Industri manufaktur sering kali melibatkan proses produksi yang kompleks dan rantai pasokan yang panjang, tidak jarang menghadapi berbagai jenis sengketa. Sengketa dalam industri manufaktur di Indonesia berkaitan dengan berbagai pihak yang memiliki kepentingan berbeda, seperti produsen, pemasok, hingga pemasok bahan baku. Sengketa dapat timbul akibat ketidaksepakatan atau konflik tujuan antara pihak-pihak yang terlibat. Terkait dengan sengketa yang umum terjadi dalam industri manufaktur meliputi masalah kualitas produk, keterlambatan pengiriman, dan perselisihan harga. Untuk menyelesaikan sengketa ini, diperlukan metode penyelesaian yang menekankan prinsip win-win solution bagi seluruh pihak yang terlibat.

Arbitrase menjadi salah satu metode alternatif penyelesaian sengketa yang semakin populer di kalangan industri, termasuk sektor manufaktur. Dalam Pasal 1 angka 15 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (“UU PHI”) dijelaskan bahwa Arbitrase Hubungan Industrial yang selanjutnya disebut arbitrase adalah penyelesaian suatu perselisihan kepentingan, dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan, di luar Pengadilan Hubungan Industrial melalui kesepakatan tertulis dari para pihak yang berselisih untuk menyerahkan penyelesaian perselisihan kepada arbiter yang putusannya mengikat para pihak dan bersifat final.

Arbitrase menawarkan solusi yang efisien dan efektif bagi para pihak yang terlibat dalam sengketa dan membutuhkan penyelesaian secara cepat, rahasia, dan final. Sebagaimana diatur dalam Pasal 60 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (“UU Arbitrase”) bahwa putusan arbitrase bersifat final dan mempunyai kekuatan hukum tetap dan mengikat para pihak. Efektivitas arbitrase dalam menyelesaikan sengketa melalui jalur non-litigasi telah diakui secara luas, terutama dalam perselisihan hubungan industrial.

Pada umumnya lembaga arbitrase mempunyai kelebihan dibandingkan dengan lembaga peradilan. Kelebihan tersebut antara lain:

  1. Dijamin kerahasiaan sengketa para pihak;
  2. Dapat dihindari kelambatan yang diakibatkan karena hal prosedural dan administratif;
  3. Para pihak dapat memilih arbiter yang menurut keyakinannya mempunyai pengetahuan, pengalaman serta latar belakang yang cukup mengenai masalah yang disengketakan, jujur, dan adil;
  4. Para pihak dapat menentukan pilihan hukum untuk menyelesaikan masalahnya serta proses dan tempat penyelenggaraan arbitrase; dan
  5. Putusan arbiter merupakan putusan yang mengikat para pihak dan dengan melalui tata cara (prosedur) sederhana saja ataupun langsung dapat dilaksanakan. 

Baca juga: Menakar Keabsahan Peninjauan Kembali dalam Sengketa Arbitrase di Indonesia

Fungsi arbitrase dalam penyelesaian sengketa manufaktur sangat beragam. Pertama, arbitrase menyediakan forum netral bagi para pihak untuk menyelesaikan sengketa tanpa harus melalui pengadilan yang umumnya memerlukan waktu penyelesaian yang lama. Pemilihan arbitrase sebagai upaya penyelesaian sengketa harus berdasarkan kesepakatan para pihak yang terkait, sebagaimana diatur dalam Pasal 2 UU Arbitrase bahwa sengketa atau beda pendapat yang timbul atau mungkin timbul dari hubungan hukum akan diselesaikan dengan cara arbitrase.

Kedua, para pihak memiliki kebebasan untuk memilih arbiter sesuai dengan yang disepakati bersama dan memiliki keahlian di bidang yang disengketakan, sehingga dapat memahami isu-isu teknis kompleks yang mungkin timbul dalam sengketa. Namun, dalam hal para pihak tidak dapat mencapai kesepakatan mengenai pemilihan arbiter atau tidak ada ketentuan yang dibuat mengenai pengangkatan arbiter, Ketua Pengadilan Negeri menunjuk arbiter atau majelis arbitrase, sebagaimana diatur dalam Pasal 13 ayat (1) UU Arbitrase. Dalam sengketa manufaktur, pemilihan arbiter yang memiliki kemampuan dan pengalaman di bidang tersebut berpeluang untuk menangani sengketa dengan efektif dan mampu membuat putusan yang tepat dan adil bagi para pihak.

Untuk menyelesaikan sengketa manufaktur, terdapat beberapa prosedur yang harus dilaksanakan, yakni melakukan pendaftaran dan penyampaian permohonan arbitrase oleh pemohon kepada Sekretariat Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI). Dalam permohonan, pemohon harus mencantumkan nama dan alamat para pihak yang terlibat dalam sengketa, keterangan tentang fakta-fakta dan dasar hukum permohonan arbitrase, rincian permasalahan, tuntutan dan/atau nilai tuntutan yang diinginkan. Kemudian pemohon harus melampirkan sejumlah dokumen perjanjian yang memuat klausul arbitrase atau pun dokumen-dokumen yang relevan dengan sengketa tersebut. 

Selama proses arbitrase, para pihak yang terlibat diberikan kesempatan untuk melakukan negosiasi untuk mencapai kesepakatan yang diinginkan. Namun jika hal tersebut tidak tercapai, arbiter akan membuat keputusan final dan mengikat. Putusan ini harus dilaksanakan oleh para pihak sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Keputusan arbitrase yang mengikat memberikan kepastian hukum bagi semua pihak dan memungkinkan pihak-pihak yang terkait untuk segera melanjutkan aktivitas bisnis tanpa terganggu oleh penyelesaian sengketa yang berlarut-larut.

Baca juga: Peran Konsultan Hukum dalam Proses Arbitrase

 Daftar Hukum:

Referensi: