Hilirisasi mineral khususnya nikel, telah menjadi kebijakan strategis nasional yang secara konsisten diperkuat oleh Pemerintah indonesia dalam satu dekade terakhir. Larangan ekspor bijih nikel sejak 2020 bukan sekadar kebijakan perdagangan, melainkan instrumen hukum dan ekonomi untuk mendorong nilai tambah, transfer teknologi, serta penciptaan basis industri dalam negeri. Secara global, Indonesia sebagai pemilik cadangan nikel terbesar dunia menjadikan kebijakan ini sebagai implikasi luas, baik secara iklim investasi maupun hubungan dagang internasional.
Menjelang tahun 2026, kepastian hukum menjadi faktor kunci bagi keberlanjutan investasi smelter. Investor tidak hanya mempertimbangkan ketersediaan bahan baku dan insentif fiskal, tetapi juga stabilitas regulasi, kepastian kontrak jangka panjang, serta mitigasi risiko kebijakan. Revisi Undang-Undang Minerba dan terbitnya Peraturan Pemerintah terbaru pun menjadi instrumen penting dalam membangun kerangka hukum yang lebih terstruktur bagi pelaksanaan hilirisasi nikel dan penguatan ekosistem industri smelter di Indonesia.
Perubahan Regulasi dan Arah Kebijakan Hilirisasi di Indonesia
Kebijakan hilirisasi mineral, khususnya nikel, memasuki fase penguatan regulasi sejak tahun 2025 seiring dengan kebutuhan negara untuk memastikan keberlanjutan investasi, peningkatan nilai tambah dalam negeri, serta penguatan posisi Indonesia dalam rantai pasok global industri baterai dan kendaraan listrik.
Pemerintah merespons dinamika tersebut melalui penyempurnaan kerangka hukum pertambangan, baik di tingkat undang-undang maupun peraturan pelaksana, guna menciptakan kepastian hukum, menyederhanakan perizinan, dan memastikan bahwa pengusahaan sumber daya mineral selaras dengan agenda industrialisasi nasional dan kepentingan ekonomi jangka panjang.
- Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2025 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (“UU Minerba”)
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2025 merupakan perubahan keempat terhadap Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (“UU Minerba”) yang mulai berlaku sejak 19 Maret 2025. Revisi ini menegaskan arah kebijakan pertambangan nasional untuk memperkuat hilirisasi mineral dalam negeri, termasuk nikel yang merupakan komoditas strategis bagi Indonesia.
- Prioritas Akses Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP) untuk Hilirisasi
Salah satu perubahan krusial dalam UU Minerba terbaru adalah penambahan ketentuan mengenai prioritas akses WIUP kepada entitas yang mendukung hilirisasi, seperti Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan badan usaha swasta yang bermitra atau berkomitmen pada pembangunan dan pengolahan/pemurnian mineral di dalam negeri. Ketentuan ini menegaskan bahwa pemberian izin pertambangan tidak lagi sekadar akses produksi sumber daya, tetapi juga harus sejalan dengan agenda hilirisasi nasional.
Namun, klausul terkait prioritas ini juga sempat menjadi subjek materiil di Mahkamah Konstitusi, khususnya pada Pasal:
Pasal 51B ayat (1) UU Minerba:
“WIUP Mineral logam dalam rangka hilirisasi dapat diberikan kepada BUMN dan Badan Usaha swasta dengan cara prioritas.”
Pasal 60B ayat (1) UU Minerba:
“WIUP Batubara dalam rangka hilirisasi dapat diberikan kepada BUMN dan Badan Usaha swasta dengan cara prioritas.”
- Penekanan Nilai Tambah dan Industri Domestik
UU Minerba 2/2025 menegaskan bahwa mineral yang dihasilkan dari kegiatan pertambangan wajib diolah dan dimurnikan untuk memberikan nilai tambah ekonomi domestik. Hal ini memperkuat pendekatan kebijakan hilirisasi yang sejak awal menjadi mandat UU Minerba sebelumnya, tetapi kini dengan fokus yang lebih eksplisit pada kontribusi nilai tambah bagi perekonomian nasional.
Selain itu, perubahan ini juga membuka ruang bagi pemberian akses WIUP kepada pelaku usaha non-tradisional, seperti UMKM, koperasi, organisasi kemasyarakatan, hingga perguruan tinggi melalui mekanisme prioritas, menandakan bahwa hilirisasi tidak hanya ditujukan bagi korporasi besar, tetapi juga untuk memperluas pemerataan manfaat industri sumber daya alam.
- Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2024 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 96 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara (“PP 25/2024”)
PP 25/2024 merupakan turunan dari UU Minerba yang mengubah PP 96/2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara. Peraturan ini berfungsi sebagai aturan teknis yang menjabarkan bagaimana perizinan dan kegiatan hilirisasi dilaksanakan secara operasional.
- Aturan Baru dalam Perizinan Pertambangan
Pemerintah mengizinkan organisasi kemasyarakatan keagamaan dan badan usaha tertentu untuk memperoleh Wilayah Izin Usaha Pertambangan Khusus (WIUPK) secara prioritas, sebagai bagian dari upaya pemerataan ekonomi dan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Ketentuan dalam Pasal 83A ayat (1) ini memperluas lingkup calon pemegang izin di luar korporasi besar tradisional.
Selain itu, PP 25/2024 ini pun menyederhanakan proses perizinan melalui pendekatan risiko dan integrasi melalui Online Single Submission (OSS), sehingga mempercepat investasi sambil tetap memastikan pengawasan yang efektif terhadap kewajiban lingkungan dan komitmen kerja.
- Percepatan dan Kepastian Hilirisasi
Regulasi ini tidak hanya mengatur izin tambang, tetapi juga menekankan komitmen pelaksanaan hilirisasi sebagai bagian dari syarat keberlanjutan izin usaha. Dalam ketentuan turunan ini, pemerintah menghubungkan status izin dengan pemenuhan kewajiban investasi dalam kegiatan pengolahan dan pemurnian mineral di dalam negeri, sehingga investor smelter mendapatkan framework hukum yang lebih jelas untuk merencanakan operasional dan strategi bisnisnya.
Berbagai penyesuaian ini dimaksudkan untuk memberikan kepastian hukum dan iklim investasi yang kondusif, sekaligus mendorong percepatan hilirisasi nikel dan komoditas strategis lainnya di Indonesia.
Baca juga: Aturan Baru! Kini Pemerintah Prioritaskan UKM untuk Mengelola Tambang
Kepastian Kontrak Jangka Panjang dan Insentif bagi Investor
Kepastian hukum bagi investor smelter bertumpu pada jaminan jangka waktu izin usaha pertambangan yang diatur dalam Pasal 47 UU Minerba. Pasal ini menetapkan bahwa Jangka waktu kegiatan Operasi Produksi diberikan dengan ketentuan:
- Untuk Pertambangan Mineral logam paling lama 20 (dua puluh) tahun dan dijamin memperoleh 2 (dua) kali masing-masing 10 (sepuluh) tahun setelah memenuhi persyaratan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
- Untuk Pertambangan Mineral bukan logam paling lama 10 (sepuluh) tahun dan dijamin memperoleh perpanjangan 2 (dua) kali masing-masing 5 (lima) tahun setelah memenuhi persyaratan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
- Untuk Pertambangan Mineral bukan logam jenis tertentu paling lama 20 (dua puluh) tahun dan dijamin memperoleh perpanjangan 2 (dua) kali masing-masing 10 (sepuluh) tahun setelah memenuhi persyaratan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
- Untuk Pertambangan batuan paling lama 5 (lima) tahun dan dijamin memperoleh perpanjangan 2 (dua) kali masing-masing 5 (lima) tahun setelah memenuhi persyaratan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
- Untuk Pertambangan Batubara paling lama 20 (dua puluh) tahun dan dijamin memperoleh perpanjangan 2 (dua) kali masing-masing sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
- Untuk Pertambangan Mineral logam yang terintegrasi dengan fasilitas Pengolahan dan/atau Pemurnian selama 30 (tiga puluh) tahun dan dijamin memperoleh perpanjangan setelah memenuhi persyaratan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
- Untuk Pertambangan Batubara yang terintegrasi dengan kegiatan Pengembangan dan/atau Pemanfaatan selama 30 (tiga puluh) tahun dan dijamin memperoleh perpanjangan selama 10 (sepuluh) tahun setiap kali diberi perpanjangan setelah memenuhi persyaratan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
- Untuk Pertambangan Mineral bukan logam jenis tertentu yang terintegrasi dengan fasilitas Pengolahan industri di dalam negeri paling lama 20 (dua puluh) tahun dan dijamin memperoleh perpanjangan setelah memenuhi persyaratan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Selain kepastian kontrak, pemerintah juga memberikan berbagai insentif fiskal dan non-fiskal untuk menarik minat investor smelter. Insentif fiskal berupa tax holiday hingga 20 tahun bagi proyek smelter strategis, sebagaimana diatur dalam kebijakan perpajakan nasional yang mendukung hilirisasi. Insentif lain berupa tax allowance yang memberikan pengurangan penghasilan kena pajak, sehingga beban fiskal investor menjadi lebih ringan.
Di sisi non-fiskal, pemerintah memberikan kemudahan perizinan berbasis risiko melalui sistem OSS RBA, yang mempercepat proses perizinan usaha. Selain itu, investor smelter juga memperoleh prioritas akses energi dan infrastruktur pendukung, sebagaimana diatur dalam Pasal 56 PP 25/2024 yang menekankan integrasi kegiatan operasi produksi dengan pembangunan fasilitas pengolahan dan pemurnian. Dengan adanya insentif ini, iklim investasi di sektor smelter menjadi lebih kompetitif dan menarik bagi investor global.
Sebagai penutup, dapat ditegaskan bahwa hilirisasi nikel bukan hanya kebijakan sektoral, melainkan strategi nasional yang menempatkan kepastian hukum sebagai fondasi utama bagi keberlanjutan investasi. Dengan adanya revisi UU Minerba dan terbitnya PP 25/2024, pemerintah telah membangun kerangka regulasi yang lebih terstruktur, memberikan jaminan kontrak jangka panjang, serta menghadirkan insentif fiskal dan non-fiskal yang kompetitif.
Semua instrumen ini menjadi fondasi bagi terciptanya ekosistem industri smelter yang berdaya saing global. Ke depan, konsistensi kebijakan, penerapan prinsip keberlanjutan, dan komitmen pada nilai tambah domestik akan menentukan posisi Indonesia sebagai pusat hilirisasi nikel dunia dan motor penggerak transisi energi menuju masa depan yang lebih berkelanjutan.***
Baca juga: Kapan Kegiatan Tambang Dianggap Merusak Lahan?
Daftar Hukum:
- Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2025 tentang Perubahan Keempat Atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (“UU Minerba”).
- Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2024 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 96 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara (“PP 25/2024”).
Referensi:
- IMF Usul Pemerintah Indonesia Kaji Ulang Pelarangan Ekspor Nikel. News DDTC. (Diakses pada 15 Desember 2025 pukul 13.19 WIB).
- PP 28/2025 Terbit, Investasi Baru Sektor Smelter Nikel Dibatasi. Industri Kontan. (Diakses pada 15 Desember 2025 pukul 13.40 WIB).
