Rancangan Undang-Undang Anti Terorisme sudah disahkan pada (25/5/2018) kemarin, melalui rapat paripurna DPR. Pembahasan revisi undang-undang No. 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Perppu 1/2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme sudah berlangsung dari tahun 2016.
Rapat paripurna yang membahas dan mengesahkan RUU Anti Terorisme menjadi Undang-undang dihadiri oleh 136 anggota dewan dari total 560 anggota dewan, terlepas dari sedikitnya anggota dewan yang hadir saat itu, ada perubahan yang krusial dalam sistematika UU No.15/2003.
Dalam laporannya Ketua Pansus RUU Anti Terorisme Syafii mengatakan terdapat perubahan signifikan terhadap sistematika UU No.15 Tahun 2003 yaitu ada penambahan bab pencegahan, bab terkait korban, bab kelembagaan, bab pengawasan, dan kemudian soal peran TNI yang itu semua baru dari undang-undang sebelumnya.
UU Anti Terorisme yang baru juga menambahkan ketentuan perlindungan bagi korban aksi terorisme secara komprehensif, berupa bantuan medis, rehabilitasi psikologis, psikososial, santunan korban meninggal dunia, pemberian restitusi dan kompensasi.
Pengesahan undang-undang anti terorisme ini tersulut oleh beberapa kejadian teror yang terjadi dalam beberapa pekan lalu, walau masih menyisakan beberapa pasal yang masih menjadi perdebatan, RUU ini akhirnya disahkan oleh DPR pada (25/5/2018)
Poin pertama yang masih menjadi perdebatan ialah pasal 1 mengenai definisi terorisme itu sendiri, dimana satu pihak menginginkan ada motif politik, namun di pihak lain menginginkan definisi terorisme memasukkan motif politik. Definisi Terorisme yang telah disepakati dalam pembahasan RUU ini adalah perbuatan yang menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasaan yang menimbulkan suasana teror atau rasa takut secara meluas, yang dapat menimbulkan korban yang bersifat massal dan/atau menimbulkan kerusakan atau kehancuran terhadap objek-objek vital yang strategis, lingkungan hidup, fasilitas publik atau fasilitas internasional dengan motif politik, ideologi, atau gangguan keamanan.
Poin kedua perdebatannya pada pasal 12B dan 28 mengenai pemidanaan, di mana penahanan terduga teroris bisa dimaksimalkan dari 14 hari menjadi 30 hari, pencabutan hak memiliki passpor bagi terpidana teroris dan bagi WNI yang pulang berperang dari suriah.
Poin ketiga perdebatan RUU ini pada pasal 31 dan 43H terkait penyadapan, prosedur penyelidikan yang menggunakan penyadapan ini diusulkan tanpa izin lagi dari pengadilan untuk situasi mendesak.
Poin terakhir perdebatan RUU ini mengenai keterlibatan Tentara Nasional Indonesia (TNI), yaitu mengenai pembentukan Koopsusgab (Komando Operasi Khusus Gabungan) Polri dengan TNI. Salah satu solusi untuk kewenangan keterlibatan TNI dalam mengatasi terorisme jadi bagian operasi militer selain perang disebut akan diatur dalam Perpres yang akan dikeluarkan satu tahun setelah UU Anti Terorisme disahkan.

 

Sumber;

1. Cnnindonesia.com, “RUU Terorisme Disahkan Menjadi Undang-Undang,“ https://www.cnnindonesia.com/nasional/20180525111625-12-301196/ruu-terorisme-disahkan-jadi-undang-undang ( diakses 25/5/2018 dan 28/5/2018)