengan hukum acara perdata (KUHPerdata) termasuk pembatasan jangka waktu penyelesaiannya.

Asas integrasi merupakan asas yang sangat penting untuk dipahami dan dilaksanakan, bahwa semua potensi tuntutan hukum lainnya tunduk pada yurisdiksi Pengadilan Niaga meskipun dasar kewenangan Pengadilan Niaga tidak dapat disandarkan pada Pasal 8 ayat (4) UU Kepailitan dan PKPU.

Selain tuntutan hak dan kewajiban yang berkaitan dengan harta pailit harus diajukan oleh atau terhadap pengurus (Pasal 26 UUK & PKPU).

Tata cara dan persyaratan pengajuan gugatan lain-lain sebagai berikut;

  1. Gugatan harus diajukan oleh advokat (Pasal 7 ayat (1) UUK & PKPU);
  2. Gugatan harus diajukan kepada Ketua Pengadilan Niaga (Pasal 6 ayat (1) UUK & PKPU);
  3. Panitera menyampaikan gugatan kepada Ketua Pengadilan Niaga selama 2 hari sejak pendaftaran dilakukan (Pasal 6 ayat (4) UUK & PKPU);
  4. Sidang pemeriksaan diselenggarakan dalam jangka waktu paling lambat 20 hari setelah gugatan didaftarkan (Pasal 6 ayat (6) UUK & PKPU);
  5. Pemeriksaan gugatan lain-lain diperiksa secara sederhana sesuai ketentuan Pasal 127 ayat (3) UUK & PKPU;
  6. Tidak ada perkara intervensi Pasal 127 ayat (5) UUK & PKPU;
  7. Putusan gugatan harus diucapkan paling lambat 60 hari setelah tanggal gugatan didaftarkan (Pasal 8 ayat (5) UUK & PKPU).

Dalam hal gugatan lain-lain, untuk urusan pembuktian dan penilaian terhadap barang bukti tunduk pada hukum acara perdata sebagaimana dimaksud Pasal 299 UUK & PKPU. Sementara dalam hal lain tidak bersifat substantif seperti permohonan atau tata cara penghapusan berlaku pembuktian sederhana (prima facie) sebagaimana diatur Pasal 8 ayat (4) UUK & PKPU. 

Penyelesaian putusan perkara atas gugatan lain-lain dalam kepailitan dan PKPU dapat menimbulkan dampak sebagai berikut;

  1. Dibukanya kesempatan untuk mengajukan gugatan lain-lain seluas-luasnya, secara langsung atau tidak langsung dapat menunda proses pemberesan di dalam penanganan perkara kepailitan maupun PKPU;
  2. Penyelesaian atau pemberesan putusan perkara lain-lain merupakan tautan dari pernyataan pailit bahwa yang melakukan pemberesan atas kepailitan tersebut adalah kurator, maka penyelesaian atau pemberesan putusan perkara gugatan lain-lain menjadi tugas kurator, dibawah pengawasan dan izin hakim pengawas;
  3. Lingkup tugas dan kewenangan kurator didasarkan pada Pasal 1131 dan 1132 KUHPerdata  yang menyatakan bahwa harta debitur menjadi alat pembayaran kewajiban atau utang kreditur. Pembayaran harta debitur melalui kepailitan harus dilakukan secara kolektif berdasarkan prinsip pro rata, kecuali terhadap kreditur yang memiliki hak untuk dibayar lebih dahulu;
  4. Gugatan lain-lain yang diajukan ke Pengadilan Niaga merupakan upaya terakhir ketika kurator atau pengurus dan Hakim Pengawas gagal menyelesaikan perselisihan Kepailitan dan PKPU. Penyelesaian gugatan lain-lain harus bersifat win win solution dan langsung mengikat para pihak. Apabila perselisihan itu gagal diselesaikan, dapat diajukan untuk diselesaikan oleh Hakim Pengadilan Niaga melalui pendaftaran gugatan lain-lain di Kepaniteraan Pengadilan Niaga;
  5.  Putusan atas gugatan lain-lain ada kemungkinan mengandung sifat condemnatoir (penghukuman), misalnya menghukum pihak tergugat dalam gugatan lain-lain untuk menyerahkan dokumen atau surat-surat tanah kepada kurator. Deklaratoir (pernyataan), misalnya menyatakan bahwa kreditur adalah bukan kreditur separatis;
  6. Pemberesan atau eksekusi atas putusan perkara gugatan lain-lain yang sifatnya condemnatoir, dapat berakibat terhadap penjualan atau pemberesan boedel pailit, karena mengalami hambatan pelaksanaan eksekusi;
  7. Kemunculan gugatan lain-lain dan timbulnya hambatan pemberesan menjadi salah satu faktor memperlambat pemberesan harta pailit selama bertahun-tahun.

Hukum acara perdata menjadi dasar dalam melaksanakan tuntutan hak atau sebagai pedoman dalam melaksanakan tuntutan hak tersebut. Dengan demikian, hukum acara perdata mempunyai fungsi yang penting, formal, dan bersifat memaksa bagi semua pihak.

Hukum acara perdata yang disebutkan dalam Pasal 3 UUK dan PKPU, tidak lagi identik dengan hukum acara perdata sebagaimana diatur dalam HIR/Rbg. Hukum acara dalam penyelesaian sengketa perdata khusus telah banyak dibentuk untuk mengakomodasi perkembangan hubungan hukum dan peristiwa hukum. 

Meninjau dari berbagai aspek penyelesaian gugatan lain-lain maka MA diharapkan menyempurnakan Buku Pedoman Penyelesaian Perkara Kepailitan dan PKPU (point 20 Keputusan Ketua MA Nomor: 109/KMA/SK/IV/2020), tentang gugatan lain-lain terutama terkait;

  1. Perlu penegasan mengenai subjek (subjectum litis) dan objek (objectum litis) dalam pengajuan gugatan lain-lain;
  2. Mekanisme gugatan lain-lain terkait kompetensi pengadilan, pihak yang berhak mengajukan sengketa, bagaimana cara penyelesaian sengketa di dalam maupun di luar pengadilan (oleh kurator dan hakim pengawas dalam rapat-rapat kreditur) serta cara pengajuan tuntutan hak, tata cara pendaftaran gugatan lain-lain dan registrasinya, pemeriksaan, penjatuhan putusan dan amar putusan, serta pelaksanaan putusan;
  3. Adanya kepastian hukum acara dalam penyelesaian gugatan lain-lain guna menghindari multitafsir kompetensi, pembatasan jangka waktu (time frame) dan proses persidangan;
  4. Pedoman tentang prosedur penyelesaian atau pemberesan harta pailit secara terukur baik menyangkut biaya, waktu, prosedur serta pedoman pengawasan terhadap tugas dan kinerja kurator. []

 

Author / Contributor:

Saghara Luthfillah Fazari, S,H., M.H.

Associate

Contact:

Mail       : @siplawfirm.id

Phone    : +62-21 799 7973 / +62-21 799 7975