Diagnosis medis adalah tahapan penilaian terhadap suatu kondisi atau penyakit dengan menelaah gejala yang muncul, riwayat kesehatan pasien, serta hasil dari berbagai pemeriksaan. Tujuannya adalah untuk mengidentifikasi penyebab gangguan kesehatan secara tepat sehingga dapat dirancang tindakan pengobatan yang sesuai dan efektif. Proses ini kerap melibatkan sejumlah pemeriksaan diagnostik seperti pencitraan medis (misalnya sinar-X, MRI, ultrasound, dan CT-scan), analisis darah, maupun prosedur biopsi. Pada dekade terakhir, dunia medis mengalami transformasi besar berkat kemajuan teknologi kecerdasan buatan (Artificial Intelligence/AI) yang telah menjadi katalis dalam mempercepat proses diagnostik, meningkatkan akurasi, atau pun memperluas akses layanan kesehatan.
Di Indonesia, penggunaan AI dalam bidang kesehatan pun mulai menunjukkan dampak nyata, terutama dalam analisis citra medis, pengolahan data pasien, dan bantuan pengambilan keputusan klinis. Teknologi ini bukan hanya menjanjikan efisiensi, melainkan juga membuka peluang untuk pemerataan layanan kesehatan di wilayah terpencil. Namun, di balik potensi yang revolusioner itu, muncul tantangan yang kompleks, yakni terkait dengan regulasi yang mengatur penggunaan AI dalam sistem kesehatan, hingga potensi penggunaannya.
Melalui artikel ini, SIP Law Firm akan mengulas secara mendalam pemanfaatan kecerdasan buatan dalam diagnostik medis dengan meninjau aspek regulasi, etika, dan tantangan yang dihadapi dalam penerapannya di Indonesia.
Penggunaan AI dalam Diagnostik Medis
Kecerdasan buatan dalam ranah kesehatan merujuk pada penerapan algoritma komputer yang cerdas untuk mengolah data medis medis dan mendukung proses pengambilan keputusan diagnostik. Teknologi AI mengandalkan berbagai metode seperti pembelajaran mesin (machine learning), jaringan saraf buatan (neural networks) dan juga pemrosesan bahasa alami (natural language processing) guna mengidentifikasi pola dalam kumpulan data yang besar dan kompleks. Penggunaannya di bidang medis mencakup sejumlah area, antara lain analisis citra medis, pengolahan data genomik, prediksi penyakit, hingga pengembangan sistem pendukung keputusan klinis.
Algoritma AI mampu menganalisis citra medis dan membantu penyedia layanan kesehatan mengidentifikasi, serta mendiagnosis penyakit dengan lebih akurat dan cepat. AI juga digunakan untuk mengolah data bio-sinyal seperti EKG dan EEG, serta rekam medis elektronik, tanda vital, dan hasil laboratorium. Dengan pendekatan multimodal, AI dapat memberikan gambaran menyeluruh tentang kondisi pasien dan mendukung pengambilan keputusan klinis yang lebih tepat. Melalui pengintegrasian sumber data yang beragam tersebut, penyedia layanan kesehatan dapat memahami secara lebih komprehensif tentang kesehatan seorang pasien dan penyebab dasar dari gejalanya. Kombinasi dari berbagai sumber data dapat memberikan gambaran yang lebih lengkap tentang kesehatan seorang pasien, mengurangi kemungkinan kesalahan diagnosis, dan juga mampu meningkatkan akurasi.
Salah satu penggunaan AI dalam melakukan diagnosis penyakit yakni dengan menggunakan citra digital fundus dan metode Convolutional Neural Network (CNN) pada penyakit Diabetic Retinopati (DR) yang merupakan komplikasi serius dari diabetes. Metode ini memungkinkan identifikasi tingkat keparahan DR melalui analisis pola-pola mikroskopis pada retina, seperti mikroaneurisma, perdarahan, dan eksudat, yang sering kali sulit dikenali dengan mata telanjang dan membutuhkan waktu dan biaya besar. Mengingat pentingnya deteksi dini untuk mencegah kebutaan akibat DR, maka diperlukan solusi yang lebih efisien dan akurat, dengan salah satu cara untuk mengatasi masalah ini adalah dengan menggunakan teknologi machine learning melalui CNN.
Namun, Bagaimana Aturan Terkait dengan Penggunaan AI pada Sistem Kesehatan di Indonesia?
Hak untuk memperoleh pelayanan kesehatan yang layak telah dijamin secara konstitusional melalui Pasal 28H ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (“UUD NRI 1945”) yang menyatakan bahwa “setiap warga negara berhak hidup sejahtera lahir dan batin, serta memperoleh pelayanan kesehatan”. Berdasarkan ketentuan tersebut, layanan kesehatan harus menjadi prioritas utama bagi negara. Oleh karena itu, pemerintah dituntut untuk senantiasa meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan, termasuk dengan menghadirkan solusi yang lebih efisien dan akurat, seperti pemanfaatan teknologi kesehatan berbasis kecerdasan buatan (AI) untuk memperluas akses dan meningkatkan akurasi diagnosis.
Penggunaan AI dalam sistem kesehatan di Indonesia telah memperoleh dasar hukum melalui Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan (“UU Kesehatan”). Meskipun UU ini tidak secara eksplisit menyebut istilah “AI”, namun beberapa pasal di dalamnya memberikan ruang bagi pemanfaatan teknologi di bidang kesehatan. Dalam Pasal 1 angka 18 UU Kesehatan menyebutkan bahwa:
“Teknologi Kesehatan adalah segala bentuk alat, produk, dan/atau metode yang ditujukan untuk membantu menegakkan diagnosis, pencegahan, dan penanganan permasalahan Kesehatan manusia.”
Pasal tersebut memberikan legitimasi bahwa AI, termasuk algoritma seperti Convolutional Neural Network (CNN) atau machine learning, yang digunakan untuk menganalisis citra medis, data laboratorium, atau rekam medis elektronik, merupakan bagian sah dari teknologi kesehatan. Sebagai contoh, penggunaan AI untuk mendeteksi Diabetic Retinopathy dari citra fundus digital tidak hanya membantu menegakkan diagnosis secara cepat dan efisien, tetapi juga mendukung pencegahan komplikasi dan pengambilan keputusan terapeutik yang lebih tepat, sehingga secara langsung mencerminkan implementasi dari Pasal tersebut dalam praktik layanan medis modern.
Lebih lanjut, Pasal 334 ayat (1) hingga (4) UU Kesehatan yang merupakan bagian dari BAB X Teknologi Kesehatan, menjelaskan lebih lanjut terkait dengan penggunaan teknologi dalam bidang medis, bahwa:
- Teknologi Kesehatan diselenggarakan, dihasilkan, diedarkan, dikembangkan, dan dievaluasi melalui penelitian, pengembangan, dan pengkajian untuk peningkatan Sumber Daya Kesehatan dan Upaya Kesehatan;
- Teknologi Kesehatan termasuk perangkat keras dan perangkat lunak;
- Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah mendorong pemanfaatan produk Teknologi Kesehatan dalam negeri;
- Teknologi Kesehatan harus memenuhi standar sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Dapat dilihat bahwa AI sebagai perangkat lunak termasuk dalam cakupan teknologi kesehatan yang diatur oleh Undang-Undang ini. Regulasi tersebut menuntut penerapan yang penuh kehati-hatian, dengan memastikan bahwa sistem AI yang digunakan dalam diagnosis medis mampu menjamin keamanan data pasien, menunjukkan efektivitas klinis yang terukur, serta tidak menimbulkan risiko yang merugikan masyarakat luas, baik secara etik maupun sosial.
Baca juga: Mengulik Regulasi dan Etika AI dalam Medis, Bisakah Gantikan Peran Dokter?
Etika dan Tantangan Penggunaan AI dalam Dunia Kesehatan
Meskipun kecerdasan buatan menjanjikan banyak kemajuan dan inovasi yang dapat membantu masyarakat dalam berbagai bidang kehidupan, penting juga untuk dipahami bahwa kecerdasan buatan (AI) memiliki implikasi sosial dan etika yang harus diperhatikan. Salah satu isu utama adalah perlindungan data pribadi pasien, mengingat sistem AI membutuhkan akses terhadap data medis dalam jumlah besar untuk melatih algoritma dan menghasilkan keputusan klinis.
Jika tidak dikelola dengan baik, hal ini berisiko melanggar privasi dan hak pasien. Apalagi, Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi (“UU PDP”) melalui Pasal 4 ayat (2) juga mengkategorikan bahwa data dan informasi kesehatan termasuk ke dalam data pribadi yang bersifat spesifik. Artinya, data kesehatan memiliki tingkat sensitivitas yang tinggi dan memerlukan perlindungan ekstra dalam proses pengumpulan, penyimpanan, dan pemrosesan. Ketika sistem AI digunakan untuk menganalisis data medis, maka pengendali data wajib menerapkan prinsip kehati-hatian, transparansi, dan akuntabilitas, sebagaimana diatur dalam UU PDP.
Selain itu, bias algoritmik menjadi perhatian serius, karena AI yang dilatih dengan data yang tidak representatif dapat menghasilkan diagnosis atau rekomendasi yang tidak adil dan berpotensi merugikan kelompok tertentu. Transparansi dalam proses pengambilan keputusan oleh AI juga menjadi sorotan, karena sistem yang bersifat “black box” menyulitkan tenaga medis dan pasien untuk memahami dasar dari rekomendasi yang diberikan. Sebagai contoh, apabila sebuah sistem AI menyarankan bahwa seorang pasien berisiko tinggi diabetes, dokter dan pasien berhak tahu data apa yang diproses, variabel apa yang diutamakan, dan apakah ada pertimbangan seperti riwayat keluarga atau gaya hidup yang masuk ke perhitungan. Tanpa transparansi, rekomendasi AI bisa dipertanyakan secara etis dan tidak dapat dipertanggungjawabkan secara medis maupun hukum.
Oleh karena itu, SIP Law Firm menekankan pentingnya integrasi AI yang tidak hanya berbasis teknologi, tetapi juga didukung oleh kepastian hukum, kepatuhan etis, dan komitmen terhadap prinsip kemanusiaan dalam pelayanan kesehatan. AI tidak boleh menjadi “alat tanpa arah,” melainkan harus diarahkan dengan kebijakan yang visioner dan kolaborasi antar pemangku kepentingan untuk menciptakan sistem kesehatan yang berkeadilan, inklusif, dan berkelanjutan.***
Baca juga: Keunggulan Teknologi Blockchain dan Relevansinya dalam Rekam Medis
Daftar Hukum:
- Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (“UUD NRI 1945”).
- Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi (“UU PDP”).
- Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan (“UU Kesehatan”).
Referensi:
- Kecerdasan Buatan dalam Diagnostik Medis, Revolusi dalam Dunia Kesehatan. Universitas Medan Area. (Diakses pada 16 Juli 2025 pukul 09.10 WIB).
- Revolusi AI dalam Diagnostik Medis. detik.com. (Diakses pada 16 Juli 2025 pukul 09.26 WIB).
- Nurohman, Rudi Heriansyah, Dwi Asa Verano, & Zaid Romegar Mair. (2024). Deteksi Penyakit Diabetes Retinopathy Menggunakan Citra Digital Dengan Metode Convolutional Neural Network (Cnn). Prosiding Snast, November, 311–320. (Diakses pada 16 Juli 2025 pukul 09.42 WIB).
- Afandi, A. R., & Kurnia, H. (2023). Revolusi Teknologi: Masa Depan Kecerdasan Buatan (AI) dan Dampaknya Terhadap Masyarakat. Academy of Social Science and Global Citizenship Journal, 3(1), 9–13. (Diakses pada 16 Juli 2025 pukul 10.12 WIB).
- AI Cerdas tapi Bisa Bias? Waspada Bahaya Algoritma. Universitas Airlangga. (Diakses pada 16 Juli 2025 pukul 10.18 WIB).