SIP Law Firm menjadi sponsor utama dalam diskusi panel dengan tema “Keputusan Bisnis Direksi & Tindak Pidana Korupsi dalam Pengelolaan BUMN” yang diselenggarakan oleh SIP Corp pada Rabu, 30 Oktober 2019. Dalam acara ini, dua Partner kami turut mengisi acara. Di antaranya, Dr. Noor Rachmad, S. H., M. H. sebagai pembicara dan Tri Hartanto, S. H., M. Kn. sebagai moderator.
Selain Noor Rachmad dan Tri Hartanto, terdapat dua pembicara yang mengisi materi dalam diskusi tersebut, yakni Dian Puji Simatupang sebagai Akademisi Hukum Administrasi Negara dari universitas Indonesia dan Yitno, MAk., CPA., CMA., CFr.A., CA. sebagai Kepala Sub Auditorat VII B.2 pada Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia.
“Beberapa tahun ini menjadi tahun-tahun yang berat bagi BUMN karena banyaknya kasus korupsi yang menjerat Direksinya sehingga rasanya kita perlu mengetahui perspektif dari unsur pemerintah dan penegak hukum,” ujar Tri Hartanto saat membuka acara.
Menurut Tri, kegiatan diskusi ini juga dilatarbelakangi masih banyaknya pertanyaan dan perdebatan mengenai batasan-batasan kerugian BUMN yang dikategorikan sebagai kerugian keuangan negara.
Dari sisi akademisi, Dian menjelaskan tentang paradoksal penormaan ruang lingkup keuangan negara di Indonesia.
“Terdapat dua konsep definisi keuangan negara, pertama yang mendefinisikan secara luas keuangan negara sepanjang berasal dan bersumber dari keuangan negara, maka masuk menjadi keuangan negara. Sedangkan konsep hukum keperdataan yang dianut dalam hal penyertaan modal pada hakikatnya adalah pengalihan kepemilikan, sehingga ketika negara menyetorkan modal ke BUMN, maka negara akan menerima saham sebagai penggantinya”, terang Dian.
Kemudian Dian juga menerangkan paradoks substansial dalam hal penerapan regulasi terhadap keuangan negara. Menurutnya paradoks ini menimbulkan contradictio in terminis, yaitu pengertiannya satu tapi pelaksanaannya berbeda-beda.
“Paradoks Substansial, ketika kita mengatakan bahwa itu semua sebagai keuangan negara, kebingungan kita secara hukum, mengapa governancenya berbeda, mengapa yang keuangan negara APBN, yang daerah APBD, yang BUMN rencana anggaran tahunan, yang BUMD juga demikian, mengapa berbeda-beda. Maka tadi contrario in terminis, pengertian berbeda dengan pelaksanaan.” ujar Dian.
Menurut Dian, kerugian negara harus dilihat dalam tiga sistem hukum yang berkaitan, yaitu hukum perdata, hukum administrasi negara, dan hukum pidana. Kerugian negara yang disebabkan dwaling (salah kira) tanpa adanya paksaan, tipu muslihat, dan suap seharusnya masuk ke ranah hukum administrasi negara, bukan ranah pidana.
Pandangan disampaikan oleh Yitno selaku auditor BPK yang sudah berpengalaman memeriksa indikasi kerugian negara, memahami bahwa BUMN dan BUMD masuk dalam lingkup keuangan negara.
“BPK memiliki kewenangan untuk menilai dan menetapkan jumlah kerugian negara, serta memberikan keterangan sebagai ahli dalam proses peradilan”, tegas Yitno.
Yitno juga menceritakan banyaknya temuan di lapangan dalam memeriksa indikasi kerugian negara dalam pengadaan barang/jasa oleh BUMN, sudah dimulai sejak awal prosesnya, seperti penentuan HPS yang terlalu tinggi dan markup.
“Dalam BPK tidak ada istilah pidana, melainkan istilah yang digunakan adalah kecurangan, yang biasanya ada unsur kesengajaan, baik disebabkan karena adanya kesempatan, tekanan, dan alasan pembenaran”, ujar auditor BPK ini.
Menurut Yitno, BPK berperan untuk menilai dan/atau menetapkan jumlah kerugian negara yang diakibatkan oleh Perbuatan Melawan Hukum baik sengaja maupun lalai yang dilakukan oleh BUMN/BUMD.
Dari sudut pandang pidana, Noor menerangkan bahwa tindakan atau keputusan Direksi yang menyebabkan kerugian negara perlu dilihat dari dua sudut. Pertama terkait orangnya, yang kedua terkait perbuatanya.
“Perbuatan itu adalah perbuatan yang memenuhi rumusan delik yang ditentukan dalam UU, kemudian orangnya untuk mengetahui sifat batinnya,” ujar mantan pejabat kejaksaan ini.
Noor menerangkan bahwa perbuatan yang sudah memenuhi rumusan delik, dan ada niat jahat atau mens rea dalam sifat batin itu, serta ada kesalahan yang dilakukan karena sengaja atau lalai, lalu tidak ada alasan pemaaf atau alasan pembenar terhadap tindakan orang itu, maka hal ini bisa dibawa ke pengadlian.
Noor juga memastikan bahwa selama Direksi memenuhi prinsip Business Judgement Rule (BJR) dan tidak melanggar aturan yang ada, maka tidak perlu dikhawatirkan.
“Jadi kepada DIreksi dalam melangkah, harap perhatikan prinsip-prinsip Good Corporate Governance, Mitigasi Risiko, serta regulasi-regulasi yang ada, sebagai rambu-rambu dalam mengambil keputusan”, tegas Noor.
Menutup acara diskusi ini, Tri Hartanto mengambil kesimpulan bahwa kompleksitas yang dihadapi BUMN adalah karena banyaknya regulasi yang harus ditaati serta risiko terjadinya kerugian negara, sedangkan dari sisi bisnis dituntut untuk memperoleh laba dan bersaing dengan perusahaan swasta yang sifatnya lebih fleksibel. Sehingga perlu campur tangan pemerintah dalam memangkas aturan-aturan yang bisa menghambat kinerja BUMN dan perlindungan terhadap Direksi yang sudah menerapkan prinsip BJR.
SIP Corp selaku penyelenggara acara merupakan perusahaan penyedia jasa MICE (Meeting, Incentive, Conference, Exhibition) yang memberikan kemudahan bagi kliennya dalam menyelenggarakan berbagai kegiatan wisata konvensi. Perusahaan ini menjadi salah satu solusi bisnis berbagai instansi dalam mengadakan pertemuan hingga pameran.