Dalam era revolusi industri 4.0, teknologi kecerdasan buatan (AI) semakin mendominasi berbagai sektor industri. Perubahan ini menjajakan berbagai manfaat, namun hal ini beriringan dengan tantangan baru terutama dalam hal ketenagakerjaan. Sejumlah bidang pekerjaan berangsur dapat tergantikan oleh teknologi. Penggunaan AI dalam berbagai sektor industri pun dapat menyebabkan pengurangan jumlah tenaga kerja manusia secara besar-besaran. Fenomena ini menimbulkan kekhawatiran tentang tingginya angka pemutusan hubungan kerja (PHK) dan meningkatkan angka pengangguran.

Di Indonesia, regulasi terkait dengan PHK telah diatur dalam Pasal 150 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UU Ketenagakerjaan”) yang berbunyi:
“Ketentuan mengenai pemutusan hubungan kerja dalam undang-undang ini meliputi pemutusan hubungan kerja yang terjadi di badan usaha yang berbadan hukum atau tidak, milik orang perseorangan, milik persekutuan atau milik badan hukum, baik milik swasta maupun milik negara, maupun usaha-usaha sosial dan usaha-usaha lain yang mempunyai pengurus dan mempekerjakan orang lain dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain.”

Lebih lanjut dalam Pasal 81 angka 40 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang (“UU Cipta Kerja”) yang mengubah ketentuan Pasal 151 UU Ketenagakerjaan sehingga berbunyi sebagai berikut:

  1. Pengusaha, Pekerja/Buruh, Serikat Pekerja/Serikat Buruh, dan Pemerintah harus mengupayakan agar tidak terjadi Pemutusan Hubungan Kerja.
  2. Dalam hal Pemutusan Hubungan Kerja tidak dapat dihindari, maksud dan alasan Pemutusan Hubungan Kerja diberitahukan oleh Pengusaha kepada Pekerja/Buruh dan/atau Serikat Pekerja/Serikat Buruh.
  3. Dalam hal Pekerja/Buruh telah diberitahu dan menolak Pemutusan Hubungan Kerja, penyelesaian Pemutusan Hubungan Kerja wajib dilakukan melalui perundingan bipartit antara Pengusaha dengan Pekerja/Buruh dan/atau Serikat Pekerja/Serikat Buruh.
  4. Dalam hal perundingan bipartit sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak mendapatkan kesepakatan, Pemutusan Hubungan Kerja dilakukan melalui tahap berikutnya sesuai dengan mekanisme penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial.

Hukum ketenagakerjaan pun perlu beradaptasi secara dinamis untuk melindungi hak-hak pekerja di era digital, mengingat perubahan pesat yang dibawa oleh teknologi, otomatisasi, dan model kerja baru. Beberapa langkah penting yang dapat diambil oleh sistem hukum ketenagakerjaan untuk melindungi pekerja di era digital antara lain:

  1. Revisi Status Pekerja (Karyawan vs. Pekerja Lepas);
  2. Perlindungan Data Pribadi dan Privasi;
  3. Perlindungan terhadap Pekerja yang Terpapar Otomatisasi;
  4. Penyesuaian Peraturan Tentang Jam Kerja dan Fleksibilitas;
  5. Perlindungan terhadap Diskriminasi Algoritma;
  6. Pengaturan Pembagian Keuntungan dari Teknologi;
  7. Penyelesaian Sengketa dalam Konteks Digital.

Baca juga: Memperkuat Edukasi Hukum melalui Pemanfaatan Media Sosial

Selain itu, untuk memastikan bahwa penggunaan teknologi tidak mengorbankan kesejahteraan pekerja, perusahaan perlu mengimplementasikan kebijakan dan praktik yang berfokus pada keseimbangan antara efisiensi teknologi dan perlindungan hak-hak pekerja. Berikut beberapa cara perusahaan dapat mencapai hal tersebut:

  1. Menjaga Keseimbangan antara Otomatisasi dan Pekerjaan Manusia, misalnya dampak teknologi bisa digunakan untuk menangani tugas-tugas yang repetitif dan berat, sementara pekerja dapat fokus pada tugas yang lebih strategis dan kreatif.
  2. Memberikan Pelatihan dan Dukungan untuk Pekerja. Pelatihan hendaknya tidak berfokus pada keterampilan teknis tetapi juga keterampilan interpersonal dan kepemimpinan. 
  3. Mengutamakan Kesehatan Mental dan Kesejahteraan Pekerja. Penggunaan teknologi yang berlebihan dan tekanan kerja yang tinggi bisa berisiko menurunkan kesejahteraan psikologis pekerja. Untuk itu, perusahaan harus memberikan perhatian khusus terhadap kesehatan mental dan kesejahteraan pekerja dalam lingkungan kerja digital.
  4. Mendorong Keterlibatan Pekerja dalam Pengambilan Keputusan Teknologi. Agar dampak teknologi diterima dengan baik oleh pekerja, mereka perlu merasa dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan terkait penerapan teknologi di tempat kerja. Hal ini dapat meningkatkan rasa memiliki dan memperkuat kesadaran bahwa perusahaan menghargai kesejahteraan mereka.
  5. Menjaga Transparansi dan Komunikasi yang Jelas. Salah satu cara penting untuk menjaga kesejahteraan pekerja adalah dengan memastikan adanya komunikasi yang terbuka dan transparan mengenai penerapan teknologi baru. Pekerja yang merasa diberdayakan dengan informasi lebih cenderung merasa dihargai dan lebih mudah beradaptasi.

Selain peran serta dari regulasi yang berlaku serta kebijakan perusahaan, pekerja juga harus menyeimbangkan kebutuhan pasar dengan meningkatkan kemampuan agar tak tergerus dengan dampak kemajuan teknologi. Hal ini dapat dilakukan melalui pelatihan dan pengembangan keterampilan yang sangat penting untuk membantu pekerja agar dapat beradaptasi dengan perubahan yang dibawa oleh teknologi. Seiring dengan kemajuan teknologi yang pesat, banyak pekerjaan yang bergantung pada keterampilan teknis baru, sementara beberapa pekerjaan tradisional bisa digantikan oleh otomatisasi dan AI. Oleh karena itu, pelatihan yang tepat akan sangat membantu pekerja untuk tetap relevan dan meningkatkan daya saing mereka di pasar tenaga kerja.

Baca juga: Komunikasi yang Baik Bisa Meningkatkan Etos Kerja

Daftar Hukum:

Author / Contributor:

Justitia ResalaneJustitia Resalane, S.H., M.H.

Contact:

Mail       : @siplawfirm.id

Phone    : +62-21 799 7973 / +62-21 799 7975