Transisi menuju energi bersih kini menjadi salah satu prioritas utama dalam kebijakan perubahan iklim global. Bagi Indonesia, negara dengan pertumbuhan energi dan kebutuhan infrastruktur yang besar, keberhasilan transisi energi tidak hanya bergantung pada kebijakan domestik, tetapi juga pada kemampuan menarik investasi, baik dari dalam negeri maupun dari luar negeri. Dalam hal ini, investasi asing dan skema pembiayaan hijau (green financing) memainkan peran penting untuk mempercepat pembangunan pembangkit energi terbarukan, memperkuat infrastruktur transmisi yang ramah lingkungan, dan memenuhi target iklim nasional seperti Net Zero Emission (NZE) pada tahun 2060.

Namun, agar pembiayaan hijau ini dapat mengalir secara efektif dan massal ke proyek energi bersih, dibutuhkan kerangka kebijakan, infrastruktur keuangan, regulasi yang jelas, serta mekanisme pemantauan dan insentif yang tepat. Oleh karena itu, SIP Law Firm akan menggali bagaimana investasi asing dan skema green financing telah digunakan di Indonesia, bagaimana perundangan mendukungnya, serta tantangan dan rekomendasi kebijakan ke depan agar efektivitas green investment meningkat secara signifikan.

 

Peran Investasi Asing sebagai Sumber Pembiayaan Proyek Energi Bersih

 

Indonesia menyimpan potensi energi terbarukan yang luar biasa besar, meliputi beragam sumber, seperti tenaga surya, angin, air, biomassa, hingga panas bumi. Berdasarkan data dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), total potensi energi terbarukan nasional mencapai lebih dari 3.600 gigawatt (GW), di mana tenaga surya menjadi kontributor terbesar dengan kapasitas potensial sekitar 3.295 GW. Besarnya potensi tersebut menempatkan Indonesia sebagai salah satu negara dengan prospek investasi energi bersih paling menjanjikan di Asia Tenggara.

Selain tenaga surya, potensi panas bumi di Indonesia juga sangat signifikan, diperkirakan mencapai sekitar 24 GW. Saat ini, kapasitas terpasang pembangkit listrik tenaga panas bumi baru sekitar 2,4 GW, menandakan masih luasnya ruang untuk pengembangan. Kondisi geologis Indonesia yang berada di jalur Ring of Fire menjadi faktor utama melimpahnya cadangan panas bumi, menjadikan Indonesia salah satu pemilik sumber daya panas bumi terbesar di dunia.

Investasi di sektor energi terbarukan tidak hanya berkontribusi pada pelestarian lingkungan, tetapi juga menawarkan peluang ekonomi yang menarik. Sejumlah kajian menunjukkan bahwa proyek energi terbarukan memiliki biaya operasional yang lebih efisien dibandingkan pembangkit berbasis fosil, sehingga memberikan prospek keuntungan jangka panjang yang kompetitif. Dengan meningkatnya kebutuhan listrik nasional dan komitmen pemerintah dalam mempercepat transisi energi bersih, sektor ini semakin menjadi magnet bagi investor lokal maupun internasional.

Investasi asing, baik berupa pinjaman, hibah internasional, maupun kerja sama pembiayaan dengan lembaga multilateral atau bilateral, memberikan kesempatan bagi Indonesia untuk menutupi gap pembiayaan iklim yang tidak dapat ditanggung hanya dari anggaran negara. Dilansir dari laman Indonesia.go.id, di tahun 2024 lalu, Indonesia telah menandatangani nota kesepahaman (MoU) antara PT PLN dan lembaga pembiayaan asal Jerman, Bank Kreditanstalt für Wiederaufbau (KfW), terkait Pendanaan Hijau senilai 1,2 miliar euro (atau sekitar Rp20,15 triliun).

Kolaborasi ini menunjukkan bagaimana modal asing dapat diarahkan ke proyek energi bersih, termasuk infrastruktur transmisi dan pembangkit ramah lingkungan, serta memperkuat kapasitas pembiayaan hijau nasional. Skema seperti ini pun memperkuat posisi Indonesia di internasional terhadap sumbangsih aksi iklim, sekaligus membantu meningkatkan kapasitas listrik berkelanjutan. 

Investasi asing dalam proyek energi bersih bisa membantu mempercepat realisasi target-target penambahan kapasitas energi terbarukan, penurunan emisi gas rumah kaca, atau modernisasi jaringan listrik. Dalam 15 tahun ke depan, Indonesia menargetkan peningkatan kapasitas pembangkit listrik energi terbarukan sebesar 75% (tujuh puluh persen) dari total tambahan kapasitas listrik (jumlah tambahan 100 GW). Melalui adanya pembiayaan asing, penyediaan dana dalam skala besar dapat menurunkan beban utang domestik, mempercepat implementasi baru, seperti pembangkit panas bumi atau tenaga air kecil, dan menyediakan akses ke teknologi, know-how, serta standar yang lebih baik. 

 

Lalu, Bagaimana Skema Green-Financing di dalam Negeri Dilakukan sebagai Instrumen Pendukung Transisi Energi?

 

Skema green-financing domestik di Indonesia dibangun sebagai gabungan instrumen pasar modal, perbankan, dan mekanisme publik-swasta yang saling melengkapi untuk mendanai proyek-proyek transisi energi. Pada sisi pasar modal, instrumen yang paling menonjol adalah green bond dan green sukuk, yaitu obligasi dan sukuk yang hasilnya dialokasikan untuk proyek berkelanjutan dan transisi energi, yang tata cara penerbitannya, serta persyaratannya kini diatur secara khusus oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) melalui Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 18 Tahun 2023 tentang Penerbitan dan Persyaratan Efek Bersifat Utang dan Sukuk Berlandaskan Keberlanjutan (POJK 18/2023).

POJK 18/2023 ini memperluas cakupan regulasi dari hanya “green bond” menjadi sebagai jenis efek berlandaskan keberlanjutan, termasuk green sukuk, sustainability bonds, dan sustainability-linked bonds, sehingga memberikan landasan hukum yang jelas bagi penerbitan instrumen pasar modal hijau di Indonesia. 

Di sektor perbankan dan lembaga jasa keuangan (LJK), green-financing diwujudkan dalam bentuk kredit hijau (green loans), fasilitas pembiayaan proyek berlabel hijau, pembiayaan untuk teknologi efisiensi energi, serta produk investasi hijau untuk investor ritel. Selain itu, OJK mengembangkan Taksonomi untuk Keuangan Berkelanjutan Indonesia (TKBI) sebagai instrumen klasifikasi teknis yang membantu bank dan investor menilai apakah aktivitas ekonomi atau proyek layak dikategorikan sebagai “hijau” atau “transisi”, sehingga penyaluran pembiayaan dapat lebih konsisten dan dapat dibandingkan secara nasional.

Hal-hal ini sejalan dengan langkah pemerintah yang gencar berambisi dan mewujudkan amanat menuju Net Zero Emission (NZE) pada tahun 2060 atau lebih cepat, sebagaimana tertuang dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2016 tentang Pengesahan Paris Agreement to the United Nations Framework Convention on Climate Change (UU 16/2016) yang menegaskan komitmen negara-negara anggota seperti Indonesia untuk berkontribusi terhadap pengurangan emisi gas rumah kaca, serta pembangunan berkelanjutan di tingkat nasional. 

Lebih lanjut, mandat ini diperkuat melalui Pasal 42 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH) bahwa:

  • Dalam rangka melestarikan fungsi lingkungan hidup, Pemerintah dan pemerintah daerah wajib mengembangkan dan menerapkan instrumen ekonomi lingkungan hidup.
  • Instrumen ekonomi lingkungan hidup sebagaimana pada ayat (1) meliputi:
  • Perencanaan pembangunan dan kegiatan ekonomi;
  • pendanaan lingkungan hidup; dan
  • insentif dan/atau disinsentif.

Dengan demikian, pengembangan skema green-financing di dalam negeri bukan sekadar inisiatif ekonomi, melainkan bentuk konkret pelaksanaan tanggung jawab hukum dan politik Indonesia dalam mencapai target penurunan emisi nasional sesuai Nationally Determined Contribution (NDC).

Baca juga: Pentingnya Kampanye EBT untuk Dorong Penggunaan Energi Bersih di Indonesia

 

Tantangan dan Arah Kebijakan untuk Meningkatkan Efektivitas Green Investment

 

Meskipun Indonesia telah menunjukkan kemajuan signifikan dalam membangun ekosistem pembiayaan hijau, efektivitas green investment masih menghadapi sejumlah tantangan struktural dan kebijakan. Tantangan utama terletak pada keterbatasan infrastruktur pendukung, kompleksitas regulasi lintas sektor, serta tingginya risiko investasi di tahap awal proyek energi bersih.

Banyak proyek energi terbarukan, seperti pembangkit listrik tenaga surya dan panas bumi, membutuhkan investasi awal yang besar dengan periode pengembalian modal jangka panjang. Hal ini menyebabkan lembaga keuangan domestik cenderung berhati-hati dalam menyalurkan pembiayaan, terutama karena belum adanya mekanisme mitigasi risiko yang kuat seperti credit guarantee atau asuransi risiko proyek berkelanjutan. Di sisi lain, proses perizinan dan kepastian hukum atas kepemilikan lahan sering kali menjadi kendala dalam implementasi proyek hijau, mengingat masih terdapat tumpang tindih kebijakan antara pemerintah pusat dan daerah.

Dari perspektif pasar keuangan, tantangan lain muncul dari kurangnya pemahaman dan kapasitas lembaga keuangan dalam menilai proyek berbasis lingkungan. Meski OJK telah memperkenalkan Taksonomi Keuangan Berkelanjutan Indonesia (TKBI), penerapannya masih terbatas pada sebagian kecil bank dan perusahaan pembiayaan yang memiliki sumber daya analisis keberlanjutan. 

Akibatnya, sebagian besar lembaga keuangan masih menggunakan pendekatan konvensional dalam analisis risiko kredit tanpa mempertimbangkan faktor lingkungan, sosial, dan tata kelola (environmental, social, and governance/ESG). Kurangnya standar pelaporan yang seragam juga menimbulkan risiko greenwashing, yaitu kondisi ketika proyek atau produk keuangan diklaim berkelanjutan tanpa bukti yang memadai. Situasi ini menghambat transparansi dan kepercayaan investor global yang berfokus pada portofolio hijau.

Dari sisi kebijakan, pemerintah telah mengupayakan berbagai langkah strategis untuk memperkuat efektivitas green investment. Salah satu arah kebijakan yang menonjol adalah pengembangan insentif fiskal dan non-fiskal untuk proyek hijau, seperti keringanan pajak, kemudahan impor teknologi energi bersih, dan pembebasan bea masuk untuk peralatan berteknologi rendah karbon. Ke depannya, arah kebijakan penguatan green investment perlu difokuskan pada tiga aspek utama: 

  1. harmonisasi regulasi lintas sektor agar proyek hijau memperoleh kepastian hukum dan prosedur perizinan yang lebih efisien; 
  2. peningkatan kapasitas lembaga keuangan dalam analisis ESG dan pengelolaan risiko proyek hijau; serta 
  3. penguatan transparansi dan pelaporan dampak untuk memastikan akuntabilitas penggunaan dana hijau. 

Pemerintah juga perlu memperluas kemitraan internasional dalam skema pembiayaan inovatif seperti Just Energy Transition Partnership (JETP), yang dapat menyediakan sumber pendanaan jangka panjang dengan biaya modal lebih rendah. Dengan pendekatan kebijakan yang menyeluruh dan berorientasi hasil, green investment tidak hanya akan mempercepat transisi energi bersih, tetapi juga memperkuat daya saing ekonomi hijau Indonesia di tingkat global.***

Baca juga: Peran Smart Grid dalam Transisi Energi Bersih

Daftar Hukum:

  • Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 18 Tahun 2023 tentang Penerbitan dan Persyaratan Efek Bersifat Utang dan Sukuk Berlandaskan Keberlanjutan (POJK 18/2023).
  • Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2016 tentang Pengesahan Paris Agreement to the United Nations Framework Convention on Climate Change (UU 16/2016).
  • Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH).

Referensi:

  • Percepat Transformasi Energi Bersih dengan Pendanaan Hijau. Indonesia.go.id. (Diakses pada 6 November 2025 pukul 11.02 WIB).
  • Bank Indonesia’s Role in Green Finance. Bank Indonesia. (Diakses pada 6 November 2025 pukul 11.15 WIB).
  • Buku Taksonomi untuk Keuangan Berkelanjutan Indonesia. OJK. (Diakses pada 6 November 2025 pukul 11.34 WIB).
  • Apa Itu Pembiayaan Hijau?. Lindungi Hutan. (Diakses pada 6 November 2025 pukul 11.47 WIB).
  • Perkuat Komitmen Percepatan Implementasi Just Energy Transition Partnership, Pemerintah Bentuk Satgas Transisi Energi dan Ekonomi Hijau. Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian RI. (Diakses pada 6 November 2025 pukul 11.44 WIB).