Memenuhi kebutuhan nutrisi tidak hanya berasal dari makanan ataupun minuman yang dikonsumsi, melainkan juga dapat berasal dari suplemen kesehatan. Meningkatnya kesadaran masyarakat terhadap kesehatan mampu mendorong permintaan terhadap produk suplemen, termasuk suplemen probiotik.
Demi menjamin suplemen probiotik yang beredar di pasaran adalah produk yang aman, berkhasiat, dan sesuai dengan standar yang telah ditetapkan, Badan Pengawas Obat dan Makanan telah menerbitkan regulasi baru, yakni Peraturan Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor 17 Tahun 2025 tentang Pedoman Penilaian Produk Suplemen Kesehatan Mengandung Probiotik. Melalui PerBPOM 17/2025, diharapkan dapat menjadi pedoman dan acuan bagi pelaku usaha industri suplemen, regulator kesehatan, serta praktisi hukum kesehatan.
Pokok Regulasi
Sejak 23 Juni 2025, Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (Kepala BPOM) telah menetapkan Peraturan Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor 17 Tahun 2025 tentang Pedoman Penilaian Produk Suplemen Kesehatan Mengandung Probiotik (“PerBPOM 17/2025”) yang merupakan regulasi baru pengganti aturan sebelumnya, yakni Peraturan Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor 17 Tahun 2021 tentang Pedoman Penilaian Produk Suplemen Kesehatan Mengandung Probiotik (“PerBPOM 17/2021”).
Adapun tujuan dari dibentuknya PerBPOM 17/2025 adalah untuk memastikan bahwa penggunaan probiotik pada suplemen kesehatan tidak menimbulkan risiko terhadap kesehatan, sesuai dengan standar dan persyaratan keamanan, kemanfaatan, serta mutu. Pada Pasal 1 angka 1 telah menjelaskan terkait definisi suplemen kesehatan, yakni sebagai berikut:
“Suplemen kesehatan adalah bahan atau sediaan yang dimaksudkan untuk melengkapi kebutuhan zat gizi, memelihara, meningkatkan dan/atau memperbaiki fungsi kesehatan, mempunyai nilai gizi dan/atau efek fisiologis, mengandung satu atau lebih bahan berupa vitamin, mineral, asam amino dan/atau bahan lain bukan tumbuhan yang dapat dikombinasi dengan tumbuhan”.
Kemudian, dalam Pasal 1 angka 2 PerBPOM 17/2025 pun telah menjabarkan bahwa yang dimaksud dengan probiotik adalah mikroorganisme hidup yang apabila dikonsumsi sesuai batas yang ditetapkan mampu memberikan manfaat dalam bentuk kesehatan tubuh bagi konsumen.
Berkaitan dengan fungsi dan tujuan dari pembentukan peraturan perundang-undangan ini, dalam Pasal 2 PerBPOM 17/2025 telah diatur bahwa:
“Pedoman penilaian produk suplemen kesehatan mengandung probiotik merupakan acuan bagi:
- Pelaku usaha pada saat melakukan pembuatan suplemen kesehatan mengandung probiotik dalam rangka registrasi ; dan/atau
- BPOM dalam melakukan penilaian suplemen kesehatan mengandung probiotik dalam rangka registrasi.”
Berdasarkan ketentuan pada Pasal 2 PerBPOM 17/2025, maka dapat diketahui bahwa regulasi ini tidak hanya memberikan pedoman bagi pelaku usaha dalam memformulasikan dan mengajukan produk ke BPOM, melainkan juga dapat dijadikan sebagai dasar hukum bagi BPOM dalam menilai keamanan, standar mutu, serta klaim manfaat produk sebelum produk tersebut dapat beredar di Indonesia.
Lebih lanjut, pedoman penilaian suplemen probiotik ini memuat beberapa aturan, seperti alur pengkategorian produk probiotik, alur skema prinsip pengkajian strain probiotik baru dan penilaian produk suplemen kesehatan mengandung probiotik, permohonan pengkajian strain probiotik baru dan/atau kombinasi probiotik baru dengan klaim manfaat membantu memelihara kesehatan pencernaan, serta prosedur teknis pengkajian produk suplemen kesehatan mengandung probiotik sebagaimana telah diatur dalam Pasal 3 PerBPOM 17/2025.
Pada intinya, PerBPOM 17/2025 mewajibkan bagi pelaku usaha yang akan memproduksi, mengimpor, atau mengedarkan suplemen kesehatan berbasis probiotik untuk memenuhi standar teknis yang lebih ketat sebagai bentuk kepatuhan industri dalam menjalankan bisnis dan guna menghindari pelanggaran yang memicu konsekuensi hukum.
Kepatuhan industri
Ditinjau dari sudut pandang pelaku usaha industri suplemen probiotik, kepatuhan terhadap PerBPOM 17/2025 merupakan suatu kewajiban dalam mengoperasikan bisnisnya, terutama agar produk dapat memperoleh izin edar dan terbebas dari hambatan hukum yang disebabkan oleh regulasi. Adapun beberapa hal yang perlu diperhatikan adalah sebagai berikut:
- Pelaku usaha harus mengkategorikan produk, seperti apakah produk termasuk kategori obat, suplemen kesehatan, atau pangan olahan
- Apabila pelaku usaha menggunakan strain mikroorganisme yang belum pernah digunakan atau kombinasi baru, maka harus mengajukan pengkajian strain baru atau kombinasi baru kepada BPOM
- Menyiapkan berbagai dokumen, meliputi: data identifikasi strain, data keamanan, data kemanfaatan, data mutu produk, serta persyaratan penandaan
- Dalam hal penandaan produk, klaim manfaat, jumlah mikroorganisme dalam sediaan, cara penyimpanan dan penyajian, serta penyimpangan dari regulasi harus dipastikan telah sesuai standar agar tidak masuk ke dalam kategori pelanggaran
- Pelaku usaha perlu memperhatikan regulasi lain yang berkaitan dengan suplemen kesehatan, seperti Peraturan Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor 10 Tahun 2024 tentang Penandaan Obat Bahan Alam, Obat Kuasi, dan Suplemen Kesehatan (“PerBPOM 10/2024”)
- Pada pelaksanaannya, regulasi ini memerlukan kesiapan internal perusahaan, seperti: sistem manajemen mutu, laboratorium untuk menguji mikroorganisme, dokumentasi uji klinik, serta monitoring pasca edar apabila diperlukan
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa pelaku usaha industri suplemen probiotik tidak boleh hanya mengandalkan pemasaran datau klaim manfaat tanpa disertai dengan bukti. Hal ini tentu harus dilaksanakan sebagai bentuk antisipasi agar perusahaan tidak tersandung risiko hukum, bahkan sanksi hukum yang berlaku.
Baca juga: Potensi dan Tantangan Fitofarmaka: Jalan Menuju Kemandirian Obat Berbasis Alam
Konsekuensi Hukum
Apabila pelaku usaha industri suplemen probiotik terbukti melakukan pelanggaran terhadap regulasi yang berlaku di Indonesia, maka sudah dapat dipastikan bahwa perusahaan tersebut akan dikenakan sanksi yang bersifat komprehensif, yakni:
- Perspektif Regulasi Administratif
Jika produk suplemen probiotik yang diedarkan oleh pelaku usaha industri suplemen probiotik tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan, maka akan dikenakan sanksi administratif mulai dari peringatan hingga pengumuman terkait pembatalan/pencabutan nomor izin edar kepada publik sebagaimana tercantum dalam Pasal 41 ayat (2) PerBPOM 10/2024.
- Perspektif Perlindungan Konsumen
Jika pelaku usaha industri suplemen probiotik menawarkan, mempromosikan, mengiklankan produk secara tidak benar atau bahkan menyesatkan konsumen, maka akan diberlakukan sanksi berupa pidana penjara maksimal 5 tahun atau denda maksimal Rp 2 miliar rupiah sebagaimana diatur dalam Pasal 62 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (“UU PK”).
- Perspektif Pidana
Ketika suplemen probiotik yang diedarkan oleh pelaku usaha industri suplemen probiotik tidak mengantongi izin edar dan termasuk ke dalam produk yang mengandung risiko menengah atau tinggi, maka akan dijatuhkan pidana penjara paling lama 2 tahun atau denda paling banyak Rp4 miliar rupiah sesuai dengan ketentuan Pasal 64 ayat (21) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang (“UU Ciptaker”) sebagaimana mengubah ketentuan Pasal 142 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan (“UU Pangan”).
- Perspektif Reputasi dan Kepercayaan Masyarakat
Pelanggaran regulasi suplemen probiotik berisiko menimbulkan sanksi perdata dalam bentuk tuntutan ganti rugi dari konsumen yang dirugikan. Hal ini pun sebagaimana telah ditetapkan dalam Pasal 19 UU PK yang mengharuskan pelaku usaha untuk bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan/atau kerugian konsumen lainnya akibat mengkonsumsi produk yang dihasilkan. Ketika pelanggaran telah terjadi berulang atau bahkan mengakibatkan kerugian masal, maka akan menghilangkan kepercayaan masyarakat dan tentu berpotensi merugikan citra perusahaan.
Dengan diterbitkannya PerBPOM 17/2025, BPOM memberikan kerangka regulasi yang lebih jelas dan komprehensif secara teknis bagi pelaku usaha dan regulator untuk menilai produk suplemen berbasis probiotik secara lebih terstandar. Melalui regulasi tersebut, dapat diketahui bahwa kepatuhan industri menjadi kunci utama dalam memastikan bahwa produk yang beredar tidak hanya memberikan klaim yang menarik, namun terbukti secara ilmiah, memenuhi standar mutu, aman, dan bermanfaat. Apabila pelaku usaha industri suplemen probiotik terbukti melanggar ketentuan peraturan, maka perusahaan tersebut harus bersiap-siap menanggung konsekuensi hukumnya. Oleh karena itu, penting sekali bagi pelaku usaha industri suplemen probiotik untuk menempatkan kepatuhan regulasi sebagai prioritas utama guna terhindar dari sanksi hukum.***
Baca juga: Precision Medicine: Masa Depan Pengobatan yang Lebih Personal dan Efektif di Indonesia
Daftar Hukum:
- Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang (“UU Ciptaker”)
- Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan (“UU Pangan”).
- Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (“UU PK”).
- Peraturan Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor 17 Tahun 2025 tentang Pedoman Obat dan Makanan Nomor 17 Tahun 2025 tentang Peedoman Penilaian Produk Suplemen Kesehatan Mengandung Probiotik (“PerBPOM 17/2025”)
- Peraturan Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor 17 Tahun 2021 tentang Pedoman Penilaian Produk Suplemen Kesehatan Mengandung Probiotik (“PerBPOM 17/2021”).
Referensi:
- Tanpa Izin Edar? Siap-siap Hadapi Sanksi Mengerikan Ini!. Kontrak Hukum. (Diakses pada 25 Oktober 2025 Pukul 10.25 WIB).
