Penanaman Modal Asing (PMA) berkontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia. Dalam rangka meningkatkan daya saing dan menarik lebih banyak investor yang melakukan investasi di Indonesia, pemerintah terus berupaya untuk melakukan penyederhanaan regulasi terkait perizinan dan penanaman modal, terutama melalui implementasi risk based licensing melalui sistem Online Single Submission (OSS).
Hal tersebut pun kembali dipertegas pemerintah dengan menurunkan besaran modal untuk perusahaan asing sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Investasi dan Hilirisasi/Badan Koordinasi Penanaman Modal Nomor 5 Tahun 2025. Tindakan tersebut merupakan langkah strategis pemerintah untuk memperluas masuknya modal asing ke sektor-sektor prioritas dan diperkirakan dapat meningkatkan produktivitas, serta meningkatkan lapangan pekerjaan.
Latar Belakang Pemerintah Menurunkan Besaran Modal Minimum bagi Perusahaan Asing
Pada kuartal III 2025, terjadi penurunan yang anjlok terhadap Penanaman Modal Asing (PMA) ke Indonesia (tidak mencakup investasi di sektor keuangan dan minyak & gas), yakni sebesar 8,9% yoy (Rp212 Triliun) dan menyusul penurunan sebesar 6,95% pada kuartal II. Hal tersebut menunjukkan bahwa terjadi penurunan PMA pada kuartal II secara beruntun, sekaligus menjadi penurunan terdalam sejak kuartal I 2020 yang dipengaruhi oleh meningkatnya tarif AS dan lemahnya permintaan dalam negeri.
Sejak 2 Oktober 2025, pemerintah telah mengundangkan Peraturan Menteri Investasi dan Hilirisasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Nomor 5 Tahun 2025 tentang Pedoman dan Tata Cara Penyelenggaran Perizinan Berusaha Berbasis Risiko dan Fasilitas Penanaman Modal melalui Sistem Perizinan Berusaha Terintegrasi secara Elektronik (Online Single Submission) (“Permeninves/BKPM 5/2025”) yang menyederhanakan proses perizinan berusaha berbasis risiko dan penanaman modal melalui sistem Online Single Submission (OSS) sebagaimana telah diatur sebelumnya melalui Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2025 tentang Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis RIsiko (“PP 28/2025”).
Terdapat beberapa ketentuan yang dibahas melalui Permeninves/BKPM 5/2025, salah satunya adalah terkait penurunan besaran nilai modal minimum bagi PMA. Upaya pemerintah menurunkan besaran nilai modal minimum bagi PMA merupakan salah satu kebijakan pemerintah dalam memperkuat iklim investasi pasca pandemi, mendorong pertumbuhan ekonomi digital, serta memperluas keterlibatan investor asing pada ruang yang lebih sempit, namun tetap potensial.
Sebelumnya, persyaratan modal minimum bagi PMA dipandang terlalu tinggi, sehingga menjadi hambatan masuk (entry barrier) bagi investor asing skala menengah maupun perusahaan rintisan global. Banyak pelaku usaha asing yang sebenarnya memiliki potensi kontribusi dalam sektor digital dan jasa modern, namun tidak dapat memasuki pasar Indonesia karena tidak mampu memenuhi persyaratan modal minimum yang besar. Hal tersebut pun diperkuat dengan adanya anggapan bahwa persyaratan modal PMA yang tinggi berpotensi menurunkan daya saing Indonesia dalam menarik investasi dibanding negara ASEAN lainnya.
Penetapan Besaran Nilai Investasi dan Permodalan PMA (Pasal 26 Peraturan Bkpm 5/2025)
Pada Pasal 26 ayat (1) Permeninves/BKPM 5/2025 telah mewajibkan PMA untuk mengikuti ketentuan minimum nilai investasi. Bagi PMA yang berbentuk perseroan terbatas telah diatur mengenai ketentuan minimum permodalan. Lebih lanjut, dalam Pasal 26 ayat (10) Permeninves/BKPM 5/2025 menyatakan bahwa minimum modal yang wajib disetor oleh PMA adalah sejumlah Rp2.500.000.000 (dua miliar lima ratus juta rupiah) per perseroan terbatas. Besaran modal minimum yang telah ditetapkan tidak dapat dipindahkan dari rekening dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, terkecuali jika digunakan untuk membeli aset, melakukan pembangunan gedung, dan/atau operasi badan usaha.
Terjadinya penurunan besaran modal PMA dikarenakan mengikuti ketentuan fleksibilitas modal terhadap beberapa jenis usaha yang tidak memerlukan struktur modal besar, terutama di sektor jasa modern, IT, dan industri kreatif. Penyesuaian tersebut menunjukkan bahwa pemerintah mengakui karakteristik bisnis digital yang semakin mengedepankan keahlian, teknologi, dan inovasi dibandingkan aset fisik. Maka dari itu, beban modal awal yang terlalu tinggi kini dinilai sudah tidak relevan, bahkan terdapat anggapan bahwa biaya investasi yang tinggi justru menghambat masuknya investor asing yang ingin mengembangkan bisnisnya di Indonesia.
Untuk merealisasi penanaman modal, PMA diwajibkan melampirkan laporan kegiatan tahunan sebagaimana telah tercantum dalam ketentuan Permeninves/BKPM 5/2025 yang terdiri dari:
- 3 rekomendasi kontrak kerjasama operasi
- CV Manajer proyek
- CV seluruh tenaga kerja WNA
- CV seluruh tenaga kerja WNI yang ditempatkan sebagai pendamping WNA
- Struktur organisasi proyek
- Laporan keuangan BUJK induk dan perwakilan yang telah di audit akuntan publik
- Rekaman SBU dan IUJK dari BUJK mitra kerjasama operasi yang telah dilegalisir oleh instansi penerbit
- Rekaman SBU dan IUJK dari BUJK sub penyedia jasa yang telah dilegalisir oleh instansi penerbit
- Laporan kemajuan proyek terakhir yang ditandatangani oleh pengguna jasa
- Rekaman pembayaran yang dilakukan kepada sub penyedia jasa
- Daftar material dan distributor material serta peralatan dan distributor peralatan
Baca juga: Mengenal Dua Jenis Penanaman Modal pada Perusahaan di Indonesia: PMDN dan PMA
Dampak Penurunan Modal Minimum bagi Perusahaan Asing
Adanya kebijakan penurunan modal minimum memberikan berbagai dampak, baik secara langsung maupun tidak langsung terhadap perusahaan asing, pemerintah, serta perekonomian nasional. Dampak tersebut dapat dikategorikan sebagai dampak positif, dampak negatif, serta dampak terhadap regulasi dan sistem perizinan.
Dampak positif terhadap penurunan besaran modal minimum PMA terdiri atas bertambahnya jumlah investor asing baru, mendukung pertumbuhan ekonomi digital dan UMKM, serta memperluas lapangan kerja dan alih teknologi. Dengan masuknya investor asing ke dalam negeri, maka akan menciptakan iklim kompetisi yang lebih sehat, sehingga relaksasi modal PMA tidak hanya sekedar untuk menarik investasi, tetapi juga memperkuat ekosistem usaha nasional yang lebih inklusif dan adaptif terhadap perubahan ekonomi digital.
Meskipun tindakan pemerintah dalam menurunkan modal minimum PMA cenderung memberikan dampak positif, akan tetapi terdapat dampak negatif yang tidak boleh diabaikan, seperti: munculnya perusahaan yang didirikan secara aktif namun tidak beroperasional secara aktif (shell company), meningkatkan persaingan tidak sehat bagi UMKM lokal, serta berisiko terjadi penyalahgunaan izin usaha.
Selain dampak positif dan dampak negatif, dampak lain yang dapat dirasakan adalah dampak terhadap regulasi dan sistem perizinan. Penurunan modal minimum bagi perusahaan asing mendorong pemerintah untuk melakukan penyesuaian terhadap sistem OSS, termasuk penguatan pendekatan perizinan berbasis risiko. Pada konteks tersebut, verifikasi modal tidak lagi cukup sebatas nilai nominal yang tercantum dalam akta pendirian, melainkan harus mempertimbangkan kesesuaian modal dengan aktivitas usaha yang dijalankan.
Sistem perizinan juga perlu mengakomodasi dinamika risiko setiap jenis usaha, sehingga izin dapat disesuaikan dengan perubahan kondisi usaha dan kebutuhan kegiatan operasional. Selain itu, pelaporan kegiatan penanaman modal wajib dilakukan secara berkala dan transparan agar pemerintah dapat memastikan kepatuhan serta perkembangan usaha PMA. Hal tersebut sejalan dengan arah kebijakan pemerintah dalam sebagaimana tercantum dalam PP 28/2025 yang secara tegas mengintegrasikan risk-based licensing ke dalam seluruh aspek perizinan berusaha.
Kemudahan investasi bagi investor asing dalam bentuk penurunan modal minimum terhadap PMA telah diberikan oleh pemerintah yang semula Rp10.000.000.000 dan kini diturunkan menjadi Rp2.500.000.000. Kebijakan tersebut sejalan dengan reformasi perizinan yang telah diatur dalam PP 28/2025 dan mendukung pertumbuhan sektor ekonomi prioritas. Meskipun terdapat berbagai manfaat positif, namun kebijakan tersebut tetap memberikan dampak negatif, salah satunya adalah berisiko melahirkan perusahaan pasif (shell company). Untuk itu, diperlukan pengawasan yang ketat, transparansi dalam pelaporan, serta kepatuhan regulatif yang kuat agar manfaat kebijakan dapat dioptimalkan. Hingga pada akhirnya, penurunan modal minimum PMA tidak hanya mempermudah masuknya investor asing, tetapi juga sebagai langkah strategis menuju transformasi struktur ekonomi Indonesia yang berbasis teknologi, inovasi, dan berdaya saing global.***
Baca juga: HKI sebagai Aset Bisnis dan Permodalan, Ini Panduan HKI bagi Pengusaha Startup
Daftar Hukum:
- Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2025 tentang Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis RIsiko (“PP 28/2025”)
- Peraturan Menteri Investasi dan Hilirisasi/’Badan Koordinasi Penanaman Modal Nomor 5 Tahun 2025 tentang Pedoman dan Tata Cara Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko dan Fasilitas Penanaman Modal Melalui Sistem Perizinan Berusaha Terintegrasi secara Elektronik (Online Single Submission) (“Peraturan BKPM 5/2025”).
Referensi:
- PMA Indonesia Turun Paling Tajam Lebih dari 5 Tahun. Trading Economics. (Diakses pada 14 November 2025 Pukul 10.12 WIB).
- Berbisnis di RI Ribet & Mahal, Pantas Kalah dari Vietnam & Malaysia. CNBC Indonesia. (Diakses pada 14 November 2025 Pukul 10.45 WIB).
- BKPM Umumkan Kabar Baik, Modal Minimal PT PMA Turun Drastis dari Rp10 Miliar ke Rp2,5 Miliar!. Kontrak Hukum. (Diakses pada 14 November 2025 Pukul 11.25 WIB).
- Biaya Tinggi Menghambat Minat Investasi Asing. InvestaLearning. (Diakses pada 14 November 2025 Pukul 13.08 WIB).
