Fenomena pekerja anak masih menjadi persoalan pelik dalam dunia ketenagakerjaan di Indonesia. Meski berbagai regulasi telah mengatur secara tegas mengenai batas minimum pekerja dan larangan keras terkait eksploitasi anak, kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa pelanggaran terhadap hak-hak anak masih sering terjadi di berbagai sektor, seperti perkebunan, industri manufaktur, atau pun jasa. Faktor utama yang menyebabkan anak-anak di bawah usia 18 tahun harus bekerja adalah kemiskinan, kurangnya akses pendidikan, serta tekanan sosial dan budaya yang menganggap pekerjaan sebagai bagian dari proses pendewasaan. Dalam hal ini, perlindungan hukum terkait pekerja anak menjadi sangat penting.

Pekerja anak kerap kali dilibatkan dalam pekerjaan berbahaya, tanpa jaminan kesehatan dan pendidikan yang layak, sehingga mengancam masa depan mereka. Pekerja anak merupakan bagian dari isu perlindungan anak yang kompleks. Keberadaan mereka mencerminkan tidak hanya kegagalan dalam penegakan hukum, tetapi juga adanya tekanan ekonomi dan sosial yang memaksa anak-anak bekerja di usia yang seharusnya masih dalam masa belajar dan bermain. Oleh karena itu, penting untuk memahami bentuk-bentuk perlindungan hukum yang ada untuk pekerja anak serta upaya konkret yang dapat dilakukan untuk menghapus praktik eksploitasi tersebut dari sistem ketenagakerjaan nasional.

Tingginya Persentase Pekerja Anak di Indonesia

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah pekerja anak pada tahun 2024 mengalami peningkatan sebesar 0,45% dibandingkan tahun sebelumnya, naik dari 1,72% menjadi 2,17%. Pertumbuhan ini juga tercermin dalam peningkatan jumlah pekerja anak, yang bertambah dari 1,01 juta orang pada tahun 2023 menjadi 1,27 juta orang di tahun 2024.

Jika dilihat dari aspek lokasi tempat tinggal, angka pekerja anak di wilayah perdesaan pada tahun 2024 lebih tinggi, mencapai 2,82%, dibandingkan dengan daerah perkotaan yang hanya sebesar 1,72%. Kondisi ini menunjukkan bahwa anak-anak di pedesaan memiliki risiko lebih besar untuk terlibat dalam pekerjaan akibat tekanan ekonomi, terutama karena kemiskinan yang mendorong mereka untuk berkontribusi dalam membantu keuangan keluarga.

Salah satu contohnya adalah kasus di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), di mana anak-anak bekerja sebagai pemecah batu dan buruh tani. Di beberapa tempat lainnya seperti di Kalimantan dan Sulawesi, anak-anak ditemukan bekerja di perkebunan kelapa sawit, terkadang terlibat dalam pekerjaan berat yang tidak layak bagi usia mereka.

Data dari Kementerian Ketenagakerjaan menunjukkan bahwa anak-anak yang bekerja umumnya berasal dari keluarga miskin, dengan keterbatasan akses pendidikan. Tak jarang mereka bekerja untuk membantu keuangan keluarga. Di beberapa kasus, anak-anak dipaksa bekerja oleh orang tua atau majikan dengan iming-iming uang saku, namun nyatanya mereka menerima upah yang jauh dari standar minimum dan tanpa perlindungan hukum yang layak. 

Kasus-kasus tersebut menunjukkan bahwa pekerja anak bukan sekadar isu pelanggaran hukum ketenagakerjaan, melainkan persoalan multidimensi yang mencakup hak anak, kesejahteraan keluarga, dan lemahnya pengawasan dari pemerintah.

Aturan Hukum Terkait Larangan Eksploitasi Ekonomi bagi Anak

Di Indonesia, berbagai regulasi telah diterapkan untuk melarang eksploitasi ekonomi terhadap anak, di antaranya:

  • Undang–Undang Ketenagakerjaan

Dalam Pasal 68 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UU Ketenagakerjaan”) secara tegas disebutkan bahwa, “Pengusaha dilarang memperkerjakan anak”. Lebih lanjut dalam Pasal 69 ayat (1) UU Ketenagakerjaan dijelaskan adanya pengecualian terkait usia anak yang dimaksud, yakni sebagai berikut:

“Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 dapat dikecualikan bagi anak yang berumur antara 13 (tiga belas) tahun sampai dengan 15 (lima belas) tahun untuk melakukan pekerjaan sepanjang tidak mengganggu perkembangan dan kesehatan fisik, mental, dan sosial.”

Namun, bagi pengusaha yang mempekerjakan anak pada pekerjaan ringan sebagaimana dimaksud pada Pasal 69 ayat (1) harus memenuhi persyaratan:

  1. Izin tertulis dari orang tua atau wali;
  2. Perjanjian kerja antara pengusaha dengan orang tua atau wali;
  3. Waktu kerja maksimum 3 (tiga) jam;
  4. Dilakukan pada siang hari dan tidak mengganggu waktu sekolah;
  5. Keselamatan dan kesehatan kerja;
  6. Adanya hubungan kerja yang jelas; dan
  7. Menerima upah sesuai dengan ketentuan yang berlaku. 
  • Undang-Undang Perlindungan Anak

Sementara dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (“UU PA”) menekankan perlindungan anak dari eksploitasi ekonomi dan pekerjaan berbahaya. Dalam Pasal 76I disebutkan:

“Setiap Orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan eksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual terhadap anak.”

Regulasi ini menunjukkan komitmen negara dalam memastikan bahwa anak-anak terlindungi dari tekanan atau pemanfaatan yang dapat menghambat perkembangan mereka secara fisik, mental, dan sosial. 

Larangan ini tidak hanya berlaku bagi pelaku langsung, tetapi juga mencakup individu atau entitas yang memungkinkan terjadinya eksploitasi tersebut, baik secara aktif maupun pasif. Dengan adanya ketentuan ini, setiap bentuk eksploitasi terhadap anak dapat dikenakan sanksi hukum sesuai peraturan yang berlaku.

  • Konvensi ILO No. 138 dan 182

Indonesia telah meratifikasi Konvensi International Labour Organization (ILO) No. 138 melalui Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1999 tentang Pengesahan ILO Convention No. 138 Concering Minimum Age for Adminission to Employment (Konvensi ILO mengenai Usia Minimum untuk Diperbolehkan Bekerja (“UU 20/1999”). Dalam aturan ini, ditetapkan bahwa usia minimum umum bekerja adalah 15 tahun, dan pekerjaan berbahaya hanya boleh dilakukan oleh anak usia 18 tahun ke atas.

Sementara Konvensi ILO No. 182 diratifikasi melalui Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2000 tentang Pengesahan ILO Convention No. 182 Concering The Prohibition and Immediate Action for the Elimination of the Worst Forms of Child Labour (Konvensi ILO No. 182 mengenai Pelarangan dan Tindakan Segera Penghapusan Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak) (“UU 1/2000”) yang mengatur penghapusan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk bagi anak, termasuk perbudakan, eksploitasi seksual, dan pekerjaan yang membahayakan kesehatan.

Lalu, Apakah Ada Sanksi yang Mengintai Pemberi Kerja yang Memperkerjakan Anak di Bawah Umur?

Pelanggaran terhadap ketentuan mengenai pekerja anak tidak hanya berakibat administratif, tetapi juga dapat dikenakan sanksi pidana. UU Ketenagakerjaan dan UU Perlindungan Anak sama-sama memuat ketentuan tegas terhadap pelaku pelanggaran.

  • Sanksi menurut UU Ketenagakerjaan

Sanksi terhadap pelanggaran Pasal 68 dan 69 diatur dalam Pasal 185 ayat (1) yang menyatakan bahwa, “Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dikenakan sanksi pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah).” Tindak pidana yang dimaksud merupakan tindak pidana kejahatan. 

  • Sanksi menurut UU Perlindungan Anak

Pasal 76I yang dilanggar dapat dikenai sanksi pidana sesuai dengan Pasal 88 UU Perlindungan Anak:

“Setiap Orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76I dipidana denan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).”

Di samping hukuman pidana, perusahaan juga dapat dikenakan sanksi administratif, seperti pencabutan izin usaha serta denda tambahan yang ditetapkan oleh otoritas ketenagakerjaan. Meskipun aturan ini berlaku secara umum, terdapat pengecualian bagi anak berusia 13-15 tahun yang diizinkan melakukan pekerjaan ringan dalam kondisi tertentu. Hal ini hanya diperbolehkan jika terdapat izin tertulis dari orang tua atau wali, waktu kerja maksimal 3 jam per hari, serta jaminan keselamatan dan kesehatan kerja dari pengusaha. 

Regulasi ini dirancang untuk memastikan perlindungan anak dari eksploitasi ekonomi yang dapat berdampak negatif terhadap perkembangan fisik, mental, dan sosial mereka. Pengawasan yang lebih ketat serta penegakan hukum yang konsisten sangat diperlukan untuk memastikan bahwa anak-anak tidak dieksploitasi dalam dunia kerja dan dapat memperoleh hak mereka untuk tumbuh serta berkembang dengan layak.***

 

Daftar Hukum:

Referensi: