Jika menyebut kata waris, pikiran kita merujuk pada harta peninggalan orangtua yang telah meninggal. Waris atau mawaris berasal dari kata Al Mirats yang artinya berpindahnya sesuatu milik seseorang ke orang lainnya, atau dari suatu kaum ke kaum lainnya dala hal ini seperti anak angkat. Jadi Waris merupakan peninggalan dari orang yang telah meninggal dunia (pewaris) dalam bentuk harta kekayaan dan termasuk ke dalam hak dan kewajiban bagi orang yang ditinggalkan (ahli waris).

Di Indonesia sistem hukum waris terbagi menjadi tiga, yakni hukum waris perdata, hukum waris adat, dan hukum waris islam. Dalam waris, terbuka kesempatan untuk berkompromi dengan membuat kesepakatan secara kekeluargaan. Dalam waris terdapat  rukun yakni,  pewaris, ahli waris, dan harta peninggalan.

Adapun syarat yang harus dipenuhi adalah pewaris yang telah meninggal, orang yang mewarisi yang masih hidup, dan terdapat hubungan pewaris dengan ahli waris. Sementara itu, terdapat beberapa hal yang menjadikan seseorang tidak berhak menerima waris, yakni: berstatus sebagai budak, adanya perbedaan agama, serta pembunuhan.

Dalam KUH Perdata, ada dua jenis ahli waris yaitu berdasarkan hubungan darah (keluarga) dan hubungan perkawinan dengan pewaris (disebut dengan ahli waris ab intestato), serta ahli waris berdasarkan surat wasiat (disebut dengan ahli waris testamentair). Sementara itu, menurut Pasal 832 KUH Perdata, ahli waris terbagi menjadi 4 golongan, yakni:

Pertama, Golongan I (Suami/istri yang hidup terlama dan keturunannya);

Kedua,  Golongan II (Orang tua dan saudara kandung pewaris);

Ketiga, Golongan iII (Keluarga dalam garis lurus ke atas setelah bapak dan ibu pewaris); dan

Keempat, Golongan IV (Keluarga yang sedarah dengan pewaris sampai dengan derajat ke enam ke samping).

Dalam Pasal 174 Kompilasi Hukum Islam (KHI), kelompok ahli waris terbagi menurut hubungan darah yang terdiri atas golongan laki-laki (ayah, anak laki-laki, saudara laki-laki, paman, dan kakek) dan golongan perempuan (ibu, anak perempuan, saudara perempuan, dan nenek), serta hubungan perkawinan yang terdiri dari janda dan duda. 

 Adapun hukum waris adat terdiri atas garis keturunan bapak (patriliner), garis keturunan ibu (materiliner) dan garis keturunan bapak dan ibu (bilateral). Pada hukum waris adat patrilineal, semua anak lelaki merupakan ahli waris, sementara anak perempuan bukan ahli waris. Begitupun sebaliknya pada garis keturunan matrilineal. Kemudian pada garis keturunan bilateral, baik anak laki-laki dan perempuan mempunyai kedudukan yang sama dan sejajar.

Anak Angkat

Pengangkatan anak merupakan peralihan hak asuh anak dari orang tua, keluarga, wali atau orang lain yang bertanggung jawab kepada orang lain sebagai orang tua angkat dengan tujuan untuk dirawat, dididik, serta dibesarkan dengan baik berdasarkan putusan atau penetapan pengadilan. Seorang anak harus mengetahui asal-usul keluarga karena hal tersebut dilakukan karena agar mengetahui kesiapan anak yang bersangkutan sebagaimana hal ini tercantum dalam Pasal 40 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2022 tentang Perlindungan Anak.

Pengangkatan anak di Indonesia merupakan suatu fenomena yang tidak asing, baik di kota maupun di desa. Hal ini dapat disebabkan karena beberapa kemungkinan, pada umumnya adalah pasangan yang kian lama telah menikah namun belum juga dikaruniai anak ataupun ketidakmampuan orang tua kandung membesarkan anak karena keterbatasan ekonomi.

Adapun hak waris bagi anak angkat bila dilihat dari sistem hukum adat, hak waris tersebut bergantung pada adat yang dianut oleh orang tua angkat. Ketika orang tua angkat menganut sistem hukum waris adat Jawa, maka anak angkat berhak atas hak waris dari orang tua kandung maupun hak waris dari orang tua angkat. Apabila menggunakan sistem hukum Islam dimana Islam tidak memperbolehkan adanya pengangkatan anak karena hal tersebut dapat mempengaruhi garis keturunan, namun anak angkat tersebut tetap mendapatkan wasiat wajibah sebanyak-banyaknya ⅓ dari harta warisan orang tua angkatnya.

Kemudian, jika menggunakan pembagian waris menurut sistem hukum waris perdata, kedudukan anak angkat disamakan dengan anak kandung, maka ia berhak mewarisi harta warisan berdasarkan hukum waris testamentair jika ia mendapat hibah wasiat. Anak angkat tidak bisa menjadi ahli waris orang tua angkatnya. Demikian juga sebaliknya, orang tua angkat tidak bisa menjadi ahli waris anak angkatnya.

Dalam hukum kewarisan, sesuai dengan ketentuan pasal 209 KHI jika  orang tua angkat meninggal dunia, maka anak angkat akan mendapat wasiat wajibat. Demikian juga kalau anak angkat meninggal dunia maka orang tua angkatnya akan mendapat wasiyat wajibat. Sebagaimana dikutip dari website Pengadilan Agama Jakarta Timur, wasiat wajibah” adalah seseorang dianggap menurut hukum telah menerima wasiat meskipun tidak ada wasiat secara nyata. Anggapan hukum itu lahir dari asas apabila dalam suatu hal hukum telah menetapkan harus berwasiat, maka ada atau tidak ada wasiat dibuat, wasiat itu dianggap ada dengan sendirinya.

Sementara itu, jika pengangkatan anak itu dibuat sesuai ketentuan yang berlaku, maka tidak akan menimbulkan sengketa kewarisan. Karena kedudukan anak angkat sudah jelas, anak angkat tetap sebagai anak angkat, tidak bisa menjadi ahli waris dari orangtua angkatnya. Kalau orangtua angkatnya meninggal dunia anak angkat tidak mendapat warisan dari orangtua angkatnya tetapi anak angkat mendapatkan wasiat wajibah dari orangtua angkatnya.

Baca Juga: Aturan Hukum Hak Asuh Anak Karena Perceraian