Kecerdasan buatan (Artificial Intelligence/AI) telah merevolusi banyak aspek dalam kehidupan manusia, tak terkecuali pada sektor kesehatan. Penggunaan AI dalam dunia medis semakin meluas, mulai dari diagnosis pasien berbasis citra seperti MRI, CT scan, dan berbagai jenis pencitraan medis lainnya, rekam medis elektronik (RME), hingga pengembangan sistem prediksi pengobatan yang dipersonalisasi. Metode-metode ini dikombinasikan dengan kecerdasan buatan (AI), terutama machine learning, guna mendukung tenaga medis dalam mengidentifikasi dan menganalisis berbagai penyakit dengan lebih efisien dan presisi.

Di tengah percepatan inovasi teknologi, pertanyaan mendasar muncul, sejauh mana penggunaan AI dalam dunia medis dapat diterima secara hukum dan etis? Di Indonesia, regulasi mengenai penggunaan AI dalam dunia kesehatan masih terus berkembang. Pemerintah berupaya menyesuaikan kebijakan agar teknologi ini dapat digunakan secara aman dan efektif tanpa mengabaikan aspek etika dan hak pasien. Melalui artikel ini, SIP Law Firm pun ingin membahas etika penggunaan AI dalam dunia medis di dalam negeri, sebab regulasi harus mampu mengikuti perkembangan zaman, sementara prinsip etika harus tetap menjadi landasan utama dalam menjaga kemanusiaan profesi medis. 

Regulasi Penggunaan AI dalam Dunia Kesehatan di Indonesia

Regulasi tentang penggunaan teknologi kesehatan di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan (“UU Kesehatan”). Meski tidak secara eksplisit menyebut artificial intelligence, namun Dalam Pasal 334 ayat (2) UU Kesehatan menyebutkan bahwa:

“Teknologi Kesehatan termasuk perangkat keras dan perangkat lunak.” 

AI umumnya hadir dalam bentuk perangkat lunak, baik untuk analisis data klinis, pencitraan, maupun sistem pendukung keputusan. Maka secara normatif, AI termasuk dalam cakupan teknologi yang dimaksud oleh pasal tersebut. Hal ini memberikan ruang untuk mengatur dan mengembangkan implementasi AI dalam sektor kesehatan, selama tetap mematuhi prinsip kehati-hatian, etika, dan standar keselamatan medis yang ditetapkan dalam Undang-Undang tersebut. Lebih lanjut dalam Pasal 336 ayat (1) UU Kesehatan ditegaskan bahwa:

“Setiap penelitian, pengembangan, pengkajian, dan pemanfaatan Teknologi Kesehatan harus mempertimbangkan potensi risiko dan manfaatnya terhadap Kesehatan masyarakat.”

Salah satu risiko utama dalam pemanfaatan AI dalam dunia medis adalah pengolahan dan perlindungan data pasien. AI bergantung pada data medis untuk meningkatkan akurasi diagnosis dan pengobatan presisi. Tetapi jika tidak dikelola dengan benar, maka dapat menimbulkan pelanggaran privasi, bias, dan ancaman keamanan pasien. 

Data pasien merupakan informasi sensitif yang bersifat spesifik dan harus dijaga dengan ketat, karena kebocoran atau penyalahgunaannya bisa berdampak serius terhadap hak-hak individu. Untuk itu, regulasi seperti Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Pelindungan Data Pribadi (“UU PDP”) menjadi sangat penting dalam memastikan bahwa pengolahan data oleh AI dalam layanan kesehatan dilakukan dengan standar tinggi, transparansi, dan prinsip etika yang jelas. 

Tinjauan Etika AI dalam Dunia Medis yang Harus Diperhatikan

Etika dalam penggunaan AI di dunia medis menjadi perhatian utama, karena teknologi ini berpotensi memengaruhi keputusan medis dan memunculkan tanggung jawab etis yang sangat besar. Beberapa aspek etika yang harus diperhatikan meliputi:

  1. Privasi dan Keamanan Data
    AI dalam dunia medis sering kali mengakses data pasien untuk memberikan diagnosis yang lebih akurat. Oleh karena itu, perlindungan data menjadi hal yang sangat penting. Menurut penelitian di ResearchGate, banyak pedoman etika AI yang menekankan pentingnya transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan data pasien.
  2. Keadilan dan Aksesibilitas
    Teknologi ini harus digunakan secara adil dan tidak boleh menciptakan kesenjangan dalam akses layanan kesehatan. Penelitian menunjukkan bahwa beberapa pedoman etika AI masih memiliki kekurangan dalam penerapan keadilan sosial.
  3. Transparansi dan Akuntabilitas
    Sistem AI harus dapat dijelaskan dan dipahami oleh tenaga medis serta pasien. Dokumentasi mengenai kerangka etika AI medis menekankan bahwa teknologi ini harus memiliki mekanisme tata kelola yang jelas untuk memastikan penggunaannya bertanggung jawab.
  4. Potensi Bias dalam Algoritma
    Seperti yang telah dijelaskan, bahwa AI bekerja berdasarkan data yang diberikan kepadanya. Jika data yang digunakan untuk melatih AI kurang beragam atau mengandung bias, AI dapat menghasilkan rekomendasi yang keliru, yang berpotensi membahayakan pasien.
  5. Keputusan Medis dan Tanggung Jawab
    AI dapat memberikan rekomendasi medis berdasarkan pola data, tetapi keputusan akhir tetap harus berada di tangan dokter. AI tidak memiliki pemahaman tentang nilai-nilai manusia dan tidak dapat membuat keputusan etis dengan cara yang sama seperti dokter. 

Lantas, Apakah AI dapat Menggantikan Dokter?

Penggunaan teknologi AI dalam dunia medis tidak hanya harus mematuhi regulasi hukum, tetapi juga menimbulkan berbagai pertimbangan psikologis, etika, dan moral terkait perawatan pasien. Diperlukan landasan yang menetapkan praktik kedokteran sebagai acuan dalam mengatur hubungan hukum dalam bidang medis. 

Untuk mewujudkan hal ini, perlu dikaji apakah tugas yang dijalankan oleh AI dapat dianggap sebagai bagian integral dari praktik medis yang terus berkembang dan sejajar dengan peran dokter manusia. Selain itu, penting untuk menentukan batasan serta kemampuan AI dalam menjalankan fungsinya agar penggunaannya tetap sesuai dengan standar yang berlaku.

Selain itu, penting dipahami bahwa praktik kedokteran tidak hanya soal akurasi teknis. Ada dimensi empati, komunikasi, dan pengambilan keputusan etis yang tak dapat digantikan oleh mesin. Seorang dokter tidak hanya mendiagnosis, tetapi juga memahami kondisi psikologis pasien, membangun kepercayaan, dan menyampaikan kabar baik atau buruk dengan empati manusiawi.

AI dapat menggantikan fungsi-fungsi tertentu dalam kedokteran, seperti skrining awal, pencatatan data, dan analisis laboratorium, tetapi tidak dapat menggantikan keseluruhan peran dokter sebagai pengelola keputusan klinis yang lebih kompleks. Lebih jauh, dari sisi hukum, belum ada kerangka yang memungkinkan AI untuk mengambil tanggung jawab hukum secara mandiri. Jika AI membuat kesalahan, maka tanggung jawab hukum tetap berada pada tenaga medis atau institusi yang menggunakannya. Hal ini memperkuat argumen bahwa AI adalah alat bantu, bukan pengganti.

Penggunaan AI dalam dunia medis menawarkan banyak manfaat, tetapi juga menghadirkan tantangan etika dan regulasi yang harus diperhatikan. Regulasi di Indonesia telah mengatur bahwa AI harus digunakan sebagai alat bantu, bukan sebagai pengganti tenaga medis. Dari perspektif etika, transparansi, keadilan, dan tanggung jawab menjadi aspek utama yang harus diperhatikan dalam penerapan teknologi ini.***

Daftar Hukum:

Referensi: