Transformasi menuju penggunaan energi terbarukan tidak hanya menjadi agenda penting dalam transisi energi nasional, tetapi juga membawa tantangan dalam aspek perlindungan konsumen. Dalam hal ini, konsumen listrik, khususnya yang menggunakan sumber energi bersih seperti tenaga surya, angin, bioenergi, dan sebagainya, membutuhkan jaminan perlindungan hukum yang kuat. Hak-hak konsumen harus dipastikan tetap terlindungi di tengah dinamika penyediaan energi yang semakin kompleks dan berteknologi tinggi. 

Konsumen berhak mendapatkan layanan listrik yang aman, berkualitas, dan sesuai dengan regulasi yang berlaku. Ketersediaan regulasi yang responsif, serta pengawasan yang efektif menjadi kunci dalam menjamin keadilan dan transparansi di sektor ini. Indonesia telah menetapkan berbagai regulasi untuk melindungi konsumen energi listrik, termasuk dari energi terbarukan. Meski begitu, terdapat sejumlah persoalan dalam regulasi sektor energi, salah satunya RUU Energi Terbarukan yang tak kunjung disahkan. Padahal, pengembangan EBT harus masif dengan tetap menjaga hak-hak masyarakat.

Perlindungan Hukum Konsumen Listrik Energi Terbarukan

Perlindungan konsumen dalam sektor kelistrikan merupakan bagian dari tanggung jawab negara untuk memastikan keadilan sosial dalam pelayanan publik. Dalam energi terbarukan, hal ini menjadi semakin penting karena teknologi yang digunakan cenderung masih baru, dengan potensi celah dalam aspek kualitas, harga, dan transparansi penyedia jasa. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan (“UU 30/2009”) mengatur secara jelas tentang hak dan kewajiban konsumen maupun penyedia listrik. 

Sementara itu, Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 5 Tahun 2025 tentang Pedoman Perjanjian Jual Beli Tenaga Listrik dari Pembangkit Tenaga Listrik yang Memanfaatkan Sumber Energi Terbarukan (“Permen ESDM 5/2025”) hadir sebagai pembaruan regulasi yang lebih teknis, termasuk aturan khusus bagi penyedia dan konsumen energi listrik dari sumber terbarukan.

Peraturan ini memperjelas standar pelayanan minimum yang harus diberikan oleh penyedia listrik, termasuk dari Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Atap maupun sistem hybrid di wilayah-wilayah terpencil. Konsumen dijamin mendapatkan akses atas informasi transparan terkait harga, sistem pengukuran (metering), dan mekanisme komplain. Regulasi ini juga memuat ketentuan soal tanggung jawab penyedia energi untuk menjaga keberlangsungan pasokan listrik dan kompensasi atas gangguan layanan. Payung hukum ini penting, mengingat meningkatnya partisipasi masyarakat dalam membangun sistem listrik mandiri berbasis energi baru dan terbarukan.

Hak Konsumen dan Tantangan dalam Implementasi

Hak konsumen untuk mendapatkan pelayanan kelistrikan dilindungi oleh Undang-Undang, salah satunya melalui UU 30/2009. Selain hak atas pelayanan yang baik, sebagaimana tercantum dalam Pasal 29 ayat (1) huruf a hingga e UU 30/2009, konsumen juga memiliki hak lain, di antaranya konsumen berhak untuk:

  1. Mendapatkan pelayanan yang baik;
  2. Mendapatkan tenaga listrik secara terus-menerus dengan mutu dan keandalan yang baik;
  3. Memperoleh tenaga listrik yang menjadi haknya dengan harga yang wajar;
  4. Mendapat pelayanan untuk perbaikan apabila ada gangguan tenaga listrik; dan
  5. Mendapat ganti rugi apabila terjadi pemadaman yang diakibatkan kesalahan dan/atau kelalaian pengoperasian oleh pemegang izin usaha penyediaan tenaga listrik sesuai syarat yang diatur dalam perjanjian jual beli tenaga listrik. 

Namun dalam praktiknya, masih terdapat berbagai tantangan dalam implementasi regulasi ini yang membuat hak-hak konsumen di lapangan tidak selalu berjalan mulus. Beberapa tantangan yang dihadapi antara lain:

  1. Kurangnya Transparansi Tarif: Konsumen sering kali tidak mendapatkan informasi yang jelas mengenai struktur tarif listrik dari sumber energi terbarukan. 
  2. Gangguan Pasokan Listrik: Beberapa wilayah masih mengalami gangguan listrik yang berdampak pada kenyamanan dan produktivitas masyarakat.
  3. Minimnya Edukasi Konsumen: Banyak konsumen yang belum memahami hak-hak mereka dalam mendapatkan layanan listrik yang berkualitas.

Khusus dalam konteks energi terbarukan, tantangan tersebut semakin kompleks karena penyedia layanan tidak hanya berasal dari BUMN seperti PLN, melainkan juga dari swasta, koperasi, hingga komunitas lokal. Ini menimbulkan kebutuhan akan regulasi yang lebih adaptif serta lembaga mediasi yang mampu melindungi kepentingan konsumen. Untuk mengatasi tantangan ini, pemerintah terus melakukan sosialisasi dan peningkatan regulasi guna memastikan perlindungan konsumen listrik berjalan efektif.

Peran Alperklinas dalam Perlindungan Konsumen Listrik di Indonesia

Salah satu lembaga yang memiliki peran penting dalam perlindungan konsumen listrik di Indonesia adalah Alperklinas atau Aliansi Perlindungan Konsumen Listrik Nasional. Lembaga ini bertindak sebagai jembatan antara konsumen dan penyedia layanan listrik dengan misi utama untuk memperjuangkan hak-hak konsumen, serta memastikan agar setiap aduan mendapatkan respons yang cepat dan solutif. Alperklinas memiliki tiga fungsi utama:

  1. Advokasi: Memberikan bantuan hukum kepada konsumen yang mengalami kerugian akibat kelalaian penyedia listrik, termasuk dari sektor energi terbarukan.
  2. Mediasi: Menjadi perantara antara konsumen dan penyedia listrik dalam menyelesaikan sengketa layanan.
  3. Edukasi: Menyebarkan informasi mengenai hak dan kewajiban konsumen, serta perkembangan teknologi dan regulasi kelistrikan.

Dalam beberapa tahun terakhir, Alperklinas juga telah berperan aktif dalam menyuarakan keadilan bagi pengguna PLTS Atap yang mengalami kesulitan teknis maupun administratif, terutama dalam pengurusan perizinan dan net-metering dengan PLN. Mereka juga bekerja sama dengan Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM) untuk memperluas jaringan pengaduan.

Namun, tantangan masih ada. Keterbatasan sumber daya dan wewenang formal Alperklinas sebagai lembaga non-pemerintah membatasi efektivitasnya. Oleh karena itu, diperlukan dukungan regulasi yang lebih tegas agar rekomendasi dari Alperklinas dapat memiliki daya ikat terhadap penyedia listrik. Menghadapi perkembangan energi terbarukan yang pesat, perlindungan hukum terhadap konsumen juga harus diperbarui. Hal ini tidak hanya menyangkut aspek teknis seperti pengukuran dan tarif, tetapi juga aspek keadilan dalam akses dan informasi.

Perlindungan konsumen energi terbarukan merupakan bagian tak terpisahkan dari agenda transisi energi yang berkeadilan. Pemerintah juga harus memastikan bahwa program transisi energi tidak hanya fokus pada sisi pasokan, tetapi juga pada perlindungan pengguna akhir, terutama masyarakat kecil yang mulai mengadopsi teknologi energi bersih untuk kebutuhan rumah tangga.***

Daftar Hukum:

Referensi: