Asas-asas umum pemerintahan yang baik (good governance) dalam pemerintahan, seperti kepentingan umum, kepastian hukum, serta keterbukaan, umumnya menjadi pilar utama dalam menjalankan pemerintahan yang ideal. Namun, dalam prakteknya membentuk pemerintahan yang ideal tidak semudah yang dibayangkan. Dalam kegiatan pemerintahan, masih sering dijumpai berbagai bentuk penyimpangan yang terjadi dalam pelayanan publik maupun proses administrasi pemerintahan. Sehingga, dapat dikatakan bahwa menjalankan pemerintahan yang ideal tidak semudah membalik telapak tangan, jika hanya menerapkan asas-asas good governance, tanpa diimbangin dengan pelaksanaan yang optimal.

Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik (“UU Pelayanan Publik”) menjelaskan bahwa pelayanan publik merupakan kegiatan atau rangkaian kegiatan yang bertujuan untuk melakukan pemenuhan kebutuhan pelayanan bagi setiap warga negara atas barang, jasa, dan/atau pelayanan administratif yang disediakan oleh penyelenggara pelayanan publik. Pada pelayanan publik yang berhubungan dengan administrasi pemerintahan, dalam prakteknya sering kali terjadi penyimpang yang merugikan masyarakat selaku warga negara, penyimpangan ini dikenal dengan istilah maladministrasi. Secara umum, maladministrasi didefinisikan sebagai perbuatan melawan hukum dan etika dalam proses pelayanan publik. Keberadaan maladministrasi bukan hanya merugikan hak warga negara atas pelayanan publik yang layak, tetapi juga melemahkan kepercayaan masyarakat terhadap institusi pemerintah. 

Apa itu Maladministrasi?

Dalam sistem masyarakat demokratis, maladministrasi menunjukkan kegagalan pemerintah dalam memenuhi hak-hak warga negara. Artinya, pemerintah tidak mampu memberikan peningkatan maupun perbaikan kualitas pelayanan publik sebagaimana yang diharapkan masyarakat. Berdasarkan Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia (“UU Ombudsman”) menjelaskan bahwa maladministrasi adalah perilaku atau perbuatan melawan hukum, yang tidak sesuai dengan hukum atau aturan, seperti menyalahgunakan wewenang, menggunakan kekuasaan untuk tujuan yang salah, atau mengabaikan kewajiban hukum dalam pelayanan publik. Perbuatan maladministrasi yang dilakukan oleh pejabat atau penyelenggara negara  dapat menimbulkan kerugian, baik secara materi maupun non-materi, bagi masyarakat atau individu. 

Penyelenggara negara yang dapat dikaitkan dengan praktik maladministrasi tidak hanya terbatas pada pejabat publik yang melaksanakan fungsi pelayanan sesuai ketentuan perundang-undangan. Subjek maladministrasi juga mencakup Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), Badan Hukum Milik Negara (BHMN), hingga pihak swasta atau individu yang diberi mandat menyelenggarakan pelayanan publik tertentu, terutama apabila sebagian atau seluruh pendanaannya bersumber dari APBN maupun APBD. Dengan kata lain, lingkup pertanggungjawaban maladministrasi cukup luas karena mencakup setiap entitas yang menjalankan fungsi pelayanan publik atas nama negara.

Oleh karena itu, berbicara mengenai maladministrasi bukan hanya menyinggung lemahnya tata kelola pemerintahan yang bertentangan dengan asas good governance, tetapi juga menyangkut pelanggaran hak-hak dasar masyarakat dalam memperoleh pelayanan publik yang layak, adil, dan transparan. Dalam konteks negara demokratis, maladministrasi dapat dipandang sebagai bentuk pengingkaran negara terhadap prinsip akuntabilitas dan perlindungan hak warga negara.

Bentuk-Bentuk Maladministrasi

Melalui Peraturan Ombudsman Nomor 58 Tahun 2023 tentang Tata Cara Pemeriksaan dan Penyelesaian Laporan (“Peraturan Ombudsman 58/2023”), telah menguraikan bentuk-bentuk dari maladministratif yang terjadi dalam tata kelola pemerintahan, sebagaimana telah termuat dalam Pasal 5 Peraturan ini, bentuk-bentuk ini meliputi:

  1. Perbuatan melawan hukum, yaitu tindakan yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan atau asas-asas umum pemerintahan yang baik.
  2. Penyalahgunaan wewenang, yakni penggunaan kewenangan yang melampaui batas, mencampuradukkan kewenangan, atau bertindak sewenang-wenang dalam pengambilan keputusan maupun tindakan.
  3. Kelalaian atau pengabaian kewajiban hukum, yaitu tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana diperintahkan undang-undang, keputusan hukum, atau putusan pengadilan yang berkekuatan tetap.
  4. Penundaan berlarut, yaitu menyelesaikan layanan melebihi standar waktu pelayanan.
  5. Tidak memberikan pelayanan, yakni mengabaikan kewajiban dalam memberikan layanan.
  6. Tidak kompeten, yaitu memberikan layanan yang tidak sesuai dengan kemampuan atau keahlian.
  7. Penyimpangan prosedur, yaitu pelayanan publik yang tidak sesuai dengan prosedur yang berlaku.
  8. Permintaan atau penerimaan imbalan, yakni meminta atau menerima uang, barang, atau jasa secara tidak sah sebagai imbalan atas layanan.
  9. Tidak patut, yaitu perilaku tidak layak saat memberikan layanan.
  10. Berpihak, yaitu memberikan keuntungan kepada satu pihak dan merugikan pihak lain tanpa mempertimbangkan kepentingan bersama.
  11. Diskriminasi, yakni memberikan layanan berbeda atau perlakuan tidak adil antar pengguna layanan.
  12. Konflik kepentingan, yaitu layanan yang dipengaruhi oleh kepentingan pribadi, kelompok, atau hubungan kekeluargaan, sehingga tidak diberikan sebagaimana mestinya.

Salah satu contoh maladministrasi yang sering di bidang pemerintahan adalah Korupsi yang timbul akibat penyalahgunaan wewenang. Dalam hal ini, seorang pejabat atau penyelenggara negara tidak menggunakan kewenangan yang dimilikinya sesuai dengan tujuan awal pemberian wewenang tersebut. Walaupun dengan dalih menjalankan kewenangan untuk kepentingan publik, namun pada kenyataannya wewenang tersebut dipergunakan untuk tujuan lain yang bersifat menyimpang. Penyalahgunaan wewenang ini dapat berupa: tindakan memperkaya diri sendiri, orang lain, kelompok tertentu, bahkan korporasi. Praktik ini tidak hanya mencederai prinsip integritas dan tanggung jawab seorang pejabat publik, tetapi juga secara nyata menimbulkan kerugian bagi keuangan negara.

Baca juga: Comparative Analysis of Tax Systems in Indonesia and Malaysia

Upaya dalam Mencegah Maladministrasi

Dalam mencegah dan menangani maladministrasi yang terjadi dalam bidang pemerintahan, telah dibentuk sebuah lembaga negara yang memiliki tugas dan fungsi melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan pelayanan publik dalam pemerintahan, lembaga negara ini bernama Ombudsman. Ombudsman sebagai lembaga yang berperan mengawasi penyelenggaraan pelayanan publik, memiliki keterkaitan langsung dengan berbagai persoalan dalam pelaksanaan layanan kepada masyarakat.

Fungsi Ombudsman sebagai lembaga pengawas pelayanan publik dalam administrasi pemerintahan, telah termuat dalam Pasal 6 UU Ombudsman. Lebih lanjut, dalam Pasal 7 mengatur terkait tugas Ombudsman untuk mencegah dan menangani maladministrasi, yakni meliputi:

  1. menerima Laporan atas dugaan Maladministrasi dalam penyelenggaraan pelayanan publik;
  2. melakukan pemeriksaan substansi atas Laporan;
  3. menindaklanjuti Laporan yang tercakup dalam ruang lingkup kewenangan Ombudsman;
  4. melakukan investigasi atas prakarsa sendiri terhadap dugaan Maladministrasi dalam penyelenggaraan pelayanan publik;
  5. melakukan koordinasi dan kerja sama dengan lembaga negara atau lembaga pemerintahan lainnya serta lembaga kemasyarakatan dan perseorangan;
  6. membangun jaringan kerja;
  7. melakukan upaya pencegahan Maladministrasi dalam penyelenggaraan pelayanan publik; dan
  8. melakukan tugas lain yang diberikan oleh undang-undang. 

Untuk memperkuat peran Ombudsman dalam mencegah terjadinya maladministrasi, telah diterbitkan  Peraturan Ombudsman Nomor 41 Tahun 2019 tentang Tata Cara Pencegahan Maladministrasi Penyelenggaraan Pelayanan Publik (“Peraturan Ombudsman 41/2019”). Regulasi ini menjadi dasar hukum bagi pedoman kerja Ombudsman dalam melaksanakan fungsi pengawasan dan pencegahan agar praktik maladministrasi dapat diminimalisir sejak dini. Namun untuk mengoptimalkan hal tersebut, Ombudsman tidak dapat bekerja sendiri. Efektivitas upaya pencegahan maupun penanganan pelanggaran administratif sangat bergantung pada dukungan dan partisipasi aktif masyarakat. Peran masyarakat diwujudkan melalui pengawasan sosial, termasuk melaporkan dugaan pelanggaran, penyalahgunaan wewenang, atau tindakan melawan hukum yang dilakukan aparat penyelenggara pelayanan publik. Dengan adanya sinergi antara Ombudsman dan masyarakat, diharapkan tercipta penyelenggaraan pelayanan publik yang lebih transparan, akuntabel, dan sesuai dengan asas good governance.***

Baca juga: Interagency Collaboration: A Legal Pillar of Effective Public Service in Indonesia

Daftar Hukum:

  • Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik (“UU Pelayanan Publik”).
  • Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia (“UU Ombudsman”).
  • Peraturan Ombudsman Nomor 58 Tahun 2023 tentang Tata Cara Pemeriksaan dan Penyelenggaraan Laporan (“Peraturan Ombudsman 58/2023”).
  • Peraturan Ombudsman Nomor 41 Tahun 2019 tentang Tata Cara Pencegahan Maladministrasi Penyelenggaraan Pelayanan Publik (“Peraturan Ombudsman 41/2019”).

Referensi:

  • Mengenal Maladministrasi. Ombudsman (Diakses pada tanggal 10 September 2025 pukul 10.27 WIB).
  • Apa itu Maladministrasi dan Bentuk-Bentuknya. Hukumonline  (Diakses pada tanggal 10 September 2025 pukul 13.38 WIB).
  • Intelijen Pelayanan Publik Transformasi Pencegahan Maladministrasi dalam Optimalisasi Perbaikan Sistem Pelayanan Publik. Ombudsman (Diakses pada tanggal 10 September 2025 pukul 14.27 WIB).