Negara Indonesia menganut sistem demokrasi sejak era proklamasi kemerdekaan pada tahun 1945. Kata demokrasi berasal dari bahasa yunani yang mana kata demos memiliki arti rakyat, sementara kratos berarti pemerintahan. Sistem demokrasi memberi kekuasaan tertinggi kepada rakyat di mana pemerintahan diselenggarakan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Pemerintahan yang mengadopsi sistem pemerintahan demokrasi memberikan kewenangan kepada rakyat untuk turut serta pada penyelenggaraan pemerintahan, baik secara langsung maupun melalui perwakilan.
Salah satu bentuk partisipasi masyarakat terhadap pemerintahan adalah melakukan pengawalan terhadap pembentukan kebijakan publik sebagaimana hal ini tertera pada Pasal 96 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (“UU 13/2022”) yang berbunyi:
“Masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan dan/atau tertulis dalam setiap tahapan Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.”
Partisipasi masyarakat dalam rangka memberikan masukan terhadap pembentukan peraturan perundang-undangan dapat dilaksanakan secara daring dan/atau luring pada kegiatan konsultasi publik, yakni pada kegiatan sebagaimana diatur dalam Pasal 96 ayat (6) UU 13/2022 di antaranya:
- Pelaksanaan rapat dengar pendapat umum;
- Kunjungan kerja;
- Seminar, lokakarya, diskusi; dan/atau
- Kegiatan konsultasi publik lainnya.
Meskipun demikian, berdasarkan Pasal 96 ayat (3) UU 13/2022 masyarakat yang dapat memberi masukan terhadap setiap tahapan pembentukan peraturan perundang-undangan berupa masyarakat yang terdiri atas perseorangan atau sekelompok orang yang terdampak langsung dan/atau berkepentingan atas materi muatan rancangan peraturan perundang-undangan.
Hasil dari kegiatan konsultasi publik menjadi bahan pertimbangan dalam perencanaan, penyusunan, dan pembahasan rancangan peraturan perundang-undangan. Partisipasi masyarakat dalam rangka membentuk rancangan peraturan perundang-undangan bertujuan untuk memastikan bahwa peraturan yang dihasilkan mampu mencerminkan aspirasi, kebutuhan, dan kepentingan masyarakat secara luas, khususnya bagi masyarakat yang terdampak.
Keberadaan kebijakan publik tentu memiliki suatu tujuan tertentu, diantaranya adalah sebagai pengatur untuk menciptakan ketertiban, kesejahteraan, serta mengatasi masalah yang hadir di masyarakat. Pembentukan peraturan didasari atas berbagai asas sebagaimana tertera dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (“UU 12/2011”), yakni:
- Kejelasan tujuan;
- Kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat;
- Kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan;
- Dapat dilaksanakan;
- Kedayagunaan dan kehasilgunaan;
- Kejelasan rumusan; dan
- Keterbukaan
Baca juga: Pentingnya Sertifikat Apostille dalam Mempercepat Legalisasi Dokumen
Thomas R. Dye mengungkapkan bahwa proses penyusunan kebijakan publik terdiri atas beberapa tahapan, di antaranya:
- Identifikasi masalah kebijakan
Pada tahap awal perlu dilakukan identifikasi terhadap permasalahan yang hadir di masyarakat untuk menentukan apakah permasalahan tersebut membutuhkan intervensi dari pemerintah dalam bentuk kebijakan.
- Penyusunan agenda
Permasalahan yang telah diidentifikasi dimasukkan ke dalam agenda kebijakan pemerintah guna menentukan prioritas permasalahan yang akan diatasi melalui kebijakan.
- Perumusan kebijakan
Pada tahap ini dilakukan perancangan kebijakan untuk mendapatkan solusi terbaik terhadap masalah yang telah diputuskan dalam agenda. Output pada tahap ini berupa draft kebijakan yang memuat isi, tujuan, dan mekanisme implementasi.
- Pengesahan kebijakan
Tahap ini merupakan tahapan formal dalam bentuk pengesahan dari yang awalnya berupa rancangan kebijakan menjadi kebijakan resmi melalui prosedur yang berlaku. Pengesahan tersebut akan memberikan kepastian hukum terhadap suatu kebijakan.
- Implementasi kebijakan
Pada tahap ini merupakan langkah awal sebagai pelaksanaan terhadap kebijakan yang telah disahkan oleh pemerintah. Implementasi kebijakan bisa dilakukan melalui berbagai cara, seperti membuat program atau melakukan sosialisasi kepada masyarakat.
- Evaluasi kebijakan
Langkah akhir penyusunan kebijakan publik ini membutuhkan evaluasi terhadap kebijakan maupun implementasi yang telah dilakukan untuk menilai apakah kebijakan tersebut telah berjalan secara efektif, efisien, serta memberikan dampak positif kepada masyarakat atau tidak. Setelah adanya evaluasi, maka pemerintah dapat menetapkan apakah kebijakan tersebut lebih baik diteruskan, diubah, atau dihentikan.
Baca juga: Peran Akuntabilitas dalam Meningkatkan Kepercayaan Publik Terhadap Pemerintah
Pada 23 September 2024 terjadi pengajuan permohonan uji materi Pasal 96 ayat (3) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan ke Mahkamah Konstitusi yang mana pasal tersebut berbunyi sebagai berikut:
“Masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan orang perseorangan atau kelompok orang yang terdampak langsung dan/atau mempunyai kepentingan atas materi muatan Rancangan Peraturan Perundang-undangan.”
Pada lampiran penjelasan Pasal 96 ayat (3) UU 13/2022 menjelaskan bahwa “kelompok orang” yang dimaksud merupakan kelompok/organisasi masyarakat, organisasi profesi, lembaga swadaya masyarakat yang terdaftar di kementerian yang berwenang, masyarakat hukum adat, dan penyandang disabilitas. Pada frasa “yang terdaftar di kementerian yang berwenang” bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 28 ayat (1), dan Pasal 28C ayat (2) UUD 1945 karena membatasi ruang partisipasi masyarakat.
Jika dibaca secara sistematis antara ketentuan dalam Pasal 96 ayat (3) UU 13/2022 dan penjelasannya, dapat dikatakan bahwa pasal tersebut tidak memiliki kepastian hukum untuk dijalankan karena sebagaimana tertera dalam klausa Pasal 96 ayat (3) UU 13/2022 yang berbunyi “yang terdampak langsung dan/atau mempunyai kepentingan”. Akan tetapi, pada penjelasan pasal tersebut termuat mengenai kelompok masyarakat harus terdaftar pada kementerian yang berwenang. Dikarenakan tidak memiliki kepastian hukum, status ketentuan norma menimbulkan permasalahan konstitusional yang merugikan pemohon.
Hak konstitusional dalam UUD 1945 yang menjadi dasar pemohon adalah beberapa pasal sebagai berikut:
- Pasal 1 ayat (2) UUD 1945;
- Pasal 28 ayat (1) UUD 1945;
- Pasal 28C ayat (2) UUD 1945; dan
- Pasal 28D ayat (1) UUD 1945
Setelah melewati proses persidangan, berdasarkan penilaian atas fakta dan hukum telah diputus dalam Rapat Permusyawaratan Hakim oleh 8 (delapan) orang hakim konstitusi yang menyatakan bahwa permohonan yang dilakukan oleh pemohon dinyatakan tidak dapat diterima.
Baca juga: Mengapa “Lapor Mas Wapres” Penting untuk Pengaduan Masyarakat?
Daftar Hukum:
- Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (“UU 13/2022”).
- Putusan Nomor 144/PUU-XXII/2024.
Referensi:
- Muadi, S., MH, I., & Sofwani, A. (2016). Konsep dan Kajian Teori Perumusan Kebijakan Publik. JRP (Jurnal Review Politik), 6(2), 195–224. https://doi.org/10.15642/jrp.2016.6.2.195-224.
- Dominasi Kekuasaan Presiden di Legislatif, Mahasiswa Uji UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Mkri.id. (Diakses pada 15 Januari 2025 pukul 14.45).
- Sistem Demokrasi di Indonesia. Kompas.id. (Diakses pada 15 Januari 2025 pukul 10.15).