Dalam menghadapi krisis iklim global, transisi menuju energi bersih bukan lagi pilihan, melainkan keharusan. Indonesia sebagai salah satu negara dengan tingkat emisi karbon yang terus meningkat secara signifikan, telah menetapkan target ambisius untuk mencapai net zero emission (NZE) pada tahun 2060. Di tengah upaya ini, carbon credit muncul sebagai instrumen pasar yang menjanjikan, memungkinkan pelaku usaha dan pemerintah untuk mengelola emisi secara efisien sambil mendorong investasi ke sektor energi terbarukan. 

Carbon credit tidak hanya sekadar alat pengurangan emisi, tetapi juga menjadi langkah dalam menciptakan ekosistem ekonomi hijau. Namun, efektivitas carbon credit tidak hanya tergantung pada desain teknisnya, tetapi juga kerangka regulasi, kepastian hukum, peran pemerintah atas mekanisme ini. Dengan regulasi yang tepat, carbon credit dapat berfungsi sebagai jembatan antara kebutuhan mitigasi iklim dan investasi nyata ke dalam proyek energi terbarukan, efisiensi energi, dan solusi rendah karbon lainnya. 

 

Apa Itu Carbon Credit dan Seperti Apa Perannya dalam Menunjang Transisi Energi?

 

Carbon credit adalah izin (sertifikat) yang memungkinkan pemiliknya untuk mengeluarkan sejumlah emisi karbon tertentu, biasanya setara dengan satu ton CO₂. Dalam sistem cap-and-trade, pemerintah menetapkan batas maksimal emisi (cap), lalu memberikan atau mengizinkan alokasi kredit emisi. Pelaku usaha yang menghasilkan emisi di bawah batas dapat menjual kelebihan kreditnya kepada pelaku usaha yang melebihi batas (trade). 

Jika suatu entitas berhasil mengurangi emisi di bawah batas yang ditetapkan, kelebihan tersebut dapat dijual sebagai kredit kepada pihak lain yang belum mencapai target pengurangan emisi. Mekanisme ini mendorong efisiensi dan inovasi dalam pengelolaan emisi. Cara kerjanya yakni perusahaan harus mengeluarkan dana untuk membeli kredit tambahan jika emisi karbon yang dihasilkan perusahaan melebihi batas. Di sisi lain, pihak perusahaan dapat menghasilkan uang dengan mengurangi emisi mereka dan menjual kelebihan kreditnya. 

Carbon credit berperan penting dalam mendukung transisi energi dengan memberikan insentif kepada perusahaan yang berinvestasi dalam teknologi rendah karbon, seperti energi surya, angin, dan efisiensi energi. Di Indonesia, perdagangan karbon resmi dimulai pada 20 Januari 2025, dengan peluncuran tiga proyek baru yang berfokus pada pengurangan emisi dan pengembangan ekonomi hijau. Hal ini menjadi langkah baru bagi Indonesia yang semakin serius dalam mengurangi emisi gas rumah kaca. 

Carbon credit memberi nilai ekonomi terhadap emisi karbon, sehingga aktivitas yang menghasilkan emisi mendapat “harga”, baik dalam bentuk kewajiban (jika melebihi batas) maupun peluan pendapatan (jika berhasil mengurangi lebih dari target). Dengan demikian, carbon credit menciptakan insentif finansial bagi perusahaan atau proyek untuk mengurangi emisi atau beralih ke teknologi rendah karbon. 

Sebagai contoh, perusahaan yang menghasilkan emisi tinggi (misalnya pembangkit listrik berbahan fosil atau industri) menghadapi risiko biaya tambahan apabila melewati batas emisi (cap). Dengan adanya carbon credit, mereka terdorong untuk melakukan peralihan ke teknologi yang menghasilkan lebih sedikit emisi agar tidak perlu membeli kredit mahal, atau bahkan dapat menjual kredit ke pihak lain jika efisiensi mereka lebih baik dari baseline.

 

Lalu, Apa Sebenarnya Tujuan Penerapan Carbon Credit untuk Lingkungan dan Sejauh Mana Peran Pemerintah?

 

Tujuan utama dari penerapan carbon credit adalah untuk menekan laju emisi karbon secara global, sejalan dengan komitmen Indonesia dalam Perjanjian Paris. Sistem ini memungkinkan negara dan perusahaan untuk berkontribusi dalam pengurangan emisi secara fleksibel dan berbasis pasar. Lebih lanjut, carbon credit memiliki beberapa tujuan penting untuk lingkungan, di antaranya:

  • Mengurangi emisi karbon

Carbon credit berperan dalam menekan emisi gas rumah kaca dengan cara memberikan nilai finansial pada setiap ton karbon yang dihasilkan. Mekanisme ini menciptakan tekanan ekonomi terhadap penggunaan bahan bakar beremisi tinggi, sekaligus mendorong adopsi sumber energi yang lebih ramah lingkungan.

  • Meningkatkan kesadaran dan tanggung jawab lingkungan

Penerapan kredit karbon turut berperan dalam membangun kesadaran kolektif mengenai urgensi pengurangan emisi dan pentingnya tanggung jawab lingkungan, baik di tingkat korporasi maupun masyarakat umum. Kebijakan ini mendorong perusahaan untuk mengambil langkah aktif dalam mengendalikan jejak karbon mereka serta berpartisipasi dalam inisiatif global untuk menanggulangi perubahan iklim.

  • Memberikan insentif finansial untuk pengurangan emisi

Menurut penjelasan di situs Climate Impact, kredit karbon dirancang untuk memberikan dorongan finansial kepada perusahaan agar mau berinvestasi dalam inisiatif pengurangan emisi. Melalui mekanisme perdagangan credit carbon, perusahaan memiliki peluang untuk menurunkan tingkat emisi mereka, sekaligus terdorong untuk mengadopsi teknologi dan metode operasional yang lebih ramah lingkungan.

  • Mendorong inovasi teknologi

Carbon credit turut mempercepat adopsi teknologi rendah emisi. Melalui mekanisme perdagangan karbon, tercipta insentif yang mendorong lahirnya inovasi dalam pengembangan teknologi yang lebih bersih dan berorientasi pada keberlanjutan. Proyek energi bersih yang terbukti menurunkan emisi dapat menghasilkan sertifikat pengurangan emisi (SPE-GRK) atau kredit karbon.

Sementara itu, pemerintah Indonesia memainkan peran sentral dalam membangun infrastruktur hukum dan kelembagaan untuk mendukung perdagangan karbon. Melalui Peraturan Presiden Nomor 98 Tahun 2021 tentang Nilai Ekonomi Karbon (Perpres 98/2021), pemerintah menetapkan kerangka kerja untuk penghitungan, pelaporan, dan verifikasi emisi, serta mekanisme perdagangan karbon. Peraturan ini diperkuat oleh Peraturan Presiden Nomor 110 Tahun 2025 tentang Penyelenggaraan Instrumen Nilai Ekonomi Karbon dan Pengendalian Emisi Gas Rumah Kaca Nasional (Perpres 110/2025) yang memberikan bentuk konkret pada sistem perdagangan karbon nasional. 

Dalam Pasal 2 ayat (1) Perpres 98/2021 dijelaskan bahwa:
“Peraturan Presiden ini dimaksudkan sebagai penyelenggaraan NEK dan sebagai pedoman pengurangan Emisi GRK melalui kebijakan, langkah, serta kegiatan untuk pencapaian target NDC dan mengendalikan Emisi GRK dalam pembangunan nasional.”

Tujuannya adalah untuk menjadi pedoman dalam upaya pengurangan emisi gas rumah kaca (GRK) melalui berbagai kebijakan, langkah, dan kegiatan strategis. Ketentuan ini juga mendukung pencapaian target kontribusi nasional (Nationally Determined Contribution atau NDC) serta memastikan pengendalian emisi GRK terintegrasi dalam agenda pembangunan nasional yang berkelanjutan.

Baca juga: Keuntungan Menggunakan Energi Hijau di Industri

 

Seperti Apa Dampak Ekonomi dan Energi dari Implementasi Carbon Credit?

 

Implementasi carbon credit membawa dampak signifikan terhadap sektor ekonomi dan energi. Dari sisi ekonomi, sistem ini menciptakan pasar baru yang potensial, menarik minat investor domestik maupun internasional. Nilai transaksi dalam bursa karbon dapat menjadi sumber pendapatan baru bagi negara dan pelaku usaha yang mampu mengurangi emisi secara efisien.

Menurut laporan Dunia Energi, sektor industri, transportasi, dan pembangkit listrik merupakan penyumbang emisi terbesar di Indonesia, masing-masing sebesar 37%, 27%, dan 27%. Dengan adanya carbon credit, sektor-sektor ini terdorong untuk melakukan efisiensi energi dan beralih ke sumber energi terbarukan. Hal ini tidak hanya menurunkan emisi, tetapi juga menekan biaya operasional dalam jangka panjang.

Dari sisi energi, carbon credit mempercepat adopsi Energi Baru Terbarukan (EBT). Proyek-proyek seperti pembangkit listrik tenaga surya, biomassa, dan mikrohidro menjadi lebih menarik secara finansial karena dapat menghasilkan kredit karbon yang bernilai jual. Selain itu, carbon credit juga mendorong inovasi dalam teknologi penyimpanan energi dan jaringan listrik pintar.

Namun, tantangan tetap ada. Harga karbon yang belum stabil, keterbatasan kapasitas verifikasi emisi, dan kurangnya kesadaran pelaku usaha menjadi hambatan dalam optimalisasi sistem ini. Oleh karena itu, diperlukan dukungan kebijakan yang konsisten, insentif fiskal, serta edukasi publik untuk memperkuat ekosistem perdagangan karbon di Indonesia.

Carbon credit bukan sekadar instrumen lingkungan, tetapi juga peluang investasi strategis dalam transisi energi. Dengan dukungan regulasi yang kuat, partisipasi aktif sektor swasta, dan kesadaran publik yang meningkat, Indonesia memiliki potensi besar untuk menjadi pemain utama dalam pasar karbon global.***

Baca juga: Pemanfaatan Energi Baru untuk Kendaraan Listrik di Indonesia Menuju Transisi Energi Berkelanjutan

 

Daftar Hukum:

  • Peraturan Presiden Nomor 98 Tahun 2021 tentang Nilai Ekonomi Karbon (Perpres 98/2021).
  • Peraturan Presiden Nomor 110 Tahun 2025 tentang Penyelenggaraan Instrumen Nilai Ekonomi Karbon dan Pengendalian Emisi Gas Rumah Kaca Nasional (Perpres 110/2025).

Referensi:

  • Mengenal Carbon Credit dan Peran Shell bagi Lingkungan. Shell. (Diakses pada 10 November 2025 pukul 08.30 WIB).
  • Apa Itu Carbon Credit? Ini Penjelasan dan Tujuan Penerapannya. Tirto. (Diakses pada 10 November 2025 pukul 08.45 WIB).
  • Indonesia Mulai Perdagangan Karbon, 3 Proyek Baru untuk Mengurangi Emisi dan Mendorong Ekonomi Hijau. Environment Indonesia. (Diakses pada 10 November 2025 pukul 09.00 WIB).
  • Sertifikasi Penurunan Emisi GRK (SPE). Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup RI. (Diakses pada 10 November 2025 pukul 09.10 WIB).
  • Dampak Karbon Kredit dan Pajak Karbon Terhadap Biaya Pemanfaatan Energi Baru Terbarukan. Dunia Energi. (Diakses pada 10 November 2025 pukul 09.10 WIB).