Sistem Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang dikelola oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan telah menjadi pondasi penting dalam menjamin akses pelayanan kesehatan masyarakat Indonesia. Namun dalam implementasinya, tidak jarang terjadi eskalasi konflik sengketa antara BPJS dan rumah sakit sebagai penyedia layanan, yang akhirnya menyebabkan putusnya kerja sama antara BPJS dan sejumlah rumah sakit. Sengketa tersebut dapat berupa ketidaksepakatan dalam klaim pembayaran, interpretasi aturan pelayanan, hingga masalah teknis administratif yang berujung pada pelayanan pasien.

Pada akhir 2024 lalu, BPJS kesehatan menghentikan kerja sama dengan 2 rumah sakit swasta di Kabupaten Brebes, Jawa Tengah akibat terbukti melakukan tindakan curang berupa klaim fiktif dalam program JKN. Pemutusan hubungan kerja sama ini tak hanya merugikan pasien JKN umum, tetapi juga membuat 36 pasien cuci darah atau hemodialisa (HD) harus dialihkan ke rumah sakit lain. Adanya eskalasi konflik antara BPJS dengan rumah sakit tentu saja sangat memprihatinkan, di mana antara rumah BPJS dan rumah sakit sangat berperan penting bagi perlindungan kesehatan masyarakat di Indonesia. Hal ini pun bukan tidak mungkin akan memengaruhi pelayanan kesehatan di Indonesia. 

Permasalahan yang terjadi antara BPJS dan rumah sakit bukan sekadar persoalan administrasi, namun hal ini menyentuh pondasi sistem kesehatan nasional. Ketika relasi kerja sama ini terganggu, maka peserta jaminan sosial bisa menjadi korban utama akibat terganggunya akses pelayanan. Kondisi ini akan sangat merugikan, terlebih di tengah kebutuhan masyarakat akan layanan kesehatan yang cepat, adil, dan berkelanjutan. 

Dalam situasi semacam ini, mediasi sebagai upaya penyelesaian masalah menjadi instrumen penting untuk mencegah konflik berkepanjangan yang dapat merugikan pasien dan mengganggu stabilitas sistem layanan kesehatan nasional. Mediasi merupakan bentuk alternatif penyelesaian sengketa  yang melibatkan pihak ketiga yang bersifat netral untuk memfasilitasi proses perdamaian antara pihak-pihak yang berselisih. Proses ini umumnya berlangsung lebih singkat dan membutuhkan biaya yang lebih rendah dibandingkan litigasi. Salah satu tujuan utama dari mediasi adalah mencapai kesepakatan yang saling menguntungkan bagi para pihak. 

Konflik yang terjadi antara dua entitas kunci dalam penyelenggaraan layanan kesehatan nasional ini dapat berdampak secara langsung pada kualitas dan kesinambungan pelayanan kesehatan yang diterima masyarakat luas. diharapkan dengan hadirnya mediator sebagai pihak penengah, BPJS dan rumah sakit dapat membangun saling pengertian, meredam ketegangan, dan pada akhirnya memulihkan kerja sama yang harmonis demi kepentingan publik yang lebih besar.

Undang-Undang Kesehatan Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan (UU Kesehatan) sebagai payung hukum pun mengutamakan penyelesaian sengketa Kesehatan dan medis melalui pendekatan restorative justice. Pendekatan ini tidak hanya bertujuan menyelesaikan sengketa secara damai, tetapi juga memulihkan hubungan antara pihak-pihak yang berselisih, menjaga keberlanjutan layanan kesehatan, dan menghindari dampak sosial yang lebih luas.

Pasal 310 UU Kesehatan menjelaskan bahwa penyelesaian sengketa di bidang medis dan kesehatan harus terlebih dahulu ditempuh melalui mekanisme di luar pengadilan. Mekanisme ini secara langsung merujuk pada Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (UU 30/1999) yang memberikan dasar hukum bagi mediasi sebagai bentuk penyelesaian yang bersifat non-litigatif. 

Sebagai wujud implementasi konkret dari ketentuan tersebut, telah dibentuk Lembaga Mediasi dan Arbitrase Medis dan Kesehatan Indonesia (LMA-MKI), sebuah lembaga independen yang secara khusus menangani sengketa medis dan kesehatan melalui pendekatan mediasi dan arbitrase. LMA-MKI hadir sebagai respons terhadap kebutuhan akan forum penyelesaian sengketa yang memahami kompleksitas dunia medis, menjunjung tinggi netralitas, dan mengedepankan prinsip win-win solution. 

Meskipun mediasi menawarkan sejumlah solusi, implementasinya dalam konteks sengketa BPJS dan rumah sakit masih menghadapi beberapa tantangan krusial. Pertama, masih minimnya pemahaman tentang mediasi sebagai alternatif yang sah dan efektif, sehingga kepercayaan terhadap mekanisme ini belum sepenuhnya terbentuk. Masih ada sejumlah pihak masih memandang litigasi sebagai satu-satunya jalan “resmi” dalam menyelesaikan sengketa. Rendahnya literasi hukum tentang APS di lingkungan rumah sakit maupun BPJS menambah keraguan terhadap efektivitas mediasi. Dalam hal ini, penting untuk melibatkan tim hukum yang akan memberikan pertimbangan yuridis yang objektif dan strategis terhadap proses mediasi, baik dari sisi substansi perjanjian kerja sama, analisis risiko hukum, maupun kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Keterlibatan ahli hukum menjadi sangat krusial untuk memastikan bahwa mediasi antara pihak-pihak yang terlibat dapat terlaksana secara adil sebagai berikut:

  1. Berjalan sesuai dengan prinsip kesetaraan para pihak (equality of arms);
  2. Meminimalkan potensi wanprestasi atau pelanggaran administratif;
  3. Menghasilkan kesepakatan mediasi yang sah dan dapat dieksekusi (enforceable agreement);
  4. Tersusun dalam dokumen hukum yang rapi, sistematis, dan memiliki legitimasi apabila harus dibawa ke pengadilan. 

Sebagai metode penyelesaian sengketa yang efektif dan berorientasi pada solusi, mediasi memiliki potensi besar untuk meredam konflik antara BPJS dan rumah sakit tanpa harus melalui proses litigasi yang panjang dan mahal. Agar proses mediasi berjalan optimal dan menghasilkan kesepakatan yang adil serta sesuai hukum, keterlibatan ahli hukum dari firma hukum terpercaya sangat penting. Para profesional ini tidak hanya memastikan bahwa hak dan kewajiban para pihak terlindungi secara yuridis, tetapi juga membantu merumuskan strategi penyelesaian yang konstruktif dan berkelanjutan, sekaligus memfasilitasi komunikasi yang lebih terbuka dan produktif antara pihak-pihak yang bersengketa.

Baca juga: BSU BPJS Ketenagakerjaan 2025, Siapa yang Berhak dan Bagaimana Cara Mendapatkannya?

 

Author / Contributor:

Arbitrase Adhitya Chandra Darmawan, S.H., CLA.
Senior AssociateContact:
Mail       : @siplawfirm.id
Phone    : +62-21 799 7973 / +62-21 799 7975