Oleh: Asdel Fira, S.H.

 

 

Keberadaan rekam medis (medical record) di Indonesia telah ada sejak zaman penjajahan. Peraturan mengenai rekam medis telah melalui perbaikan-perbaikan oleh Pemerintah Indonesia. Dimulai dengan diterbitkannya Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 031/Birhub/1972 tentang diwajibkannya semua rumah sakit untuk mengerjakan medical recording dan reporting serta hospital statistic, hingga saat ini telah ada regulasi yang secara khusus mengatur tentang hal ini.

Pengaturan tentang rekam medis saat ini  dapat dijumpai pada Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran (‘‘UU Praktik Kedokteran“), Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 269 Tahun 2008 tentang Rekam Medis dan Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 36 Tahun 2012 tentang Rahasia Kedokteran.

Adapun rekam medis sebagaimana ketentuan Pasal 1 ayat (1) Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 269 Tahun 2008 tentang Rekam Medis adalah “berkas yang berisikan catatan dan dokumen tentang identitas pasien, pemeriksaan, pengobatan, tindakan dan pelayanan lain yang telah diberikan kepada pasien.“

Tenaga medis seperti dokter, dokter gigi, dokter spesialis dan dokter gigi spesialis diwajibkan membuat rekam medis pasien secara lengkap dan jelas. Baik secara tertulis maupun pencatatan secara elektronik yang mendokumentasikan hasil pemeriksaan, pengobatan, tindakan dan pelayanan lainnya yang diberikan pada pasien. Kemudian rekam medik harus dibubuhi nama, waktu dan tanda tangan tenaga medis yang memberikan pelayanan kesehatan tersebut kepada pasien. Kewajiban tersebut dapat ditemui juga dalam UU Praktik Kedokteran pasal 46 ayat (3) yang menjelaskan bahwa:

Setiap catatan rekam medis harus dibubuhi nama, waktu, dan tanda tangan petugas yang memberikan pelayanan atau tindakan. Yang dimaksud dengan “petugas” adalah dokter atau dokter gigi atau tenaga kesehatan lain yang memberikan pelayanan langsung kepada pasien. Apabila dalam pencatatan rekam medis menggunakan teknologi informasi elektronik, kewajiban membubuhi tanda tangan dapat diganti dengan menggunakan nomor identitas pribadi (personal identification number).“

Rekam medik sebagai berkas yang memuat informasi-informasi medis Pasien wajib dijaga kerahasiannya, sehingga tidak setiap orang dapat mengakses dan memanfaatkannya secara bebas.

Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 269 Tahun 2008 tentang Rekam Medik dan Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 36 Tahun 2012 tentang Rahasia Kedokteran mengatur bahwa informasi medis Pasien yang terdapat pada dokumen tersebut dapat dimanfaatkan atas persetujuan pasien atau keluarganya yang berhak, dengan cara mengajukan surat tertulis kepada Pimpinan Fasilitas Pelayanan Kesehatan dan harus tetap dijaga kerahasiaanya. Adapun kegunaannya, antara lain:

  1. Pemeliharaan kesehatan dan pengobatan pasien
  2. Alat bukti dalam proses penegakan hukum, disiplin kedokteran dan kedokteran gigi dan penegakan etika kedokteran dan etika kedokteran gigi.
  3. Keperluan pendidikan dan penelitian
  4. Dasar pembayar biaya pelayanan kesehatan; dan
  5. Data statistik kesehatan

Informasi medis pasien tidak lagi bersifat rahasia apabila pasien atau keluarga terdekat pasien menuntut tenaga kesehatan dan/atau fasilitas pelayanan kesehatan serta menginformasikannya melalui media massa karena dianggap telah melepaskan hak rahasia kedokterannya kepada umum, sehingga tenaga kesehatan dan/atau fasilitas pelayanan kesehatan berwenang juga untuk membuka atau mengungkap rahasia kedokteran yang bersangkutan sebagai hak jawab.

Demikian juga, dalam hal pihak pasien menggugat tenaga kesehatan dan/atau fasilitas pelayanan kesehatan, maka tenaga kesehatan dan/atau fasilitas pelayanan kesehatan yang digugat berhak untuk membuka rahasia kedokteran dalam rangka pembelaan di dalam sidang pengadilan.

Kalau begitu, Siapakah sebenarnya pemilik dari rekam medis Pasien?

Merujuk kepada regulasi tentang Rekam Medik pada Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 269 Tahun 2008, diatur dengan tegas bahwa berkas rekam medik adalah milik Fasilitas Pelayanan Kesehatan, sedangkan isi di dalam dokumen merupakan milik pasien dalam bentuk ringkasan rekam medik yang dapat diberikan, dicatat atau dicopy oleh pasien atau orang yang diberi kuasa atas persetujuan tertulis pasien atau keluarga pasien yang berhak untuk itu, sehingga Pasien tidak memiliki hak atas berkas rekam medik tersebut.

Berdasarkan Peraturan tersebut, dapat diketahui bahwa yang berhak mendapatkan ringkasan rekam medis adalah pasien, keluarga pasien, orang yang diberi kuasa oleh pasien atau keluarga pasien dan orang yang mendapatkan persetujuan dari pasien atau keluarga pasien.

 

Daftar Pustaka:

Amril Amir dan M. Jusuf Hanafiah. 1999. Etika Kedokteran dan Hukum Kesehatan. Edisi 3. Kedokteran EGC. Jakarta

Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran.

Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 269 Tahun 2008.

Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 36 Tahun 2012 tentang Rahasia Kedokteran.