Menteri Keuangan telah menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No.192/PMK.03/2018 tentang Pelaksanaan Pengkreditan Pajak atas Penghasilan dari Luar Negeri. Peraturan ini mulai berlaku pada 31 Desember 2018 dan menggantikan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 164/KMK.03/2002.
PMK ini memberikan klarifikasi dan petunjuk yang lebih detil mengenai tata cara penghitungan besarnya kredit pajak luar negeri yang dapat diakui dan tata cara pelaporannya.
Tujuan dari PMK ini adalah untuk meningkatkan kemudahan dan kepastian terkait kredit pajak luar negeri serta mendorong Wajib Pajak untuk mengklaim manfaat P3B (Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda), yang antara lain dapat berupa pengenaan pajak dengan tarif yang lebih rendah atau pembebasan dari pengenaan pajak di luar negeri.
Secara garis besar, pengaturan yang terdapat dalam PMK-192 ini antara lain penentuan besarnya penghasilan luar negeri. Sebelumnya, besarannya tidak diatur secara eksplisit dengan aturan ini maka penghasilan luar negeri yang dimasukkan dalam penghasilan kena pajak adalah penghasilan neto.
Menurut Direktur P2Humas Direktorat Jenderal Pajak (DJP), Hestu Yoga Saksama, terdapat beberapa tujuan pemerintah melakukan revisi aturan kredit pajak luar negeri.
Pertama, untuk menyederhanakan proses pelaporan penghasilan dari luar negeri. Jika pada peraturan sebelumnya pelaporan pajak penghasilan luar negeri harus melampirkan bukti potong, laporan keuangan, atau tax return, maka di PMK 192 Tahun 2018 syarat-syarat tersebut dihapus.
Kedua, PMK No.192 Tahun 2018 mengatur mengenai Penentuan negara sumber penghasilan luar negeri, yang sebelumnya tidak diatur. Ketiga, PMK juga mengatur mengenai jenis penghasilan yang dapat mendapatkan kredit pajak luar negeri, dan keempat adalah mengatur tentang batasan kredit pajak.
Pengamat perpajakan Darussalam menyampaikan bahwa PMK No. 192 Tahun 2018 merupakan ketentuan yang penting agar tidak terjadi pajak berganda. Adanya ketentuan tentang Kredit Pajak Luar Negeri (KPLN) pada dasarnya merupakan implikasi penerapan worldwide tax system di Indonesia.
Menurut Darussalam, rezim baru ini juga dirasa lebih ketat karena besarnya PPh luar negeri yang dapat dikreditkan sekarang ditentukan berdasar jumlah yang paling sedikit di antara 3 aspek, yaitu jumlah PPh yang seharusnya terutang, dibayar, atau dipotong di luar negeri dengan memperhatikan ketentuan P3B yang telah berlaku efektif, jumlah PPh luar negeri, dan jumlah tertentu.
Sumber: