Dalam sistem hukum keluarga di Indonesia, hak asuh anak pasca perceraian kerap menjadi isu yang kompleks dan penuh emosional di antara kedua orang tua. Masyarakat sering beranggapan bahwa ibu secara otomatis akan memperoleh hak asuh anak, terlebih jika anak tersebut masih di bawah umur. Namun, benarkah hak asuh anak tidak bisa jatuh ke tangan ayah?

Hak asuh anak atau dalam istilah hukum Islam disebut hadhanah, bukanlah hak absolut atau mutlak yang dimiliki oleh salah satu orang tua. Penentuannya bergantung pada berbagai faktor, termasuk kondisi psikologis anak, kemampuan orang tua dalam memberikan pengasuhan, dan pertimbangan hakim berdasarkan bukti yang diajukan. SIP Law Firm akan membahas lebih lanjut terkait dengan bisakah hak asuh anak jatuh ke tangan ayah?

 

Dasar Hukum Hak Asuh Anak di Indonesia

 

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU Perkawinan) menjadi landasan hukum mengenai hak kewajiban orang tua terhadap anak, baik selama berlangsungnya perkawinan maupun setelah terjadi perceraian. Dalam Pasal 41 UU Perkawinan mengatur bahwa:

“Akibat putusnya perkawinan karena perceraian ialah:

  • Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak; bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, Pengadilan memberi keputusannya;
  • Bapak yang bertanggung-jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu; bilamana bapak dalam kenyataan tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut, Pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut;
  • Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas istri.” 

Ketentuan di atas menegaskan bahwa tanggung jawab terhadap anak tidak otomatis gugur akibat perceraian. Artinya, baik ayah maupun ibu memiliki kedudukan hukum yang sama dalam hal pemeliharaan anak, selama dapat memberikan lingkungan terbaik bagi tumbuh kembang anak. 

Lebih lanjut, dalam Pasal 45 ayat (1) dan (2) UU Perkawinan ditegaskan bahwa, “kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya sampai anak tersebut kawin atau dapat berdiri sendiri.” Dari rumusan tersebut, dapat dipahami bahwa UU Perkawinan tidak menentukan secara eksplisit pihak mana yang berhak atas hak asuh. Hakim akan menilai berdasarkan kondisi faktual, serta kemampuan masing-masing pihak dalam memenuhi kepentingan anak. 

Sementara itu, dalam hukum Islam yang berlaku bagi umat muslim di Indonesia, aturan hak asuh diatur lebih rinci dalam Pasal 105 Kompilasi Hukum Islam (KHI). Ketentuan tersebut mengatur bahwa:

“Dalam hal terjadinya perceraian:

  • Pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya;
  • Pemeliharaan anak yang sudah mumayyiz diserahkan kepada anak untuk memilih di antara ayah atau ibunya sebagai pemegang hak pemeliharaannya;
  • Biaya pemeliharaan ditanggung oleh ayahnya.” 

Secara normatif, KHI memang memberikan prioritas kepada ibu untuk mengasuh anak yang belum berumur 12 tahun. Namun, hak ini tidak bersifat absolut. Dalam praktik peradilan, pengadilan agama dapat memutuskan sebaliknya apabila terdapat bukti bahwa ibu tidak layak atau tidak mampu secara moral, ekonomi, maupun psikologis untuk mengasuh anak. Dengan demikian, ayah dapat menjadi pihak yang sah memegang hak asuh apabila ia mampu membuktikan memiliki kapasitas yang lebih baik bagi kepentingan anak.

 

Kondisi di mana Hak Asuh Anak Bisa Jatuh ke Tangan Ayah

 

Terdapat beberapa kondisi di mana pengadilan dapat memberikan hak asuh anak kepada ayah meskipun anak masih di bawah usia 12 tahun. Pertimbangan ini didasarkan pada kemampuan ayah untuk menjamin keselamatan, pendidikan, dan kebutuhan emosional anak secara lebih baik dibandingkan ibu.

  • Ketidaklayakan Ibu secara Moral atau Psikologis

Hak asuh anak dapat dialihkan kepada ayah, jika ibu terbukti tidak layak secara moral. Misalnya karena terlibat dalam tindakan asusila, penyalahgunaan narkotika, terlibat tindakan pidana, atau pun perbuatan yang dapat memberi dampak negatif terhadap perkembangan anak. Hal ini sejalan dengan asas kepentingan anak yang diatur dalam Pasal 41 huruf a UU Perkawinan dan Pasal 105 KHI. 

  • Faktor Ekonomi dan Kestabilan Lingkungan

Meskipun kemampuan finansial bukan satu-satunya dasar pemberian hak asuh, pengadilan dapat mempertimbangkan aspek ekonomi sebagai faktor pendukung. Ayah yang memiliki pendapatan tetap, lingkungan tempat tinggal yang aman, serta dukungan keluarga yang kuat, berpeluang lebih besar untuk mendapatkan hadhanah.

  • Ibu Menelantarkan Anak atau Menolak Memberikan Akses Bertemu

Apabila ibu terbukti menelantarkan anak atau menghalangi ayah untuk bertemu, maka hal tersebut dapat menjadi dasar hukum bagi pengadilan untuk memindahkan hak asuh. Pada Pasal 76B Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (UU Perlindungan Anak) memberikan larangan bagi setiap orang untuk menempatkan anak pada situasi perlakuan salah maupun menelantarkannya. Berkaitan dengan hal tersebut, dalam Pasal 14 ayat (1) UU Perlindungan Anak menegaskan bahwa:

“Setiap Anak berhak untuk diasuh oleh Orang Tuanya sendiri, kecuali jika ada alasan dan/atau aturan hukum yang sah menunjukkan bahwa pemisahan itu adalah demi kepentingan terbaik bagi Anak dan merupakan pertimbangan terakhir.”

Dalam konteks hak asuh, ketentuan di atas menjadi dasar hukum yang kuat bagi pengadilan untuk mempertimbangkan pemindahan hak asuh dari ibu kepada ayah apabila ibu terbukti melakukan penelantaran atau menghalangi hubungan anak dengan ayahnya. 

Tindakan semacam itu dapat dinilai sebagai bentuk pelanggaran terhadap hak anak untuk mendapatkan kasih sayang dan perhatian dari kedua orang tuanya. Oleh karena itu, pengadilan dapat memutuskan bahwa demi perlindungan dan kesejahteraan anak, hak asuh lebih layak diberikan kepada ayah. 

  • Jika Seorang Istri Terbukti Selingkuh

Hak asuh anak dalam perceraian yang disebabkan oleh istri yang terbukti selingkuh akan menyebabkan hilangnya hak ibu dalam mengasuh anak tersebut. Jika seorang istri berselingkuh dan terbukti di pengadilan, ia dinilai gagal menjadi seorang ibu seperti yang tertuang dalam Pasal 34 ayat (2) UU Perkawinan menyatakan bahwa:

“Istri wajib mengurus rumah tangga sebaik-baiknya.”

 

Pentingnya Prinsip Kepentingan Terbaik bagi Anak dalam Memutuskan Perkara Hak Asuh

 

Prinsip kepentingan terbaik bagi anak (the best interest of the child) merupakan landasan universal dalam hukum keluarga modern. Konsep tersebut pertama kali diakui secara internasional melalui Konvensi Hak Anak (Convention on the Rights of the Child, 1989), yang telah diratifikasi oleh Indonesia melalui Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 tentang Pengesahan Convention On The Rights Of The Child (Konvensi tentang Hak-Hak Anak) (Keppres 36/1990).

Prinsip ini pun diimplementasikan melalui UU Perlindungan Anak yang menyatakan bahwa, “setiap anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.”

Oleh karena itu, hakim dalam perkara hak asuh wajib menilai beberapa hal, di antaranya:

  1. Kedekatan emosional anak dengan masing-masing orang tua;
  2. Kelayakan moral dan psikologis orang tua yang mengasuh;
  3. Stabilitas lingkungan tempat tinggal;
  4. Kemampuan untuk memenuhi kebutuhan fisik dan emosional anak.

Dengan demikian, seorang ayah dapat memperoleh hak asuh apabila mampu membuktikan bahwa ia lebih layak dan mampu memberikan perlindungan, kasih sayang, serta stabilitas hidup bagi anak. Prinsip kepentingan terbaik anak menjadi benang merah dalam setiap pertimbangan hukum, memastikan bahwa setiap keputusan tidak hanya adil bagi orang tua, tetapi juga berpihak kepada masa depan anak itu sendiri.***

Baca juga: Divorce Between Indonesians and Foreign Citizens: Legal Process, Property Rights, and Residency Rules

 

Daftar Hukum:

  • Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU Perkawinan).
  • Kompilasi Hukum Islam (KHI). 
  • Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (UU Perlindungan Anak).
  • Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 tentang Pengesahan Convention On The Rights Of The Child (Konvensi Tentang Hak-Hak Anak) (Keppres 36/1990).

Referensi:

  • Apakah Hak Asuh Anak Bisa Diambil oleh Ayah?. HukumOnline. (Diakses pada 12 November 2025 pukul 15.20 WIB).