Human Immunodeficiency Virus (HIV) tetap menjadi tantangan besar dalam dunia kesehatan secara global, meski terapi antiretroviral (ARV) telah membantu mengendalikan virus dan memperpanjang harapan hidup penderita, namun hal ini belum mampu mengeliminasi virus sepenuhnya dari tubuh. Dalam beberapa tahun terakhir, kemajuan di bidang bioteknologi telah membuka peluang baru untuk mengembangkan terapi yang telah efektif dan potensial untuk menyembuhkan HIV. 

Bioteknologi telah membuka jalan bagi berbagai pendekatan baru dalam terapi HIV, termasuk penggunaan CRISPR-Cas9 untuk mengedit genom virus dan nanoimunoterapi untuk meningkatkan respons imun tubuh terhadap HIV. Tidak hanya inovasi bioteknologi yang berperan, tetapi juga dukungan regulasi dari pemerintah dan lembaga kesehatan menjadi faktor penting dalam mendorong pengembangan teknologi pengobatan HIV.

Dukungan Regulasi Terhadap Pengembangan Bioteknologi Kesehatan

Kemajuan teknologi di bidang bioteknologi, khususnya untuk pengobatan HIV tidak hanya bergantung pada kecanggihan ilmiah semata, tetapi juga sangat ditentukan oleh kerangka regulasi yang mendukung. Regulasi yang jelas dan berpihak pada inovasi menjadi fondasi penting dalam mendorong riset, pengembangan, serta penerapan terapi baru berbasis bioteknologi. Tanpa landasan hukum yang memadai, pengembangan teknologi tinggi seperti CRISPR atau nanoimunoterapi akan mengalami kendala, baik secara administratif ataupun dilihat dari sudut pandang etika medis. 

Di Indonesia, dukungan terhadap pengembangan bioteknologi dalam sektor kesehatan telah diakomodasi dalam beberapa instrumen hukum yang strategis. Dalam tingkat konstitusi, Pasal 28C ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 (“UUD 1945”) menjamin hak setiap warga negara untuk memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi guna meningkatkan kualitas hidup.

Dukungan ini dipertegas oleh kebijakan sektoral melalui Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 23 Tahun 2022 tentang Penanggulangan Human Immunodeficiency Virus, Acquired Immunodeficiency Syndrome, dan Infeksi Menular Seksual (“Permenkes 23/2022”) yang secara khusus mengatur strategi nasional penanggulangan HIV/AIDS. Aturan tersebut juga sebagai katalisator dalam pengembangan bioteknologi kesehatan di Indonesia.

Dalam Pasal 34 Permenkes 23/2022 dijelaskan bahwa Pemerintah Pusat memiliki beberapa tanggung jawab terkait hal ini, di antaranya:

  1. Menetapkan kebijakan Penanggulangan HIV, AID, dan IMS;
  2. Menjamin ketersediaan fasilitas pelayanan kesehatan, sumber daya manusia, obat dan alat kesehatan, perbekalan kesehatan, dan pendanaan yang diperlukan;
  3. Melakukan kerja sama dan membentuk jejaring kerja dengan pemangku kepentingan terkait;
  4. Melakukan advokasi dan kerja sama lintas program dan lintas sektor;
  5. Menyusun materi dalam media komunikasi, informasi, dan edukasi program Penanggulangan HIV, AIDS, dan IMS dan mendistribusikannya ke daerah;
  6. Meningkatkan kemampuan teknis sumber daya manusia; dan
  7. Melakukan penelitian, pengembangan, dan inovasi. 

Pasal ini menjadi mandat langsung bagi pemerintah untuk tidak hanya memfasilitasi tetapi juga berperan aktif dalam mengembangkan teknologi kesehatan, termasuk bioteknologi modern. Implementasi dari tanggung jawab ini mencakup pendanaan riset, kemitraan dengan lembaga ilmiah, dan pengembangan kapasitas sumber daya manusia yang terlibat dalam penelitian bioteknologi kesehatan.

Pengobatan HIV di Indonesia

Meskipun telah banyak dilakukan uji coba dalam pengembangan vaksin, hingga saat ini belum ditemukan vaksin yang benar-benar efektif untuk HIV. Hal ini terjadi karena berbagai tantangan unik yang membuat penyakit ini sulit untuk ditaklukkan, yaitu:

  • Sistem kekebalan tubuh manusia tidak memiliki pengalaman sebelumnya dalam menghadapi HIV, sehingga tidak dapat secara alami mengenali dan melawan virus ini.
  • Sebagian besar vaksin dirancang dengan meniru respons kekebalan dari individu yang berhasil pulih. Namun, dalam kasus HIV, hampir tidak ada pasien yang benar-benar sembuh, sehingga tidak ada pola kekebalan yang bisa dijadikan model untuk vaksin.
  • Vaksin umumnya berfungsi untuk mencegah munculnya penyakit setelah infeksi terjadi, bukan untuk mencegah infeksi itu sendiri.
  • Virus HIV yang telah dilemahkan atau dimatikan tidak dapat digunakan dalam pembuatan vaksin karena karakteristik unik virus ini. 
  • HIV mengalami mutasi dengan sangat cepat, sehingga ketika virus mengalami perubahan, vaksin yang dikembangkan mungkin menjadi tidak efektif lagi, membuat proses penciptaan vaksin yang berhasil menjadi sangat kompleks.

Meskipun menghadapi berbagai tantangan dalam pengembangannya, para peneliti tetap berupaya mencari vaksin untuk HIV. Secara umum, terdapat dua kategori utama vaksin, yaitu profilaksis dan terapeutik, yang keduanya tengah dikaji sebagai strategi untuk mencegah infeksi HIV.

Sebagian besar vaksin yang dikembangkan bersifat profilaksis, yang dirancang untuk mencegah seseorang dari terinfeksi suatu penyakit. Di sisi lain, vaksin terapeutik berfungsi untuk meningkatkan respons sistem kekebalan tubuh dalam melawan penyakit dan seringkali digunakan sebagai bagian dari terapi pengobatan.

Secara teori, vaksin HIV memiliki dua tujuan utama. Salah satunya adalah diberikan kepada individu yang belum terinfeksi HIV untuk menghindari penularan virus, sehingga berperan sebagai vaksin profilaksis.

Inovasi Bioteknologi dalam Penyembuhan HIV

Angka penderita HIV/AIDS di Indonesia kian meningkat. Dari data yang diperoleh dari laman Inilah.com, dijabarkan bahwa selama Januari hingga September 2024, tercatat telah ada 35.415 kasus HIV dan dan 12.481 kasus AIDS. Dari kasus tersebut, 19% (sembilan belas persen) terjadi pada rentang usia 20-24 tahun dan 60% (enam puluh persen) di usia dewasa, yakni 25-49 tahun. Kasus HIV/AIDS yang didominasi oleh usia produktif memperlihatkan bahwa hal ini bukan hanya menjadi isu kesehatan, tetapi juga berpotensi memengaruhi ketahanan sosial dan ekonomi bangsa.

Oleh karena itu, dibutuhkan pendekatan inovatif melalui pemanfaatan bioteknologi yang tidak hanya berfokus pada pencegahan, tetapi juga pada pengembangan terapi yang akan meningkatkan harapan hidup para penyintas. inilah bioteknologi seperti Clustered Regularly Interspaced Short Palindromic Repeats (CRISPR) dan nanoimunoterapi hadir sebagai solusi berbasis sains terapan yang menawarkan harapan baru.

Para ilmuwan telah berhasil memerangi HIV dengan ‘menggunting’ virus dari sel yang terinfeksi dengan menggunakan teknologi penyuntingan gen CRISPR. Teknologi ini ibarat sebuah gunting yang mampu memotong DNA dengan presisi tinggi untuk menonaktifkan atau menghapus bagian-bagian yang terinfeksi HIV. Teknologi ini menjadi terobosan baru jika dibandingkan dengan metode konvensional, sebab obat-obat HIV yang tersedia saat ini hanya dapat menghentikan HIV, tidak mengeliminasinya. 

Uji klinis pertama pada manusia untuk terapi gen berbasis CRISPR ini menunjukkan bahwa sistem CRISPR-Cas yang dikirimkan oleh terapi gen virus adeno-associated 9 mampu menargetkan hanya DNA yang dimaksud dan membersihkan darah dalam waktu 6 bulan. Meskipun masih dalam tahap awal, hasil ini memberikan harapan baru dalam upaya mengembangkan terapi yang dapat menyembuhkan HIV.***

 

Daftar Hukum:

Referensi: