Oleh: Cut Datin Imanal Putri, S.H.
Sofyan Djalil selaku Menteri Agraria Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), kepada CNN Indonesia, pada tanggal 21 Maret 2019, menyampaikan telah menargetkan akan rampung melakukan sertifikasi/pendaftaran terhadap seluruh tanah pada tahun 2025.
Presiden Jokowi juga mengatakan Pemerintah terus berupaya untuk mempercepat penyerahan sertifikat tanah kepada masyarakat yang bertujuan untuk menghindari konflik/sengketa, baik antara masyarakat dengan masyarakat, masyarakat dengan perusahaan, maupun antara masyarakat dengan Pemerintah.
Sertifikat tanah tentu penting bagi masyarakat sebagai bukti atas kepemilikan tanah, selain itu sertifikat dapat digunakan untuk dijadikan “jaminan” kepada Bank guna memperoleh pinjaman sejumlah dana.
Namun adanya sertifikat tanah tersebut belum tentu menjamin terlindunginya pemilik/pemegang hak atas tanah, sebab sertifikat tanah yang terbit sebagai akibat dari adanya pelanggaran hukum, dapat berpotensi menimbulkan sengketa.
Sebelum membahas mengenai kekuatan pembuktian yang dimiliki oleh suatu Akta Otentik untuk dapat membuktikan adanya peralihan hak atas tanah, terlebih dahulu Penulis hendak menyampaikan beberapa kutipan mengenai pengertian Akta Otentik, yakni:
- Kutipan Pasal 1868 KUHPerdata dalam cetakan ke-38 KUHPerdata terjemahan Prof.R.Subekti, SH, dan R. Tjitrosudibio:
“Suatu akta otentik ialah suatu akta yang didalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh atau di hadapan pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk itu di tempat di mana akta dibuatnya.”
- Kutipan Pasal 165 Herzien Inlandsch Reglement (HIR) dalam cetakan ke-14 Komentar HIR Mr. R. Tresna:
“Akte otentik, yaitu suatu surat yang diperbuat oleh atau dihadapan pegawai umum yang berkuasa akan membuatnya, mewujudkan bukti yang cukup bagi kedua belah pihak dan ahli warisnya serta sekalian orang yang mendapat hak dari padanya, yaitu tentang segala hal, yang tersebut didalam surat itu dan juga tentang yang tercantum dalam surat itu sebagai pemberitahuan sahaja; tetapi yang tersebut kemudian itu hanya sekedar yang diberitahukan itu langsung berhubung dengan pokok dalam akte itu.”
- Kutipan Catatan Mr.R.Tresna dalam cetakan ke-14 Komentar HIR Mr. R. Tresna:
“Akta otentik adalah suatu akta yang dibuat oleh atau dimuka seorang pegawai umum, oleh siapa didalam akta itu dicatat pernyataan fihak yang menyuruh membuat akta itu. Pegawai umum yang dimaksudkan disini, ialah pegawai2 yang dinyatakan dengan undang-undang mempunyai wewenang untuk membikin akta otentik, misalnya Notaris. Rupa-rupa syarat diadakan untuk menjamin, bahwa isi dari akta itu sesuai dengan apa yang dilihat atau apa yang didengar oleh pegawai umum itu. Maka oleh karena itulah, isi dari akta otentik itu dianggap tidak dapat disangkal kebenarannya, kecuali jika dapat dibuktikan, bahwa apa yang oleh pegawai umum itu dicatat sebagai benar, tidaklah demikian halnya.”
- Kutipan Pasal 1 angka 7 Undang-Undang No.2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No.30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (“Undang-Undang Jabatan Notaris”):
“Akta Notaris yang selanjutnya disebut Akta adalah akta autentik yang dibuat oleh atau di hadapan Notaris menurut bentuk dan tata cara yang ditetapkan dalam Undang-Undang ini.”
Lebih lanjut Pasal 15 ayat (1) Undang-Undang Jabatan Notaris menjabarkan kewenangan Notaris untuk membuat Akta Autentik, yang dapat Penulis kutip sebagai berikut:
“Notaris berwenang membuat Akta autentik mengenai semua perbuatan, perjanjian, dan penetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam Akta autentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan Akta, menyimpan Akta, memberikan grosse, salinan dan kutipan Akta, semuanya itu sepanjang pembuatan Akta itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan oleh undang-undang.”
Kewenangan untuk membuat Akta Otentik juga dimiliki oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), sebagaimana ketentuan Pasal 1 angka 1 Peraturan Pemerintah No.24 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah No.37 Tahun 1998 Tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah (“PP PPAT”), yang mengatur sebagai berikut:
“Pejabat Pembuat Akta Tanah, selanjutnya disebut PPAT, adalah pejabat umum yang diberi kewenangan untuk membuat akta-akta otentik mengenai perbuatan hukuk tertentu mengenai hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun.”
Bahwa ketentuan Pasal 37 ayat (1) Peraturan Pemerintah No.24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah (PP No.24/1997), mengatur salah satunya mengenai peralihan hak atas tanah dan hak milik atas satuan rumah susun melalui jual beli, hanya dapat didaftarkan jika dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh PPAT, yakni Akta Jual-Beli (AJB).
Menurut Pendapat Ahli Hukum Perdata M. Yahya Harahap, S.H. dalam bukunya yang berjudul Hukum Acara Perdata tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan, halaman 581, nilai kekuatan pembuktian Akta Otentik hanya sampai pada derajat atau kualitas yang sempurna (volledig) dan mengikat (bidende), jadi derajat kekuatan pembuktiannya tidak mencapai kualitas menentukan (beslissend) atau memaksa (dwingende), sehingga terhadapnya dapat diajukan bukti lawan.
Lebih lanjut pada halaman 584, M. Yahya Harahap, S.H. menjelaskan derajat kekuatan pembuktiannya hanya sampai pada tingkat sempurna dan mengikat, tetapi tidak memaksa dan menentukan. Oleh karena itu, sifat nilai kekuatan pembuktiannya tidak bersifat imperatif, dapat dilumpuhkan dengan bukti lawan.
Adapun yang dimaksud sebagai bukti lawan, M. Yahya Harahap, S.H. pada halaman 582, menjelaskan alat bukti apa saja dapat diajukan untuk melumpuhkan kekuatan pembuktian Akta Otentik. Bisa saksi, persangkaan, maupun segala macam akta, baik Akta Bawah Tangan atau akta sepihak, maupun dengan surat lain. Jadi masalah kesetaraan bukti lawan tidak mutlak. Oleh karenanya, bukti lawan yang diajukan tidak harus berupa Akta Otentik pula.
Apabila kesepakatan dalam AJB terjadi dikarenakan adanya pemaksaan/penipuan, maka hal tersebut mengindikasikan adanya itikad tidak baik dari salah satu pihak/cacat kehendak, dimana ketidaktahuan/ ketidakpahaman/ketidakmampuan salah satu pihak; dimanfaatkan oleh pihak lain untuk dapat memperoleh keuntungan, sehingga kesepakatan yang mendasari lahirnya AJB yang merupakan Akta Otentik timbul akibat adanya Penyalahgunaan Keadaan (Misbruik Van Omstandigheden).
Bahwa untuk dapat membatalkan AJB yang merugikan tersebut, maka pihak yang dirugikan dapat menempuh upaya hukum dengan mengajukan gugatan pembatalan AJB melalui Pengadilan Negeri untuk membuktikan telah terjadinya Penyalahgunaan Keadaan.
Terdapat beberapa contoh Putusan Pengadilan yang telah Berkekuatan Hukum Tetap (inkracht) terkait adanya unsur Penyalahgunaan Keadaan yang kadang diterjemahkan pula sebagai Perbuatan Melawan Hukum, yakni:
- Yurisprudensi Mahkamah Agung RI No.275 K/PDT/2004, tanggal 29 Agustus 2005;
- Yurisprudensi Mahkamah Agung RI No.3666 K/PDT/1992, tanggal 26 Oktober 1994;
- Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No.222/Pdt.G/2016/PN.Jkt.Sel.
Berdasarkan uraian di atas, maka AJB yang diterbitkan guna dijadikan dasar pendaftaran untuk mengalihkan hak atas tanah, mengandung unsur Penyalahgunaan Keadaan, dapat dibuktikan melalui adanya Putusan Pengadilan yang telah inkracht; sehingga AJB yang demikian meskipun merupakan Akta Otentik, masih dapat dibantah/dilawan.