Perlindungan terhadap Hak Kekayaan Intelektual (HKI) menjadi elemen vital dalam menunjang inovasi, kreativitas, dan pertumbuhan ekonomi nasional. Namun, seiring meningkatnya nilai ekonomi dari karya intelektual, potensi terjadinya sengketa antara pemilik hak dan pihak ketiga pun semakin tinggi. Sengketa HKI dapat mencakup pelanggaran Hak Cipta, Merek dan Indikasi Geografis, Paten, Desain Industri, Rahasia Dagang, hingga Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu (DTLST).
Oleh karena itu, diperlukan mekanisme penyelesaian sengketa yang efektif, efisien, dan sesuai dengan aturan dari masing-masing jenis HKI. Penyelesaian sengketa HKI di Indonesia dapat ditempuh melalui 2 (dua) jalur utama, yakni litigasi (pengadilan) dan non-litigasi (di luar pengadilan). Pilihan mekanisme ini bergantung pada jenis HKI yang disengketakan, serta strategi penyelesaian yang dipilih oleh para pihak.
Mekanisme Penyelesaian Sengketa HKI melalui Litigasi (Pengadilan)
Di Indonesia, penyelesaian sengketa sebagian besar HKI seperti Hak Cipta, Paten, Merek dan Indikasi Geografis, Desain Industri, dan DTLST dilakukan melalui Pengadilan Niaga. Pengadilan Niaga adalah pengadilan khusus di bawah yurisdiksi Pengadilan Negeri, namun memiliki kewenangan terbatas untuk menangani perkara-perkara tertentu yang bersifat komersial, termasuk HKI. Proses litigasi di Pengadilan Niaga biasanya melibatkan gugatan yang diajukan oleh pemilik hak terhadap pihak yang diduga melakukan pelanggaran.
Penyelesaian sengketa Hak Cipta dapat dilakukan melalui alternatif penyelesaian sengketa, arbitrase, atau pengadilan, sebagaimana diatur dalam Pasal 95 ayat (1) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta (“UU HC”). Terkait penyelesaian sengketa melalui Pengadilan Niaga juga tertera dalam Pasal 83 ayat (3) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis (“UU MIG”) bahwa gugatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan kepada Pengadilan Niaga. Proses litigasi ini kerap menjadi pilihan utama ketika sengketa menyangkut kepentingan bisnis berkala besar atau ketika upaya mediasi telah gagal dilakukan.
Mekanisme penyelesaian sengketa melalui litigasi diharapkan memberi kepastian hukum yang lebih cepat karena prosedur di Pengadilan Niaga relatif lebih sederhana dan memiliki tenggat waktu tertentu. Selain gugatan perdata, Pengadilan Niaga juga berwenang memeriksa permohonan pembatalan atau penghapusan hak kekayaan intelektual. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2000 tentang Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu (“UU DTLST”) mengatur terkait gugatan pembatalan pendaftaran yang diatur dalam Pasal 30 ayat (1) bahwa:
“Gugatan pembatalan pendaftaran Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu dapat diajukan oleh pihak yang berkepentingan dengan alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 atau Pasal 3 kepada Pengadilan Niaga”.
Namun, tidak semua jenis HKI ditangani oleh Pengadilan Niaga. Sengketa yang berkaitan dengan Rahasia Dagang, sesuai dalam Pasal 11 ayat (2) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2000 tentang Rahasia Dagang (“UU RD”) diselesaikan melalui Pengadilan Negeri. Dalam Pasal 12 UU RD turut dijelaskan:
“Selain penyelesaian gugatan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11, para pihak dapat menyelesaikan perselisihan tersebut melalui arbitrase atau alternatif penyelesaian sengketa”.
Gugatan terhadap pelanggaran Rahasia Dagang diajukan secara perdata dan/atau pidana, tergantung pada bentuk pelanggaran dan kerugian yang diderita oleh pemilik hak. UU Rahasia Dagang mengatur ketentuan pidana jika terjadi kasus pelanggaran yang diatur melalui Pasal 17 ayat (1) dan (2) UU RD:
- Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak menggunakan Rahasia Dagang pihak lain atau melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 atau Pasal 14 dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan/atau denda paling banyak Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).
- Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) merupakan delik aduan.
Gugatan terkait pelanggaran rahasia dagang di Indonesia merupakan delik aduan, yang artinya proses hukum terhadap pelanggaran rahasia dagang hanya dapat dilakukan jika ada laporan atau aduan dari pihak yang merasa dirugikan.
Baca juga: Peran HKI dalam Mendorong Pertumbuhan Ekonomi Kreatif di Indonesia
Penyelesaian Sengketa HKI melalui Non-Litigasi
Penyelesaian sengketa HKI non-litigasi melalui alternatif penyelesaian sengketa (Alternative Dispute Resolution/ADR) semakin populer dipilih karena dianggap lebih fleksibel dan efisien. Di Indonesia, dasar hukum utama ADR adalah Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (“UU 30/1999”).
Pada Pasal 1 angka 1 UU 30/1999 dijelaskan bahwa arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa. Dalam arbitrase, sengketa diselesaikan oleh arbiter yang memiliki keahlian di bidang HKI dengan keputusan yang bersifat final dan mengikat.
Sementara Alternatif Penyelesaian Sengketa didefinisikan sebagai lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak, yakni penyelesaian di luar pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau penilaian ahli, sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 10 UU 30/1999. Dalam praktiknya, proses mediasi sering digunakan pada tahap awal sengketa, khususnya dalam konteks pelanggaran hak cipta dan merek. Jika mediasi tidak berhasil, para pihak dapat memilih arbitrase yang bersifat mengikat dan final.
Pada umumnya, lembaga arbitrase mempunyai kelebihan dibandingkan dengan lembaga peradilan, di antaranya:
- Dijamin kerahasiaan sengketa para pihak;
- Dapat dihindari kelambatan yang diakibatkan karena hal prosedural dan administratif;
- Para pihak dapat memilih arbiter yang menurut keyakinannya mempunyai pengetahuan, pengalaman, serta latar belakang yang cukup mengenai masalah yang disengketakan, jujur, dan adil;
- Para pihak dapat menentukan pilihan hukum untuk menyelesaikan masalahnya serta proses dan tempat penyelenggaraan arbitrase; dan
- Putusan arbiter merupakan putusan yang mengikat dan dengan melalui tata cara (proses) sederhana saja ataupun langsung dapat disahkan.
Baca juga: Pengaruh HKI pada Keberlanjutan Bisnis
Mengenal Lembaga BAM HKI
Dalam lingkup internasional, World Intellectual Property Organization (WIPO) telah memiliki badan arbitrase dan mediasi, yakni WIPO Mediation & Arbitration Center yang bermarkas di Jenewa, Swiss. Indonesia pun memiliki lembaga arbitrase di bidang HKI yang dikenal dengan nama Badan Arbitrase dan Mediasi Hak Kekayaan Intelektual (BAM HKI) yang dibentuk pada tahun 2011.
Badan Arbitrase Mediasi Hak Kekayaan Intelektual Indonesia (BAM HKI) adalah lembaga non-pemerintah yang didirikan sebagai forum alternatif penyelesaian sengketa HKI di luar pengadilan. BAM HKI menjadi rujukan utama bagi para pemilik dan pengguna HKI yang menginginkan penyelesaian sengketa secara cepat, murah, dan profesional.
Didirikan berdasarkan rekomendasi Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI), BAM HKI memiliki wewenang untuk menyelenggarakan mediasi, arbitrase, dan konsultasi atas berbagai jenis sengketa HKI, mulai dari pelanggaran lisensi hingga peniruan merek dagang.
Selain itu, BAM HKI juga memberikan layanan edukasi dan konsultasi untuk membantu para pelaku usaha memahami hak dan kewajiban mereka dalam ranah HKI. Ini penting mengingat banyak pelaku UMKM dan startup belum memiliki pemahaman menyeluruh mengenai potensi sengketa yang mungkin terjadi.***
Baca juga: Ini Strategi Perlindungan HKI yang Tepat bagi Produk Lokal!
Daftar Hukum:
- Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta (“UU HC”).
- Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis (“UU MIG”).
- Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2000 tentang Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu (“UU DTLST”).
- Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (“UU 30/1999”).
Referensi:
- Cara Penyelesaian Sengketa Rahasia Dagang. Hukumonline. (Diakses pada 19 Mei 2025 pukul 08.12 WIB).
- Peranan Badan Arbitrase dan Mediasi Hak Kekayaan Intelektual (BAM HKI) dalam Mengatasi Permasalahan Kekayaan Intelektual. Law Binus. (Diakses pada 19 Mei 2025 pukul 09.08 WIB).