Aktivitas pertambangan seringkali identik dengan kerusakan lahan karena proses penambangan melibatkan pengupasan tanah, perubahan topografi, serta gangguan terhadap struktur dan fungsi ekosistem. Tanpa diiringi dengan pengelolaan yang tepat, maka kegiatan tambang berpotensi menyebabkan kerusakan lahan. Kemudian yang menjadi pertanyaannya adalah: kapan kegiatan tambang dianggap merusak lahan?
Oleh karena itu, pada penulisan kali ini SIP Law Firm akan membahas lebih lanjut terkait: parameter tolak ukur kerusakan lahan, batas ambang toleransi keamanan lahan, serta konsekuensi hukum bagi pelaku kerusakan lahan akibat usaha dan/atau kegiatan tambang.
Parameter Tolak Ukur Kerusakan Lahan Akibat Usaha dan/atau Kegiatan Tambang
Sektor pertambangan terus memberikan kontribusi secara nyata terhadap perputaran roda perekonomian di Indonesia. Bahkan, Abra Talattov selaku Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) memberikan pernyataan bahwa sektor pertambangan merupakan sektor terbesar kelima yang memberikan sumbangan terhadap Produk Domestik Bruto (PDB), yakni sekitar 8,5% (delapan koma lima persen) sebagaimana hal tersebut telah disampaikan dalam Laporan Kompas.
Meskipun sektor pertambangan berperan aktif terhadap perekonomian di Indonesia, akan tetapi kegiatan tambang memiliki risiko merusak lingkungan hidup, khususnya lahan. Berkaitan dengan hal tersebut, untuk dapat menentukan apakah benar telah terjadi kerusakan lingkungan hidup, maka diperlukan kriteria baku sebagaimana hal tersebut telah diatur dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup/Badan Pengendalian Lingkungan Hidup Nomor 20 Tahun 2025 tentang Kriteria Baku Kerusakan Lingkungan Hidup untuk Lahan Akibat Usaha dan/atau Kegiatan Pertambangan (“Permen LH 20/2025”). Adapun pembentukan regulasi tersebut diundangkan sebagai bentuk peraturan pelaksana dari Pasal 272 ayat (5) Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (“PP 22/2021”) terkait pengendalian kerusakan lingkungan hidup, khususnya mengenai kriteria baku kerusakan lahan akibat kegiatan pertambangan.
Menurut Pasal 1 angka 1 Permen LH 20/2025, yang dimaksud dengan kerusakan lingkungan hidup adalah perubahan langsung dan/atau tidak langsung terhadap sifat fisik, kimia, dan/atau hayati lingkungan hidup yang melampaui kriteria baku kerusakan lingkungan hidup. Jika dikaitkan dengan kegiatan tambang, berdasarkan pasal tersebut dapat diketahui bahwa kegiatan tambang akan dinilai merusak lahan apabila melebihi kriteria baku kerusakan lingkungan hidup. Penentuan mengenai kriteria baku didasari atas 3 parameter sebagaimana diatur dalam Pasal 3 ayat (1) Permen LH 20/2025 yang mana dalam pasal tersebut menyatakan bahwa:
“Kriteria baku kerusakan lingkungan hidup untuk lahan akibat usaha dan/atau kegiatan pertambangan ditentukan berdasarkan parameter:
- Fisik;
- Kimia; dan
- Hayati.”
Lebih lanjut, dalam Pasal 3 ayat (2) hingga ayat (3) Permen LH 20/2025 memberikan ketentuan mengenai parameter fisik, kimia, serta hayati. Parameter fisik ditentukan berdasarkan areal bekas tambang, tanah pucuk, kelerengan, erosi, longsor, aliran air permukaan, muka air tanah, jarak aktivitas penambangan, serta bukaan tambang. Sementara itu, parameter kimia berupa batuan potensi pencemar. Adapun parameter hayati, terdiri atas: vegetasi di sekitar badan air dan/atau laut, tutupan lahan area revegetasi, dan keanekaragaman hayati. Ketiga parameter tersebut menjadi tolak ukur utama dalam menentukan apakah kondisi lahan masih berada pada batas aman atau telah melampaui toleransi kerusakan lingkungan, sehingga diperlukan tindakan pemulihan atau rehabilitasi lebih lanjut.
Batas Ambang Toleransi Keamanan Lahan Akibat Usaha dan/atau Kegiatan Tambang
Batas ambang toleransi keamanan lahan merupakan standar ukuran yang digunakan untuk menentukan sejauh mana perubahan kondisi tanah dan lahan akibat usaha dan/atau kegiatan pertambangan masih dapat diterima, tanpa menimbulkan kerusakan lingkungan yang bersifat permanen. Konsep tersebut berperan esensial pada kegiatan pertambangan, mengingat bahwa setiap usaha dan/atau kegiatan tambang berpotensi merusak, sehingga pemerintah perlu menetapkan standar baku kerusakan lahan sebagai tindakan pengendalian lahan.
Untuk menentukan batas ambang toleransi keamanan lahan akibat usaha dan/atau kegiatan tambang, dalam Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 26 Tahun 2018 tentang Pelaksanaan Kaidah Pertambangan yang Baik dan Pengawasan Pertambangan Mineral dan Batubara (“Permen ESDM 26/2018”) telah mempertegas bahwa pelaku industri pertambangan wajib berpegang teguh pada prinsip good mining practice dengan memastikan bahwa pelaku usaha industri tambang melaksanakan reklamasi dan pascatambang, serta pascaoperasi sebagaimana telah diatur dalam Pasal 22 Permen ESDM 26/2018. Kegiatan reklamasi dan pascatambang, serta pascaoperasi menjadi dasar tolak ukur apakah lahan pascatambang telah kembali pada kondisi aman dan layak fungsi. Apabila tidak memenuhi batas ambang toleransi, maka pelaku usaha industri tambang berisiko dikenakan sanksi administratif hingga kewajiban pemulihan lahan.
Selain melaksanakan reklamasi dan pascatambang, serta pascaoperasi sebagai bentuk pertanggungjawaban atas kegiatan tambang yang telah dilaksanakan, para pelaku usaha industri tambang juga wajib memenuhi ketentuan terkait pengelolaan tambang sebagaimana tertera pada pasal 2 ayat (1) Permen LH 20/2025 yang menyatakan bahwa:
“Penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan pertambangan wajib melakukan pencegahan kerusakan lingkungan hidup.”
Berdasarkan pasal di atas, dapat diketahui bahwa agar kegiatan tambang tetap pada batas toleransi keamanan lahan, maka para pelaku usaha industri tambang wajib melaksanakan upaya preventif dalam mencegah kerusakan lingkungan hidup, seperti: melakukan penaatan dan pemantauan. Penaatan menjadi dasar kepatuhan terhadap seluruh kriteria baku kerusakan lingkungan hidup terhadap lahan akibat usaha dan/atau kegiatan tambang, sementara itu pemantauan dilakukan melalui 2 tahap, yakni:
- Perencanaan Pemantauan
Tahap ini dilaksanakan melalui: kegiatan pengumpulan dokumen perizinan dan segala hal yang berkaitan, mempersiapkan peralatan untuk memantau kerusakan, serta menyusun dokumen secara mendetail terkait pemantauan kerusakan lingkungan hidup, khususnya lahan akibat usaha dan/atau kegiatan pertambangan.
- Pelaksanaan Pemantauan
Pelaksanaan pada tahap ini dibedakan atas 2 (dua) jangka waktu yang berbeda, yang mana untuk parameter tanah pucuk, kelerengan, erosi, longsor, aliran air permukaan, muka air tanah, jarak aktivitas penambangan, bukaan ambang, batuan potensi pencemar, dan keanekaragaman hayati dilakukan minimal 1 (satu) kali dalam 6 (enam) bulan. Sementara itu, bagi parameter areal bekas tambang, vegetasi di sekitar badan air dan/atau laut, dan tutupan lahan area revegetasi dilaksanakan minimal 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun.
Baca juga: Kewajiban Melakukan CSR Pada Perusahaan Tambang
Konsekuensi Hukum dari Kerusakan Lahan Akibat Usaha dan/atau Kegiatan Tambang
Berdasarkan penulisan sebelumnya, maka dapat diketahui bahwa pelaku usaha industri pertambangan wajib memegang teguh prinsip good mining practice, melaksanakan tindakan preventif dengan tujuan mencegah kerusakan lingkungan hidup, serta melaksanakan reklamasi dan pascatambang, serta pascaoperasi dalam melakukan pengelolaan tambang. Upaya tersebut merupakan wujud kepedulian nyata terhadap lingkungan maupun masyarakat, terutama bagi mereka yang tinggal di daerah sekitar tambang.
Akan tetapi, apabila pelaku industri tambang tidak dapat memenuhi kewajibannya dalam mengelola usaha dan/atau kegiatan tambang, maka berisiko terkena sanksi hukum, berupa sanksi administratif. Lebih lanjut, dalam Pasal 151 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2025 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (“UU Minerba”) mengatur mengenai sanksi administratif yang dapat diberikan kepada pelanggar ketentuan UU Minerba, yakni:
- Peringatan tertulis;
- Denda;
- Penghentian sementara sebagian atau seluruh kegiatan eksplorasi atau operasi produksi; dan/atau
- Pencabutan izin, berupa: IUP, IUPK, IPR, SIPB, atau IUP untuk penjualan
Konsekuensi hukum berupa sanksi administratif tentu tidak diinginkan oleh setiap pelaku usaha industri tambang, Oleh karena itu, setiap pelaku usaha industri tambang yang melaksanakan usaha dan/atau kegiatan tambang harus memenuhi ketentuan sebagaimana tercantum dalam regulasi yang berlaku agar terhindar dari sanksi administratif.
Kegiatan tambang memberikan berbagai manfaat bagi Negara Indonesia, salah satunya adalah sebagai penggerak ekonomi karena telah terbukti memberikan sumbangan PDB terbesar kelima, yakni sekitar 8,5%. Akan tetapi, tanpa didasari atas prinsip good mining practice dan tanpa dilakukan upaya pencegahan kerusakan lahan, tentu kegiatan tambang justru menimbulkan risiko yang memberikan dampak serius, berupa kerusakan lahan pasca kegiatan tambang. Oleh karena itu, dengan memahami parameter yang menjadi tolak ukur kerusakan lahan diiringi dengan ilmu pengetahuan terkait batas ambang toleransi keamanan lahan, maka pelaku usaha industri tambang dapat terhindar dari sanksi administratif yang merupakan konsekuensi hukum terhadap kerusakan lahan yang timbul pascatambang.***
Baca juga: Aturan Baru! Kini Pemerintah Prioritaskan UKM untuk Mengelola Tambang
Daftar Hukum:
- Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2025 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (“UU Minerba”)
- Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (“PP 22/2021”)
- Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 26 Tahun 2018 tentang Pelaksanaan Kaidah Pertambangan yang Baik dan Pengawasan Pertambangan Mineral dan Batubara (“Permen ESDM 26/2018”)
- Peraturan Menteri Lingkungan Hidup/Badan Pengendalian Lingkungan Hidup Nomor 20 Tahun 2025 tentang Kriteria Baku Kerusakan Lingkungan Hidup untuk Lahan Akibat Usaha dan/atau Kegiatan Pertambangan (“Permen LH 20/2025”)
Referensi:
- Sektor Tambang Masih Jadi Penggerak Ekonomi Lokal. Kompas. (Diakses pada 1 Desember 2025 Pukul 09.43 WIB).
