Pemerintah Indonesia resmi mengajukan banding atas putusan panel Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). Banding diajukan untuk menguji kembali putusan panel WTO yang menyatakan Indonesia bersalah telah mengeluarkan kebijakan larangan ekspor dan hilirisasi bijih nikel dalam negeri.

Benarkan Indonesia melanggar dan bersalah telah mengeluarkan kebijakan tersebut sehingga Uni Eropa harus menggugat negara berdaulat ini di forum ad hoc yang sifatnya hanya sementara itu?  Apa yang perlu dilakukan oleh Indonesia terhadap putusan tersebut? Apakah upaya banding ini efektif menunjukkan eksistensi Indonesia kepada masyarakat internasional?

Dasar Hukum

Mari kita kaji bersama putusan panel WTO itu melalui  Undang-undang Dasar Tahun 1945 sebagai konstitusi negara Indonesia. Di dalam pembukaan konstitusi kita alinea pertama menyatakan bahwa sesungguhnya kemerdekaan (menetapkan kebijakan) itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.

Dalam konsideran Undang-Undang No. 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri, Indonesia telah mendeklarasikan diri sebagai negara merdeka dan berdaulat. Dalam melaksanakan hubungan luar negeri Indonesian mendasarkan pada asas kesamaan derajat, saling menghormati, saling menguntungkan, dan saling tidak mencampuri urusan dalam negeri masing-masing seperti yang tersirat di dalam Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Karena itulah Indonesia memiliki prinsip politik luar negeri yang bebas aktif demi kemajuan nasional atau negara.

Dalam konsideran tersebut, jelas Indonesia sejajar dengan bangsa lain sebagai masyarakat internasional yang perlu dihormati dan tidak ingin urusan atau kebijakan dalam negerinya dicampuri, kecuali masalah hak asasi manusia (HAM) di mana Indonesia telah meratifikasinya.

Indonesia telah meratifikasi beberapa konvensi seperti Konvensi Jenewa 12 Agustus 1949, Konvensi Tentang Hak Politik Kaum Perempuan,  Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan, Konvensi Hak Anak, Konvensi Pelarangan, Pengembangan, Produksi dan Penyimpanan Senjata Biologis dan Penyimpanannya serta pemusnahannya, Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, atau Merendahkan Martabat Manusia dan konvensi HAM lainnya yang harus dipatuhi.

Jika merujuk pada peraturan perundang-undangan kita, putusan WTO yang mengabulkan keberatan Uni Eropa jelas tidak menghormati dan telah ikut campur mengenai urusan rumah tangga kita. Penulis sepakat dengan pernyataan dari beberapa anggota Komisi VII Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk menyampaikan kata “LAWAN” terhadap putusan WTO. Mereka memang mengatakan yang dimaksud lawan adalah melalui banding putusan tersebut, bukan meminta untuk mengabaikan putusan tersebut. Padahal mereka berhak memberikan saran: “Abaikan putusan WTO demi menjaga kedaulatan NKRI.”

Pandangan Ahli

Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia Prof Hikmahanto Juwana mengatakan bahwa Indonesia memiliki dasar untuk mengabaikan putusan WTO, jika putusannya mengganggu kedaulatan negara. “

Dasarnya karena dalam hukum internasional tidak ada yang lebih tinggi dari kedaulatan negara,” kata Hikmahanto saat diskusi dengan penulis melalui pesan singkatnya akhir tahun lalu.

Menurutnya, upaya banding terhadap putusan WTO sudah tepat sebagai opsi lain dan bentuk penghormatan kepada putusan hukum internasional. Namun, dia menyarankan sebaiknya, pemerintah Indonesia mengabaikan putusan tersebut seperti yang telah dilakukan negara-negara lain bukan mengajukan banding yang menguras energi dan sumber dana.

“Kalau AS atau Cina, jangankan banding di panel saja merek tidak mau. Tapi itulah realitas. Kalau negara berkembang kita patuh aturan, kalau negara maju kepentingan mereka terganggu bisa abaikan hukum internasional,” katanya.

Sebagai negara berdaulat Indonesia perlu mengikuti langkah-langkah negara maju yang telah mengabaikan putusan sengketa internasional jika itu mengganggu kepentingan nasional. Menjadi tuan rumah dalam penyelenggaraan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT G20) harus menjadi modal Indonesia perlu diperlakukan sama dengan masyarakat internasional lainnya.

Pengalaman Negara Lain

Indonesia perlu mengikuti ketegasan yang dilakukan Tiongkok. Negara ini, telah mengabaikan putusan Mahkamah Arbitrase Permanen (Permanent Arbitration Court PCA) mengenai sengketa antara Filipina-Cina mengenai laut Tiongkok Selatan ( South Cina Sea, PCA 2016).  Mahkamah mengeluarkan putusan atas permohonan Filipina mengenai status Perairan Laut Tiongkok Selatan termasuk keberadaan pulau-pulau di sana dan kekayaan alamatnya.

Filipina mengajukan permohonan arbitrase kepada PCA, setelah upaya negosiasi mengenai kalim Tiongkok atas perairan dan sumbar daya alam di Laut Tiongkok Selatan gagal. PCA memenangkan gugatan Filipina, namun Tiongkok tidak memberikan komentar apapun terhadap putusan tersebut. Tiongkok mengklaim, PCA tidak memiliki yuridiksi.

“Putusan dikeluarkan secara in absentia tanpa kehadiran Tiongkok,” tulis Prof Huala Adolf dalam bukunya Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional.

Mengabaikan putusan WTO ini adalah bentuk menjaga kedaulatan negara sesuai dengan prinsip-prinsip hukum internasional tentang kedaulatan, kemerdekaan, dan integritas wilayah negara masing-masing yang mengikatkan diri dalam sebuah perjanjian seperti yang diatur dalam deklarasi Manila yang ditandatangani pada 31 Juli tahun 1963.

Prinsip tersebut antara lain, larangan intervensi baik terhadap masalah dalam aturan luar negeri para pihak, persamaan hak dan penentuan nasib sendiri, persamaan kedaulatan negara dan prinsip kemerdekaan dan hukum internasional, sebagai penjelmaan tentang kedaulatan, kemerdekaan, dan integritas wilayah negara-negara.

Dalam menyelesaikan sengketa internasional, ada cara damai yang dipandang lebih elegan yang perlu ditempuh oleh Indonesia sebagai masyarakat internasional sebelum memutuskan berdebat di Dispute Settlement Body (DSB) WTO yaitu negosiasi yang merupakan cara paling dasar dan paling tua digunakan oleh sejarah manusia, pencarian fakta, jasa-jasa baik, mediasi, dan konsiliasi. Semoga cara-cara damai ini telah diusahakan.

Author/Contributor:

 Ali Yusuf, S.H.

Praktisi Hukum dan Founder Solidarity Indonesia for Refugees

Contact:

Mail       : alylaw135.8@gmail.com

Phone    : +62-21 799 7973 / +62-21 799 7975