Fenomena street photography atau fotografi jalanan telah menjadi bagian dari ekspresi seni visual yang tengah populer di kalangan fotografer, baik profesional maupun amatir. Aktivitas ini biasanya dilakukan di ruang publik, seperti di area olahraga, taman kota, atau pun trotoar, dengan mengabadikan momen-momen spontan yang mencerminkan dinamika kehidupan masyarakat. Namun, sering meningkatnya kesadaran akan hak privasi dan perlindungan data pribadi, praktik ini mulai menuai polemik hukum dan etika.
Di Indonesia, perdebatan mengenai legalitas memotret seseorang tanpa izin di ruang publik semakin mengemuka, terutama setelah munculnya kasus-kasus di mana foto masyarakat yang sedang berolahraga diunggah di media sosial, di situs AI, atau bahkan diperjualbelikan tanpa sepengetahuan mereka. Hal ini menimbulkan pertanyaan penting dan mendasar terkait sejauh mana fotografer jalanan memiliki kebebasan berkarya, dan di mana batasan hukum, serta etika yang harus mereka patuhi?
Polemik Street Photography dalam Tinjauan Data Pribadi
Kegiatan street photography atau fotografi jalanan oleh sejumlah fotografer di ruang publik seperti saat Car Free Day (CFD) kini menjadi tren tersendiri di kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung, dan Surabaya. Setiap akhir pekan, CFD menjadi ruang publik yang ramai oleh warga yang berolahraga, bersepeda, atau sekadar berjalan santai. Banyak fotografer memanfaatkan momen ini untuk mengabadikan ekspresi spontan manusia yang tengah berolahraga di dinamika perkotaan.
Namun, di tengah antusiasme fotografer tersebut, muncul polemik ketika sejumlah masyarakat merasa keberatan karena wajah mereka dipotret tanpa izin, kemudian diunggah ke media sosial atau dijadikan portofolio pribadi fotografer. Kasus ini sempat ramai di media sosial dan menuai beragam reaksi dari masyarakat. Menanggapi hal ini, Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) merespons dengan mengingatkan bahwa pengambilan gambar di ruang publik wajib tunduk dalam ketentuan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi (“UU PDP”).
“Foto seseorang, terutama yang menampilkan wajah atau ciri khas individu, termasuk kategori data pribadi karena dapat digunakan untuk mengidentifikasi seseorang secara spesifik. Foto yang menampilkan wajah seseorang termasuk data pribadi dan tidak boleh disebarkan tanpa izin,” ujar Direktur Jenderal Pengawasan Ruang Digital Kementerian Komdigi.
Salah satu kesalahpahaman umum di kalangan fotografer adalah asumsi bahwa ruang publik berarti bebas difoto. Padahal, meski seseorang berada di tempat umum seperti area olahraga dan CFD, hak atas pribadi dan data pribadinya tetap melekat. UU PDP mendefinisikan data pribadi sebagai, “data tentang orang perseorangan yang teridentifikasi atau dapat diidentifikasi secara tersendiri atau dikombinasi dengan informasi lainnya baik secara langsung maupun tidak langsung melalui sistem elektronik atau nonelektronik.”
Potret gambar wajah seseorang termasuk ke dalam data biometrik atau salah satu data pribadi yang bersifat spesifik, sebagaimana dalam penjelasan Pasal 4 ayat (2) huruf b UU PDP. Artinya, foto yang menampilkan wajah, ciri fisik, atau identitas khusus seseorang termasuk ke dalam data pribadi. Jika foto tersebut disebarluaskan, dipublikasikan di media sosial, atau digunakan untuk tujuan tertentu tanpa izin, maka terdapat risiko pelanggaran terhadap hak subjek data pribadi.
Dalam hal ini, jika foto-foto hasil karya street photographer tersebut diunggah ke platform publik, seperti Instagram, situs komunitas, dicetak, dimasukkan dalam kampanye promosi, atau pun dijadikan komoditas berbayar tanpa konfirmasi langsung kepada subjek dan tanpa izin dari subjek, maka fotografer tersebut dapat dianggap melanggar Pasal 65 ayat (1) yang berbunyi:
“Setiap Orang dilarang secara melawan hukum memperoleh atau mengumpulkan Data Pribadi yang bukan miliknya dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain yang dapat mengakibatkan kerugian Subjek Data Pribadi.”
Aspek Hukum Hak Cipta dan Kepemilikan Karya Fotografi
Dalam perspektif hukum kekayaan intelektual, fotografer adalah pemegang hak cipta atas karya yang dihasilkannya. Hal ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta (“UU HC”). Pasal 40 ayat (1) huruf k menyebutkan bahwa karya fotografi termasuk dalam kategori ciptaan yang dilindungi.
Namun, meskipun fotografer memiliki hak eksklusif atas hasil jepretannya tersebut, penggunaan foto yang menampilkan wajah seseorang tetap memerlukan izin dari subjek foto yang dipotret, terutama jika foto tersebut akan dipublikasikan atau digunakan untuk kepentingan komersial. Hal ini secara tegas diatur dalam Pasal 12 ayat (1) dan (2) UU HC yang berbunyi:
- Setiap Orang dilarang melakukan Penggunaan Secara Komersial, Penggandaan, Pengumuman, Pendistribusian, dan/atau Komunikasi atas Potret yang dibuatnya guna kepentingan reklame atau periklanan secara komersial tanpa persetujuan tertulis dari orang yang dipotret atau ahli warisnya;
- Penggunaan Secara Komersial, Penggandaan, Pengumuman, Pendistribusian, dan/atau Komunikasi Potret sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang memuat Potret 2 (dua) orang atau lebih, wajib meminta persetujuan dari orang yang ada dalam Potret atau ahli warisnya.
Menurut Klinik HukumOnline, meskipun fotografer adalah pencipta karya, ia tetap wajib meminta persetujuan dari orang yang ada dalam foto sebelum menggunakan gambar tersebut untuk promosi atau publikasi. Jika tidak, subjek foto dapat menuntut atas dasar pelanggaran hak atas identitas dan privasi.
Dengan demikian, fotografer jalanan tidak bisa serta-merta mengklaim kebebasan berekspresi sebagai pembenaran untuk menyebarluaskan foto orang lain tanpa izin. Hak cipta atas karya fotografi tidak mengesampingkan hak individu atas citra dirinya.
Baca juga: Mengapa Startup Harus Memiliki Perlindungan Lewat Legalitas dan HKI? Ini Manfaatnya!
Batasan Etika dan Tanggung Jawab Fotografer di Ruang Publik
Selain aspek hukum, praktik street photography juga harus mempertimbangkan dimensi etika. Fotografi di ruang publik memang tidak dilarang, namun tetap harus menjunjung tinggi nilai-nilai kesopanan, empati, dan penghormatan terhadap privasi orang lain.
Menurut Dr. Fajar Junaedi, dosen Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta dilansir dari Suara Muhammadiyah, fotografer memiliki tanggung jawab moral untuk tidak mengeksploitasi subjek foto, terutama jika menyangkut kelompok rentan seperti anak-anak, perempuan, atau lansia. Ia menekankan pentingnya membangun kesadaran etis dalam praktik fotografi, termasuk dengan meminta izin secara langsung atau menyamarkan identitas subjek jika diperlukan.
Kementerian Komdigi juga mengingatkan bahwa di banyak negara maju, pengambilan foto seseorang di ruang publik tanpa izin dapat dianggap sebagai pelanggaran etika, bahkan hukum. Oleh karena itu, fotografer di Indonesia diimbau untuk menyesuaikan praktik mereka dengan standar etika global, terutama dalam era digital yang memungkinkan penyebaran gambar secara masif dan instan.
Etika juga mencakup transparansi dalam penggunaan foto. Jika seorang fotografer berniat menggunakan hasil jepretan untuk pameran, publikasi, atau penjualan, maka sebaiknya ia menginformasikan hal tersebut kepada subjek foto dan meminta persetujuan tertulis. Hal ini tidak hanya melindungi fotografer dari potensi gugatan, tetapi juga menunjukkan penghargaan terhadap hak individu.
Street photography adalah bentuk seni yang memiliki nilai estetika dan dokumentasi sosial yang tinggi. Namun, dalam praktiknya, fotografer harus memahami bahwa ruang publik bukanlah ruang bebas hukum. Perlindungan data pribadi, hak atas identitas, serta etika publik menjadi batasan yang tidak boleh diabaikan.
Dengan memahami kerangka hukum dan etika yang berlaku, fotografer dapat tetap berkarya tanpa melanggar hak orang lain. Edukasi dan kesadaran kolektif menjadi kunci agar praktik fotografi jalanan di Indonesia dapat berkembang secara sehat, adil, dan bertanggung jawab.***
Baca juga: HKI sebagai Aset Bisnis dan Permodalan, Ini Panduan HKI bagi Pengusaha Startup
Daftar Hukum:
- Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Pelindungan Data Pribadi (“UU PDP”).
- Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta (“UU HC”).
Referensi:
- Polemik Fotografi Jalanan Saat Berolahraga, Ingat Ada Aturannya. IDN Times. (Diakses pada 3 November 2025 pukul 14.15 WIB).
- Komdigi Ingatkan Fotografer Motret Warga di Ruang Publik Harus Patuhi UU PDP. detik.com. (Diakses pada 3 November 2025 pukul 14.25 WIB).
- Hukum Menggunakan Foto Orang. HukumOnline. (Diakses pada 3 November 2025 pukul 14.45 WIB).
- Menjaga Etika Fotografi di Ruang Publik, Antara Kebebasan dan Privasi. Suara Muhammadiyah. (Diakses pada 3 November 2025 pukul 14.49 WIB).
- Komdigi Ingatkan Pengambilan Foto di Ruang Publik Utamakan Etika. Antara News. (Diakses pada 3 November 2025 pukul 14.50 WIB).
