Transformasi digital telah mengubah sektor industri logistik secara signifikan, khususnya dalam hal distribusi barang berbasis teknologi informasi. Di tengah meningkatnya aktivitas perdagangan elektronik, peran layanan pos dan logistik tidak lagi bersifat konvensional, melainkan terintegrasi dengan sistem digital yang kompleks.
Adanya hal tersebut direspon dengan baik oleh pemerintah melalui pengesahan Peraturan Menteri Komunikasi dan Digital Nomor 8 Tahun 2025 tentang Layanan Pos Komersial (“Permenkomdigi 8/2025”). Regulasi tersebut menjadi tonggak penting dalam menata ulang ekosistem layanan pos, sekaligus menghadirkan konsekuensi hukum baru bagi pelaku usaha logistik di Indonesia.
Apa itu Layanan Pos Komersial?
Layanan pos komersial merupakan bagian dari penyelenggaraan layanan pos yang dilakukan berdasarkan prinsip usaha dan berorientasi pada perolehan keuntungan. Lebih lanjut, dalam Pasal 1 angka 5 Peraturan Menteri Komunikasi dan Digital Nomor 8 Tahun 2025 tentang Layanan Pos Komersial (Permenkomdigi 8/2025”) telah menjelaskan bahwa:
“Layanan Pos Komersial adalah layanan pos yang besaran tarif dan standar layanannya tidak ditetapkan oleh pemerintah.”
Definisi di atas menegaskan bahwa layanan pos tidak lagi dimonopoli oleh penyelenggara pos negara, melainkan terbuka bagi pelaku usaha swasta sepanjang memenuhi persyaratan perizinan dan standar yang ditetapkan. Kondisi tersebut merefleksikan bahwa terdapat pergeseran paradigma dalam penyelenggaraan layanan pos, yakni dari model sentralistik menuju sistem yang lebih kompetitif dan inklusif yang mana hal tersebut sejalan dengan dinamika kebutuhan masyarakat dan perkembangan teknologi.
Sejatinya, peraturan mengenai penyelenggaraan layanan pos telah dijabarkan secara eksplisit melalui Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2009 tentang Pos (“UU Pos”) sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang (“UU Ciptaker”). Melalui regulasi tersebut, negara menempatkan layanan pos sebagai sektor strategis yang harus menjamin kepastian hukum, perlindungan konsumen, serta persaingan usaha yang sehat.
Bagi pelaku logistik, pengakuan eksplisit terhadap layanan pos komersial memberikan legitimasi hukum terhadap model bisnis yang selama ini berkembang, seperti same day delivery, instant courier, hingga layanan fulfillment berbasis platform digital. Akan tetapi, legitimasi tersebut juga harus diimbangi dengan kewajiban kepatuhan terhadap standar operasional, kualitas layanan, serta mekanisme pengawasan yang lebih ketat sebagaimana diatur dalam Permenkomdigi 8/2025.
Pemanfaatan Teknologi dalam Penyelenggaraan Layanan Pos
Salah satu karakter utama dari ketentuan sebagaimana tertera dalam Permenkomdigi 8/2025 adalah penekanannya terhadap pemanfaatan teknologi informasi dan sistem elektronik dalam penyelenggaraan layanan pos komersial. Kerangka hukum tersebut mengakomodasi realitas bahwa operasional logistik modern sangat bergantung pada digitalisasi, mulai dari pelacakan kiriman (tracking system), manajemen penyimpanan berbasis aplikasi, hingga integrasi dengan platform e-commerce.
Dalam menyelenggarakan layanan pos, data pribadi pengguna layanan pos merupakan hal krusial yang wajib dijaga kerahasiaannya. Adapun data pribadi pengguna layanan pos yang wajib dijaga kerahasiaannya meliputi: nama, alamat, serta nomor telepon. Lebih lanjut, dalam Pasal 67 ayat (3) Permenkomdigi 8/2025 menyatakan bahwa:
“Penyelenggara pos dalam melakukan pemrosesan data pribadi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) menggunakan sistem keamanan dan pelindungan data pribadi yang andal, aman, dan bertanggung jawab.”
Adanya ketentuan sebagaimana telah dijelaskan di atas sejalan dengan prinsip penyelenggaraan sistem elektronik sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik (“PP PSTE”). Maka dari itu, pemanfaatan teknologi dalam sektor logistik tidak hanya dipandang sebagai kebutuhan bisnis, melainkan juga sebagai kewajiban hukum untuk menjamin mutu layanan.
Lebih lanjut, penggunaan teknologi juga berkaitan erat dengan pengelolaan data pelanggan. Pada praktik penyelenggaraan layanan pos komersial, penyelenggara mengumpulkan dan memproses data pribadi. Maka dari itu, implementasi ketentuan dalam Permenkomdigi 8/2025 tidak dapat dilepaskan dari kepatuhan terhadap perlindungan data pribadi sebagaimana telah diatur melalui Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Pelindungan Data Pribadi (“UU PDP”). Pelaku logistik wajib memastikan bahwa sistem digital yang digunakan telah memenuhi prinsip perlindungan data, termasuk persetujuan pemilik data, pembatasan tujuan pemrosesan, serta keamanan sistem.
Jika ditinjau dari hukum teknologi digital, kewajiban pemanfaatan teknologi mencerminkan adanya pendekatan regulasi yang adaptif terhadap inovasi. Dalam hal ini, negara tidak membatasi penggunaan teknologi tertentu, tetapi menekankan pada hasil yang harus dicapai, yakni efisiensi, transparansi, dan akuntabilitas layanan. Meskipun demikian, namun pendekatan ini menuntut kesiapan infrastruktur dan sumber daya manusia dari pelaku logistik agar tidak terjadi kesenjangan antara norma hukum dan praktik di lapangan.
Baca juga: Indonesia’s Customs Rules on Passenger-Carried Imported Goods: Duties, Exemptions, and Penalties
Tantangan Adaptasi bagi Pelaku Logistik
Meskipun Permenkomdigi 8/2025 membuka peluang pengembangan usaha, namun regulasi tersebut juga menghadirkan tantangan adaptasi yang tidak sederhana bagi pelaku logistik. Salah satu tantangan utama adalah pemenuhan standar perizinan dan operasional yang semakin terstruktur. Pelaku usaha dituntut untuk menyesuaikan model bisnisnya dengan klasifikasi layanan pos komersial, termasuk kewajiban pelaporan dan pengawasan oleh otoritas terkait.
Selain aspek perizinan, tantangan adaptasi juga muncul dalam bentuk peningkatan biaya kepatuhan (compliance cost), seperti: investasi pada sistem teknologi informasi, keamanan siber, serta pelindungan data pribadi; yang memerlukan alokasi sumber daya yang tidak sedikit, terutama bagi pelaku usaha skala kecil dan menengah. Dalam hal ini, terdapat risiko terjadinya ketimpangan antara pelaku logistik besar yang telah mapan secara teknologi dengan pelaku usaha yang masih berkembang.
Kemudian dari sisi hukum teknologi digital, tantangan lainnya adalah mengenai potensi risiko hukum akibat kegagalan sistem elektronik, sehingga dapat menimbulkan tanggung jawab hukum, baik secara administratif maupun perdata. Adapun beberapa contohnya adalah: gangguan sistem pelacakan, kebocoran data pelanggan, atau kesalahan pemrosesan informasi.
Selain itu, adaptasi juga diperlukan dalam aspek sumber daya manusia (SDM). Transformasi digital menuntut tenaga kerja logistik yang tidak hanya memahami operasional pengiriman barang, tetapi juga literasi digital dan kepatuhan hukum. Tanpa meningkatkan kapasitas SDM, implementasi regulasi tersebut justru berpotensi hanya menjadi formalitas semata tanpa memberikan peningkatan kualitas layanan yang substantif.
Payung hukum berupa Permenkomdigi 8/2025 pada dasarnya menggambarkan komitmen negara dalam menata layanan pos komersial agar selaras dengan perkembangan teknologi dan kebutuhan masyarakat digital. Bagi pelaku logistik, adanya regulasi tersebut menghadirkan dua sisi yang tidak terpisahkan, yakni peluang penguatan legitimasi usaha sekaligus kewajiban kepatuhan hukum yang lebih kompleks. Dengan ini, pemanfaatan teknologi menjadi kunci utama penyelenggaraan layanan pos modern, namun harus diimbangi dengan kesiapan infrastruktur, perlindungan data, dan manajemen risiko hukum. Melalui pendekatan yang adaptif dan kepatuhan berkelanjutan, Permenkomdigi 8/2025 berpotensi menjadi instrumen hukum yang mendorong industri logistik Indonesia menuju ekosistem digital yang tertib, aman, dan berdaya saing.***
Baca juga: Used Goods Imports in Indonesia: What the Law Allows and Prohibits
Daftar Hukum:
- Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang (“UU Ciptaker”)
- Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Pelindungan Data Pribadi (“UU PDP”)
- Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2009 tentang Pos (“UU Pos”)
- Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik (“PP PSTE”)
- Peraturan Menteri Komunikasi dan Digital Nomor 8 Tahun 2025 tentang Layanan Pos Komersial (Permenkomdigi 8/2025”)
