Kontroversi penggunaan ganja untuk medis masih belum menemukan titik terang, meskipun pemerintah telah memberi memberi lampu merah bagi para peneliti melakukan riset. Wacara ganja untuk medis menjadi perhatian publik ketika Dwi Pertiwi  yang anaknya menderita penyakit Cerebral Palsy, Santi warastuti, nafiah Murhayani dkk mengajukan uji materiil Undang-undang Narkotika No 35 tahun 2009 terhadap UUD 1945.

Gugatan dengan nomor perkara 106/PUU-XVIII/2020 itu meminta MK mengubah Pasal 6 Ayat (1) UU Narkotika agar memperbolehkan penggunaan narkotika golongan I untuk kepentingan medis. Penggugat juga meminta MK menyatakan Pasal 8 Ayat (1) yang berisi larangan penggunaan narkotika golongan I untuk kepentingan kesehatan inkonstitusional.

Sebelum Dwi Pertiwi melayangkan permohonan uji materiil kepada MK,  Fidelis Arie Sudewarto yang mengobati istrinya ditahan Badan Narkotika Nasional (BNN) karena menanam 39 batang ganja. Fidelis ditangkap pada 19 Februari 2017 dan tepat 32 hari setelah dia ditangkap, sang istri pun meninggal dunia pada 25 Maret 2017.

Pasal 8 (1) UU Narkotika menyebutkan, Narkotika Golongan I dilarang digunakan untuk kepentingan pelayanan kesehatan. Ayat 2 menjelaskan, dalam jumlah terbatas, Narkotika Golongan I dapat digunakan untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dan untuk reagensia diagnostik, serta reagensia laboratorium setelah mendapatkan persetujuan Menteri atas rekomendasi Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan. Pasal ini dianggap merugikan hak konstitusional para penggungat karena menghalangi mereka untuk mendapatkan pengobatan.  Dalam Pasal 6 dijelaskan, Narkotika sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 digolongkan ke dalam: Narkotika Golongan I, Narkotika Golongan II, dan Narkotika Golongan III.

Kemenkes Akan Terbitkan Regulasi Riset Ganja Medis

Pakar Farmakologi dan Farmasi Klinik UGM, Prof. Apt. Zullies Ikawati, Ph.D., menjelaskan,   ganja bisa digunakan untuk terapi atau obat karena di dalamnya mengandung beberapa komponen fitokimia yang aktif secara farmakologi. Ganja mengandung senyawa cannabinoid yang di dalamnya terdiri dari senyawa tetrahydrocannabinol (THC) yang bersifat psikoaktif.

“Psikoaktif artinya bisa memengaruhi psikis yang menyebabkan ketergantungan dan efeknya kearah mental,” jelas Zullies seperti dikutip dari website Universitas Gadjah Mada.  Ia menuturkan, CBD telah dikembangkan sebagai obat dan disetujui oleh Food and Drug Administration (FDA) di Amerika. Misalnya epidiolex yang mengandung 100 mg/mL CBD dalam sirup. Obat ini diindikasikan untuk terapi tambahan pada kejang yang dijumpai pada penyakit Lennox-Gastaut Syndrome (LGS) atau Dravet syndrome (DS), yang sudah tidak berespons terhadap obat lain.

Zullies menjelaskan CBD  memang telah teruji klinis dapat mengatasi kejang.  Kendati begitu untuk terapi antikejang yang dibutuhkan adalah CBD-nya, bukan keseluruhan dari tanaman ganja. Sebab, ganja jika masih dalam bentuk tanaman maka masih akan bercampur dengan THC. Kondisi ini akan menimbulkan berbagai efek samping pada mental.

Guru Besar Fakultas Farmasi UGM ini menuturkan, ganja bukanlah satu-satunya obat untuk mengatasi penyakit termasuk cerebral palsy.  Terkait legaliasai ganja medis, Zullies mengungkapkan obat yang berasal dari ganja seperti Epidiolex bisa menjadi legal ketika didaftarkan ke badan otoritas obat seperti BPOM dan disetujui untuk dapat digunakan sebagai terapi.

“Menurut saya, semestinya bukan melegalisasi tanaman ganja-nya karena potensi untuk penyalahgunaannya sangat besar. Siapa yang akan mengontrol takarannya, cara penggunaannya, dan lainnya walaupun alasannya adalah untuk terapi,” ungkapnya. Ia menambahkan, penggunaan ganja medis ini dapat melihat dari obat-obatan golongan morfin.  Morfil juga berasal dari tanaman opium dan menjadi obat legal selama diresepkan dokter. Selain itu, digunakan sesuai indikasi seperti nyeri kanker yang sudah tidak respons lagi terhadap analgesik lain dengan pengawasan distribusi yang ketat.

Sementara itu, Kementerian Kesehatan segera menerbitkan regulasi yang mengatur pelaksanaan riset tanaman ganja untuk kebutuhan medis. Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin 29 Juni 2022 lalu menyatakan, pihaknya telah melakukan kajian dan dalam waktu dekat regulasinya akan disahkan. 

“Tujuan regulasi tersebut untuk mengontrol seluruh fungsi proses penelitian yang mengarah pada pengembangan ilmu pengetahuan di dunia medis. Dasar dari keputusan Kemenkes untuk menerbitkan regulasi penelitian tanaman ganja adalah Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika,” ujar Budi dikutip dari beritasatu.com.

Baca Juga: Sebelum Kantongi Rekomendasi Majelis Independen, Penegak Hukum Tak Bisa Periksa Dokter dan Nakes