Perkembangan teknologi kecerdasan buatan (Artificial Intelligence/AI) telah membawa perubahan besar dalam berbagai aspek kehidupan. Mulai dari industri, keuangan, kesehatan, hingga layanan publik, namun di balik kemajuan tersebut, muncul perdebatan serius mengenai implikasi hukum, khususnya dalam ranah hukum pidana. Pertanyaan mendasar yang sering muncul ialah ketika AI melakukan suatu tindakan yang menimbulkan kerugian atau kejahatan, siapa yang seharusnya bertanggung jawab?
Pertanyaan tersebut penting karena hukum pidana mensyaratkan adanya subjek hukum yang dapat dimintai pertanggungjawaban, sementara AI hingga saat ini dianggap sebagai entitas non-hukum. Di Indonesia, sistem hukum pidana belum secara eksplisit mengatur tentang pertanggungjawaban pidana atas tindakan AI. Ketika AI melakukan kesalahan atau menyebabkan kerugian, tidak mudah menentukan siapa yang harus bertanggung jawab secara hukum. Oleh karena itu, diperlukan analisis mendalam mengenai bagaimana hukum pidana di Indonesia memandang AI, bagaimana peran peraturan perundang-undangan yang ada, serta bagaimana tantangan regulasi di era digital seperti saat ini.
AI Bukan Subjek Hukum dalam Hukum Pidana Indonesia
Dalam sistem hukum pidana Indonesia, subjek hukum yang dapat dimintai pertanggungjawaban pidana terbatas pada manusia dan badan hukum. Artificial Intelligence (AI) meskipun mampu melakukan tindakan secara mandiri dan menyerupai kecerdasan manusia, namun belum diakui sebagai subjek hukum yang memiliki kapasitas untuk bertanggung jawab secara pidana. Hal ini menimbulkan dilema ketika AI melakukan tindakan yang menimbulkan kerugian atau pelanggaran hukum.
Secara konseptual, subjek hukum pidana adalah entitas yang memiliki kemampuan untuk bertindak secara hukum dan dapat dikenai sanksi pidana atas perbuatannya. Saat ini, AI secara umum dipandang sebagai objek hukum, bukan subjek hukum. Hal ini dikarenakan AI merupakan alat atau perangkat yang digunakan oleh manusia untuk mencapai tujuan tertentu.
Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”) termaktub bahwa, “Ketentuan pidana dalam Undang-Undang berlaku bagi Setiap Orang yang berada di dalam maupun di luar wilayah NKRI.” Frasa “setiap orang” dalam Undang-Undang tersebut merujuk pada manusia sebagai individu atau pun korporasi sebagai badan hukum, sedangkan AI tidak memiliki status sebagai individu maupun badan hukum. Oleh karena itu, pengkategorian AI sebagai subjek hukum pidana menjadi tidak tepat dalam kerangka hukum positif di Indonesia.
Walaupun AI dapat melakukan tindakan yang berdampak hukum, tetapi tetap dikategorikan sebagai objek hukum. Pandangan ini diperkuat oleh analisis Mahkamah Agung dalam artikel berjudul “Menakar Pertanggungjawaban Artificial Intelligence dalam Tata Hukum Indonesia” yang menyatakan bahwa AI belum memiliki status sebagai subjek hukum dalam sistem hukum Indonesia, baik secara pidana maupun perdata. AI tidak memiliki kehendak bebas, tidak dapat dimintai pertanggungjawaban secara moral, dan tidak memiliki hak serta kewajiban hukum sebagaimana manusia atau badan hukum.
Akan tetapi, meski bukan merupakan subjek hukum pidana dalam KUHP, konstruksi hukum lain memberikan gambaran bagaimana kedudukan AI dapat dianalogikan. Dua instrumen hukum penting yang relevan adalah KUHPerdata dan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
Baca juga: Mendorong Efisiensi Pelayanan Publik Indonesia Melalui Penggunaan AI di Pemerintahan
Posisi AI dalam KUHPerdata dan UU ITE
Pada hukum perdata, khususnya dalam aturan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUHPerdata”), terdapat konsep pertanggungjawaban atas tindakan pekerja yang dapat digunakan untuk memahami posisi AI. Pasal 1367 KUHPerdata menyatakan:
“Majikan dan orang yang mengangkat orang lain untuk mewakili urusan-urusan mereka, bertanggung jawab tentang kerugian yang disebabkan oleh pelayan atau bawahan mereka dalam melakukan pekerjaan yang ditugaskan kepada orang-orang itu.”
Jika AI diposisikan sebagai “pekerja” dalam hubungan kerja, maka pihak yang mempekerjakan atau menggunakan AI dapat dimintai pertanggungjawaban atas tindakan AI. Dalam hal ini, AI dianggap sebagai alat kerja yang menjalankan tugas atas perintah atau dalam lingkup pekerjaan yang ditentukan oleh majikan.
Konsep ini relevan dalam konteks penggunaan AI oleh perusahaan, lembaga pemerintah, atau individu dalam menjalankan fungsi tertentu. Misalnya, jika sebuah firma hukum menggunakan AI untuk memberikan nasihat hukum dan AI tersebut memberikan informasi yang salah sehingga merugikan klien, maka firma hukum tersebut dapat dimintai pertanggungjawaban atas kerugian yang timbul.
Namun, pendekatan ini juga memiliki keterbatasan. KUHPerdata mengasumsikan bahwa pekerja adalah manusia yang memiliki kehendak dan dapat melakukan kesalahan atau kelalaian. AI, sebagai sistem non-manusia, tidak memiliki kehendak atau kesadaran, sehingga pertanggungjawaban atas “kesalahan” AI harus ditafsirkan sebagai tanggung jawab atas kesalahan dalam desain, pemrograman, atau pengawasan oleh manusia.
Pertanggungjawaban atas tindakan AI sebagai pekerja dapat dikaitkan dengan kelalaian dalam pengawasan atau penggunaan teknologi. Misalnya, jika AI digunakan tanpa pengujian yang memadai atau tanpa pengawasan manusia, maka pihak yang bertanggung jawab atas operasional AI dapat dianggap lalai dan dimintai pertanggungjawaban hukum.
Sementara itu, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (“UU ITE”) memperkenalkan konsep “agen elektronik” yang relevan untuk memahami peran AI dalam transaksi digital. Dalam Pasal 1 angka 8 UU ITE menjelaskan bahwa:
“Agen Elektronik adalah perangkat dari suatu Sistem Elektronik yang dibuat untuk melakukan suatu tindakan terhadap suatu Informasi Elektronik tertentu secara otomatis yang diselenggarakan oleh Orang.”
Definisi ini mencakup sistem AI yang dirancang untuk melakukan tindakan secara otomatis, seperti chatbot, sistem rekomendasi, atau algoritma pemrosesan data. Apabila AI melakukan tindakan yang melanggar hukum, seperti menyebarkan informasi palsu atau melakukan manipulasi data, maka pihak yang memprogram, mengoperasikan, atau memanfaatkan AI tersebut dapat dimintai pertanggungjawaban pidana. AI diposisikan sebagai alat atau instrumen, bukan sebagai pelaku hukum yang berdiri sendiri.
Pendekatan ini sejalan dengan prinsip hukum pidana bahwa hanya entitas yang memiliki kehendak dan kesadaran hukum yang dapat dimintai pertanggungjawaban pidana. AI, yang tidak memiliki kehendak bebas, tidak dapat dikenai sanksi pidana secara langsung, tetapi dapat menjadi dasar untuk menjerat pihak yang bertanggung jawab atas penggunaannya.
Baca juga: Revolusi Marketing Kantor Hukum dengan Kekuatan Artificial Intelligence
Lalu, bagaimana sistem hukum menjawab tantangan regulasi ini?
Untuk menjawab tantangan regulasi terkait pertanggungjawaban pidana atas tindakan Artificial Intelligence (AI), sistem hukum Indonesia masih berada pada tahap awal adaptasi. Hingga saat ini, regulasi yang ada lebih banyak menempatkan AI sebagai instrumen atau alat bantu, bukan entitas hukum yang berdiri sendiri. Oleh karena itu, pendekatan hukum yang ditempuh adalah menelusuri siapa pihak yang berada di balik penggunaan atau pengoperasian AI.
Selain itu, diskursus internasional juga memberikan inspirasi bagi perkembangan regulasi AI di Indonesia. Uni Eropa, misalnya, telah merancang Artificial Intelligence Act yang menekankan prinsip risk-based approach, di mana setiap penggunaan AI diklasifikasikan berdasarkan tingkat risiko, dan tanggung jawab hukum diarahkan kepada penyedia atau pengguna AI. Model ini dapat menjadi rujukan bagi pembentuk undang-undang di Indonesia untuk merancang aturan serupa.
Dengan demikian, meskipun Indonesia belum memiliki regulasi khusus mengenai AI dalam hukum pidana, instrumen hukum yang ada dapat dimanfaatkan sebagai dasar pertanggungjawaban. Ke depan, diperlukan regulasi yang lebih komprehensif yang tidak hanya menjawab aspek pidana, tetapi juga aspek etika, hak asasi manusia, dan prinsip tata kelola teknologi yang bertanggung jawab. Tanpa pembaruan regulasi, sistem hukum akan terus tertinggal dalam menghadapi kompleksitas peran AI dalam kehidupan modern.***
Baca juga: The Urgency of Biometric Data Protection in the AI Era
Daftar Hukum:
- Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”).
- Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (“UU ITE”)
- Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUH Perdata”).
Referensi:
- AI Subjek Hukum atau Objek Hukum?. HukumOnline. (Diakses pada 29 September 2025 pukul 14.41 WIB).
- Menakar Pertanggungjawaban Artificial Intelligence dalam Tata Hukum Indonesia. MARI News. (Diakses pada 29 September 2025 pukul 15.01 WIB).
- Nada, F., Faruq Abqori, F., Ratu Nur FatimahRH, D., Rahadiyan, I., & Agus Riswandi, B. (2024). Gagasan Pengaturan Artificial Intelligence Sebagai Subjek Hukum Di Indonesia. Prosiding Seminar Hukum Aktual Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, 2, 149–157. (Diakses pada 29 September 2025 pukul 15.49 WIB).
- Sofian, A. (2025). Konsepsi Subjek Hukum dan Pertanggungjawaban Pidana Artificial Intelligence. Halu Oleo: Law Review. 9(1), 13–26. (Diakses pada 29 September 2025 pukul 15.49 WIB).
- Mayoritas Parlemen Eropa Mengesahkan Regulasi AI Pertama di Dunia. HukumOnline. (Diakses pada 29 September 2025 pukul 16.10 WIB).