Fotografi bukan sekadar aktivitas seni atau dokumentasi visual. Dalam era digital saat ini, karya fotografi telah menjadi bagian penting dari industri kreatif dan sarana ekspresi personal maupun profesional. Seiring meningkatnya penggunaan foto dalam media sosial, periklanan, jurnalistik, dan konten digital lainnya, kebutuhan akan pemahaman hukum terhadap hak cipta karya fotografi semakin krusial. Fotografer tidak hanya memotret, tetapi juga menciptakan karya yang memiliki nilai hukum dan ekonomi. 

Sayangnya, masih banyak fotografer di Indonesia yang belum menyadari akan pentingnya hak cipta atas karya mereka. Mulai dari fotografer jalanan, fotografer acara, hingga pelaku usaha kreatif berbasis digital, perlindungan hukum terhadap hasil jepretan sering kali diabaikan. Padahal, pemerintah telah memberikan landasan hukum yang kuat bagi fotografer untuk melindungi hasil karyanya dari pembajakan, penggunaan tanpa izin, hingga eksploitasi komersial oleh pihak lain. 

Hak Cipta dalam Fotografi Menurut Undang-Undang 

Dalam sistem hukum Indonesia, hak cipta atas karya fotografi diatur secara jelas dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta (“UU HC”). Berdasarkan Pasal 40 ayat (1) huruf k dan l UU HC, karya fotografi dan potret termasuk dalam jenis ciptaan yang dilindungi. Artinya, setiap foto yang dihasilkan oleh seorang fotografer, baik di ruang publik maupun privat, secara otomatis mendapatkan perlindungan hak cipta sejak pertama kali diwujudkan dalam bentuk nyata. 

Selain itu, Pasal 4 UUHC menyebutkan bahwa hak cipta mencakup hak moral dan hak ekonomi. Hak moral meliputi hak untuk dicantumkan nama pencipta dalam setiap pemanfaatan ciptaan dan hak untuk menentang distorsi atau modifikasi yang merugikan kehormatan pencipta. Sementara hak ekonomi memberikan hak eksklusif kepada fotografer untuk menggunakan atau mengizinkan orang lain menggunakan karyanya guna memperoleh keuntungan finansial. 

Dengan demikian, setiap fotografer yang menghasilkan foto memiliki hak penuh untuk menentukan bagaimana karya tersebut digunakan. Meskipun foto diambil di ruang publik, selama foto tersebut merupakan hasil kreativitas fotografer dan bukan sekadar dokumentasi biasa, hak cipta tetap melekat.

Manfaat Pendaftaran Karya Fotografi dari Sisi Perlindungan Hukum dan Ekonomi

Bagi seorang fotografer, penting dipahami bahwa untuk mendapatkan perlindungan hak cipta, suatu karya seni fotografi tidak perlu melewati tahap pendaftaran terlebih dahulu, karena secara otomatis setelah karya tersebut diwujudkan dalam bentuk nyata dan dipamerkan ke khalayak umum, maka karya tersebut telah memperoleh pengakuan hak cipta dan dilindungi hak ciptanya. Meski pendaftaran hak cipta tidak bersifat wajib, namun hal ini sangat disarankan. Langkah ini dinilai penting untuk memberikan legalitas serta perlindungan hukum bagi fotografer terhadap hasil karyanya. 

Dilansir dari laman Kanwil Kemenkumham Daerah Istimewa Yogyakarta, Analis Kekayaan Intelektual Ahli Muda, Vanny Aldilla menyebutkan bahwa sepanjang tahun 2024 terdapat 39 pendaftaran hak cipta untuk karya fotografi. Walaupun angka ini menunjukkan bahwa adanya kesadaran akan pentingnya pendaftaran hak cipta, pihak Kemenkumham DIY menilai bahwa jumlah tersebut masih perlu ditingkatkan melalui upaya edukasi yang lebih masif. Ini karena karya memberikan bukti autentik kepemilikan yang dapat digunakan dalam proses hukum. Sertifikat hak cipta yang diterbitkan oleh Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI) menjadi dokumen resmi yang dapat digunakan di pengadilan jika terjadi pelanggaran. 

Dari segi perlindungan hukum, pendaftaran memperkuat posisi fotografer ketika menghadapi persoalan hukum, seperti penggunaan foto tanpa izin, manipulasi karya, atau klaim kepemilikan oleh pihak lain. Dalam dunia digital yang sangat mudah melakukan pengunduhan dan penyebaran ulang, pendaftaran menjadi langkah proaktif yang penting. Seperti kasus yang terjadi antara fotografer dengan salah satu hotel di Jogja yang menggunakan karya fotonya untuk tujuan komersial di website selama 7 tahun. Pihak fotografer pun mengajukan gugatan perdata senilai Rp3,4 miliar ke Pengadilan Negeri dengan dasar pelanggaran hak cipta. Kasus ini menegaskan bahwa penggunaan karya tanpa izin, meskipun hanya sebagai pelengkap informasi, tetap dapat dianggap sebagai pelanggaran hak eksklusif pencipta.

Pelanggaran Hak Cipta dan Sanksi Hukumnya

Pelanggaran terhadap hak cipta karya fotografi dapat terjadi dalam berbagai bentuk. Misalnya, menggunakan foto tanpa izin, menghapus watermark, melakukan cropping atau modifikasi tanpa persetujuan, atau pun menjual ulang tanpa kompensasi kepada pemilik karya. Di media sosial, pelanggaran seperti ini sering kali terjadi karena ketidaktahuan atau kesengajaan. 

Padahal, Pasal 9 ayat (1) huruf a, b, dan e UUHC telah menegaskan bahwa Pencipta atau Pemegang Hak Cipta memiliki hak ekonomi untuk melakukan penerbitan Ciptaan, Penggandaan Ciptaan dalam segala bentuknya, dan juga Pendistribusian Ciptaan atau salinannya. 

Pelanggaran atas karya fotografi tentu saja akan berimplikasi pada sanksi hukum, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 113 ayat (3) UUHC, bahwa:

“Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau pemegang Hak Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf e, dan/atau huruf g untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). 

Di tengah kompleksitas risiko pelanggaran hak cipta yang kian meningkat di era digital ini, sangatlah penting bagi fotografer untuk tidak hanya memahami aspek hukum secara mandiri, tetapi juga berkonsultasi dengan ahli hukum yang memahami seluk-beluk kekayaan intelektual. 

Dengan begitu, fotografer tidak hanya mampu melindungi karya mereka secara optimal, tetapi juga dapat memanfaatkan hak cipta sebagai aset ekonomi yang strategis dan berkelanjutan. Pendampingan hukum yang tepat akan memperkuat posisi negosiasi, mempercepat penyelesaian sengketa, serta membuka peluang lisensi dan monetisasi yang aman secara hukum.***

Daftar Hukum:

Referensi: