Oleh Intan Cahya Puspita Sari, S.H., M.Kn
Seiring dengan perkembangan zaman, minat masyarakat terhadap perbankan syariah semakin meningkat. Hal tersebut bisa dilihat dari semakin banyaknya dana yang disalurkan oleh perbankan syariah kepada masyarakat dengan menggunakan beberapa macam skim yang dimiliki oleh perbankan Syariah, hingga menimbulkan sengketa antara bank dengan nasabahnya. Sengketa atau “dispute” merupkan fenomena sosial yang sering ditemukan dalam kehidupan bermasyarakat. Sengketa dapat menyangkut persoalan keluarga maupun persoalan bisnis yang apabila tidak diselesaikan secara baik dapat berkembang menjadi konflik yang meresahkan. Oleh karena itu, setiap pihak yang terlibat tentu memikirkan cara penyelesaian sengketa (“dispute settlement”) tersebut.
Sengketa di bidang perbankan pada dasarnya sudah lazim dan lumrah terjadi dalam bidang bisnis, hingga menuntut kita untuk mengetahui dan memahami lebih lanjut mengenai upaya penyelesaian sengketa yang kerap terjadi antara bank dengan nasabahnya.
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, memberikan perluasan ruang lingkup kewenangan terhadap Pengadilan Agama, yang semula hanya berwenang untuk memeriksa dan memutus perkara dibidang perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq dan shadaqah, kini perkara mengenai ekonomi syariah menjadi kewenangan Pengadilan Agama, yakni perbuatan-perbuatan atau kegiatan usaha yang dilaksanakan menurut prinsip Syariah.
Baca Juga: Menghadapi Potensi Sengketa Warisan
Sebagaimana yang kita ketahui, Bank Syariah merupakan salah satu bagian dari kegiatan ekonomi Syariah yang mengharuskan menerapkan prinsip Syariah dalam menjalankan kegiatan usahanya, dimana prinsip syariah merupakan prinsip hukum Islam dalam kegiatan perbankan berdasarkan fatwa yang dikeluarkan oleh lembaga Dewan Syariah Nasional (DSN) yang memiliki kewenangan dalam penetapan fatwa di bidang syariah.
Seperti diuraikan di atas, meskipun perbankan Syariah dilandasi atas dasar prinsip Syariah, namun tidak menutup kemungkinan terjadi sengketa antara pihak yang mengikatkan diri dengan perjanjian (akad) Syariah. Dalam lalu lintas pembayaran berdasarkan perjanjian yang telah disepakati antara Bank dengan Nasabahnya, perlu diperhatikan terkait adanya klausula penyelesaian sengketa yang terdapat dalam perjanjian. Amanat undang-undang memberikan pilihan penyelesaian sengketa dibidang perbankan Syariah yang dapat ditempuh melalui jalur litigasi ataupun non litigasi.
Penyelesaian sengketa Perbankan Syariah secara litigasi menjadi kewenangan absolut Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama, karena para pihak tidak boleh memperjanjikan lain akibat terikat dengan Undang-Undang yang telah menetapkan adanya kewenangan mutlak bagi suatu badan peradilan untuk menyelesaikan sengketa, namun secara non litigasi para pihak dibebaskan untuk membuat pilihan forum penyelesaian sengketa (settlement dispute option), termasuk menyelesaikan sengketanya diluar pengadilan, seperti melalui Badan Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas) yang putusannya bersifat final dan binding. Penyelesaian sengketa secara non litigasi dapat menjadi solusi dalam penyelesaian sengketa dibidang perbankan Syariah karena terdapat beberapa keunggulan dibandingkan dengan penyelesaian melalui litigasi atau pengadilan, karena penyelesaian sengketanya dapat dilakukan dengan cepat, biaya murah, bersifat confidential, atas dasar prinsip win-win solution, lebih partisipatif, dan mengurangi penumpukan perkara di pengadilan, tanpa mengurangi sifat profesionalisme.