Dalam praktik hukum perdata, penyelesaian sengketa tidak hanya dilakukan melalui jalur pengadilan, tetapi juga melalui kesepakatan damai antara para pihak yang bersengketa. Kesepakatan tersebut dikenal sebagai settlement agreement atau perjanjian perdamaian, yang memiliki kekuatan hukum mengikat sebagaimana kontrak pada umumnya. Perjanjian ini berperan penting dalam menjaga efisiensi proses hukum, serta memberikan kepastian bagi para pihak dalam menyelesaikan permasalahan secara sukarela.

Namun timbul pertanyaan, yakni ketika salah satu pihak dalam settlement agreement meninggal dunia, apakah perjanjian tersebut otomatis berakhir, ataukah hak dan kewajibannya dapat diteruskan kepada ahli waris? Untuk menjawabnya, perlu dilihat dasar hukum yang mengatur perjanjian dalam KUHPerdata, khususnya yang berkaitan dengan asas kepribadian dan ketentuan pewarisan. 

 

Dasar Hukum Settlement Agreement dalam KUHPerdata

 

Settlement agreement atau perjanjian perdamaian diatur dalam Pasal 1851 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) yang menyebutkan:

“Perdamaian adalah suatu perjanjian dengan mana kedua belah pihak, dengan menyerahkan, menjanjikan, atau menahan suatu barang mengakhiri suatu perkara yang sedang bergantung atau mencegah timbulnya suatu perkara. Perjanjian ini tidaklah sah melainkan jika dibuat secara tertulis.”

Ketentuan ini menegaskan bahwa perjanjian perdamaian merupakan kontrak hukum yang mengakhiri atau mencegah sengketa, dan harus dibuat dalam bentuk tertulis agar sah secara hukum. Dalam praktiknya, settlement agreement banyak digunakan di berbagai bidang hukum, seperti hubungan kerja, bisnis, dan keperdataan umum. 

Selain itu, perjanjian pada dasarnya bersifat pribadi. Perjanjian bersifat pribadi adalah kontrak yang hanya mengikat pihak-pihak yang membuat atau terlibat di dalamnya, bukan pihak ketiga. Asas kepribadian ini diatur dalam Pasal 1315 dan Pasal 1340 KUHPerdata. Kedua Pasal tersebut menyatakan bahwa suatu perjanjian hanya mengikat pihak-pihak yang membuatnya dan tidak dapat menimbulkan hak atau kewajiban bagi pihak ketiga. Dengan demikian, perjanjian pada dasarnya tidak serta merta diwariskan, kecuali jika menyangkut hak dan kewajiban yang bersifat kebendaan (vermogensrecht)

 

Mengenal Konsep Perjanjian Bersifat Pribadi (Intuitu Personae)

 

Konsep perjanjian bersifat pribadi atau intuitu personae adalah perjanjian yang didasarkan pada kepercayaan dan kemampuan pribadi pihak-pihak tertentu, bukan pada kedudukan atau kekayaan, sehingga perjanjian tersebut berakhir dengan meninggalnya salah satu pihak karena pihak lainlah yang diharapkan akan melaksanakan kewajiban dan hak tersebut secara pribadi. Dalam perjanjian semacam ini, kehadiran pribadi pihak tertentu merupakan hal esensial, sehingga apabila pihak tersebut meninggal dunia, maka perjanjian otomatis berakhir. 

Contoh perjanjian intuitu personae adalah pemberian kuasa (lastgeving), di mana kematian pemberi kuasa mengakhiri perjanjian tersebut karena hubungan hukum didasarkan pada kepercayaan pribadi. Dengan demikian, tidak semua perjanjian dapat diteruskan oleh ahli waris, tergantung pada sifat dan objek dari perjanjian itu sendiri.

 

Kedudukan Ahli Waris dalam Hukum Perdata

 

Ahli waris secara hukum bisa menggantikan posisi pewaris jika ahli waris tersebut meninggal lebih dulu sebelum pewaris, dan hak tersebut diatur oleh konsep ahli waris pengganti, baik dalam Hukum Islam maupun Hukum Perdata di Indonesia. Dalam konteks hukum waris, Pasal 833 KUHPerdata menyatakan:

“Para ahli waris, dengan sendirinya karena hukum, mendapat hak milik atas semua barang, semua hak dan semua piutang orang yang meninggal.”

Pasal ini menjelaskan bahwa hak dan kewajiban yang bersifat kebendaan akan otomatis beralih kepada ahli waris pada saat pewaris meninggal dunia. Namun, apabila timbul perselisihan mengenai siapa ahli waris yang sah atau siapa yang berhak atas harta peninggalan, hakim dapat memerintahkan agar seluruh harta peninggalan disimpan terlebih dahulu hingga sengketa tersebut selesai. 

Selain itu, dikenal pula konsep ahli waris pengganti, yaitu keturunan (anak atau cucu) dari ahli waris yang telah meninggal dunia sebelum pewaris. Mereka berhak menggantikan posisi orang tua mereka dalam menerima warisan, baik dalam sistem Hukum Perdata maupun Hukum Islam di Indonesia

Baca juga: Aturan Warisan dalam Pernikahan Beda Negara

 

Penerusan Hak dan Utang Pewaris dalam Perjanjian

 

Meskipun asas kepribadian menegaskan bahwa perjanjian bersifat pribadi, dalam praktiknya, hak dan kewajiban yang berkaitan dengan harta kekayaan dapat diwariskan. Prinsip umumnya adalah bahwa hak dan kewajiban yang bersifat kebendaan tetap diteruskan oleh ahli waris, sedangkan yang bersifat pribadi berakhir dengan kematian. 

Dalam hal ini, terdapat beberapa prinsip penting yang perlu diperhatikan, yakni:

  • Hak dan Kewajiban Beralih Secara Hukum

Sejak kematian seseorang, hak dan kewajiban (terutama dalam hal harta kekayaan) dari pewaris beralih kepada ahli warisnya.

  • Tanggung Jawab Terbatas pada Harta Warisan

Tanggung jawab ahli waris untuk melunasi utang pewaris terbatas pada nilai harta warisan yang mereka terima.

  • Tidak Wajib Menggunakan Harta Pribadi

Ahli waris tidak diwajibkan untuk menggunakan harta pribadi mereka untuk membayar utang pewaris jika harta peninggalannya tidak mencukupi.

Dengan demikian, tidak semua kewajiban gugur karena kematian, terutama apabila menyangkut hubungan hukum yang memiliki nilai ekonomi dan dapat diwariskan.

Settlement agreement merupakan salah satu instrumen penting dalam penyelesaian sengketa secara damai di luar pengadilan. Berdasarkan ketentuan KUHPerdata, perjanjian ini memiliki kekuatan hukum yang sah apabila dibuat secara tertulis dan hanya mengikat pihak-pihak yang terlibat di dalamnya. Namun, dalam hal perjanjian tersebut menyangkut hak dan kewajiban yang bersifat kebendaan, maka akibat hukumnya dapat berlanjut kepada ahli waris pewaris.

Prinsipnya, perjanjian yang bersifat pribadi berakhir dengan kematian pihaknya, sementara hak dan kewajiban harta kekayaan dapat diteruskan oleh ahli waris sesuai dengan ketentuan Pasal 833 KUHPerdata. Oleh karena itu, penting bagi para pihak untuk menyusun isi perjanjian secara rinci, termasuk mencantumkan klausul tentang konsekuensi hukum apabila salah satu pihak meninggal dunia. Hal ini bertujuan untuk memberikan kepastian hukum, mencegah sengketa di kemudian hari, serta melindungi hak-hak ahli waris secara proporsional.*** 

Baca juga: Hak Waris Bagi Anak di Luar Garis Perkawinan

 

Daftar Hukum:

  • Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata).

Author / Contributor:

Ridho IllahiAlfath Ridho Illahi S.H., LL.M.
Associate

Contact:
Mail       : @siplawfirm.id
Phone    : +62-21 799 7973 / +62-21 799 7975