Dalam praktik hukum perdata, perjanjian merupakan fondasi utama dalam membangun hubungan hukum antara para pihak. Perjanjian tidak hanya menjadi alat utama untuk mengatur hak dan kewajiban, tetapi juga mencerminkan asas kebebasan berkontrak yang dijamin oleh hukum, namun tidak semua perjanjian yang dibuat secara sah oleh para pihak akan selalu memiliki kekuatan hukum. Dalam kondisi tertentu, suatu perjanjian dapat dinyatakan batal demi hukum– yang berarti perjanjian tersebut dianggap tidak pernah ada atau tidak pernah terjadi sejak awal.
Salah satu istilah penting dalam hukum perdata yang sering membingungkan adalah “batal demi hukum” (null and void). Istilah ini merujuk pada suatu kondisi ketika suatu perjanjian dianggap tidak pernah ada sejak semula karena cacat hukum yang mendasar. Berbeda dengan perjanjian yang dapat dibatalkan, perjanjian yang batal demi hukum tidak memerlukan putusan pengadilan untuk dianggap tidak sah. Pemahaman mengenai konsep “batal demi hukum” menjadi penting, terutama bagi praktisi hukum, pelaku usaha, maupun masyarakat umum yang terlibat dalam perjanjian.
Dasar Hukum Perjanjian Batal Demi Hukum Menurut KUHPerdata
Pasal 1335 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUHPerdata”) menjadi acuan utama dalam menentukan kapan suatu perjanjian dianggap batal demi hukum. Pasal tersebut menyatakan:
“Suatu persetujuan tanpa sebab, atau dibuat berdasarkan suatu sebab yang palsu atau yang terlarang, tidaklah mempunyai kekuatan.”
Penjelasan atas pasal ini memberikan pemahaman bahwa apabila suatu perjanjian tidak memiliki causa (alasan hukum yang sah), atau jika causa tersebut bertentangan dengan hukum atau kesusilaan, maka perjanjian tersebut dianggap batal demi hukum. Dengan kata lain, perjanjian tersebut tidak sah dan tidak memiliki akibat hukum sejak awal, tanpa perlu adanya pembatalan melalui proses pengadilan.
Sebagai contoh, perjanjian yang dibuat untuk melakukan tindakan melawan hukum seperti perjanjian jual beli narkotika, perdagangan manusia, atau penyuapan, otomatis dianggap batal demi hukum. Hal ini karena tujuan dari perjanjian tersebut bertentangan dengan hukum positif Indonesia. Merujuk pada laman Hukumonline, frasa “batal demi hukum” dalam Pasal 1335 mengandung makna bahwa perjanjian tersebut tidak pernah memiliki kekuatan hukum sejak awal. Ini berbeda dengan “dapat dibatalkan” yang membutuhkan adanya tindakan hukum lebih lanjut.
Lebih lanjut, melalui Pasal 1320 KUHPerdata menetapkan 4 (empat) syarat sahnya perjanjian, yaitu:
- Kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya;
- Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
- Suatu pokok persoalan tertentu;
- Suatu sebab yang tidak terlarang.
Dua syarat pertama bersifat subjektif, sedangkan dua syarat terakhir bersifat objektif. Jika syarat objektif tidak terpenuhi, maka perjanjian tersebut batal demi hukum. Hal ini berbeda dengan ketidakterpenuhan syarat subjektif, yang hanya menyebabkan perjanjian dapat dibatalkan.
Lalu, Apa Perbedaan antara Batal Demi Hukum dan Dapat Dibatalkan?
Dalam praktik hukum, penting untuk membedakan antara perjanjian yang batal demi hukum dan perjanjian yang dapat dibatalkan. Keduanya memiliki konsekuensi hukum yang berbeda, baik dari segi keberlakuan maupun cara penanganannya secara yuridis.
- Batal Demi Hukum
Perjanjian yang batal demi hukum tidak sah sejak semula. Tidak diperlukan tindakan hukum lebih lanjut untuk menyatakan ketidaksahannya, karena secara hukum perjanjian tersebut dianggap tidak pernah ada. Penyebab utama batal demi hukum antara lain:
- Causa yang terlarang (Pasal 1335 KUHPerdata);
- Perjanjian yang bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan, atau ketertiban umum;
- Objek perjanjian yang tidak mungkin dipenuhi atau bertentangan dengan hukum;
- Pihak yang membuat perjanjian tidak memenuhi syarat sebagai subjek hukum (misalnya, orang yang tidak cakap hukum secara mutlak).
- Dapat Dibatalkan
Sementara itu, perjanjian yang dapat dibatalkan adalah perjanjian yang pada dasarnya sah, namun mengandung cacat kehendak atau dilakukan oleh pihak yang dalam kondisi tertentu tidak cakap hukum. Perjanjian semacam ini tetap berlaku dan mengikat, kecuali ada salah satu pihak yang mengajukan pembatalan ke pengadilan. Penyebab umum perjanjian dapat dibatalkan antara lain:
- Adanya paksaan, penipuan, atau kekhilafan (Pasal 1321 KUHPerdata);
- Salah satu pihak belum dewasa namun tidak di bawah pengampuan;
- Tidak adanya persetujuan yang bebas.
Dalam praktiknya, pembedaan ini penting karena menyangkut validitas dan akibat hukum. Misalnya, jika sebuah perjanjian dinyatakan batal demi hukum, maka tidak ada hak atau kewajiban yang timbul. Namun jika hanya “dapat dibatalkan”, hak dan kewajiban tetap ada hingga ada keputusan pembatalan oleh pengadilan.
Untuk memahami secara lebih konkret, berikut SIP Law Firm berikan contoh kasus dan implikasi hukumnya terkait perjanjian yang batal demi hukum.
Studi Kasus Batal Demi Hukum dan Implikasinya
- Perjanjian Jual Beli Tanah Hasil Pemalsuan
Dalam Putusan Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 1974 K/PDT/2001 (“Putusan MA 1974/2001”) tanggal 29 September 2003, dijelaskan bahwa suatu perjanjian peralihan hak atas tanah dinyatakan batal demi hukum apabila akta jual beli tanah tersebut terbukti cacat hukum akibat adanya pemalsuan tanda tangan. Namun, pemalsuan ini harus dibuktikan terlebih dahulu melalui hasil uji laboratorium kriminologi atau melalui putusan pidana yang menyatakan bahwa tanda tangan tersebut memang dipalsukan. Jika terbukti bahwa tanda tangan palsu, hal ini menunjukkan tidak adanya kesepakatan dari pihak yang sebenarnya berhak, sehingga perjanjian tersebut wajib dinyatakan batal demi hukum.
- Perjanjian Batal Tanpa Kesepakatan Para Pihak
Berdasarkan Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 3335 K/PDT/2003 (“Putusan MA 3335/2003”) tanggal 14 Juni 2005, suatu perjanjian dapat dinyatakan batal demi hukum apabila tidak terpenuhi syarat sah perjanjian sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata, khususnya unsur kesepakatan antar para pihak. Dalam perkara tersebut, meskipun nama salah satu pihak tercantum dalam dokumen perjanjian, pihak tersebut ternyata tidak pernah memberikan persetujuannya. Dengan demikian, apabila terbukti tidak adanya kesepakatan, maka perjanjian tersebut harus dinyatakan tidak sah dan batal demi hukum.
- Perjanjian Batal karena Tidak Memenuhi Syarat Objektif Sahnya Perjanjian
Putusan Mahkamah Agung RI No. 406 K/PDT/2007 (“Putusan MA 406/2007”) tanggal 15 Agustus 2008 dan No. 1790 K/PDT/2008 tanggal 20 Februari 2009 menegaskan bahwa sebuah perjanjian harus dinyatakan batal demi hukum apabila tidak memiliki objek atau prestasi yang jelas. Hal ini karena tidak terpenuhinya syarat sah perjanjian sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 1320 KUHPerdata, yang mewajibkan adanya hal tertentu sebagai unsur penting dalam suatu perjanjian.
Perjanjian dalam hukum perdata Indonesia harus memenuhi syarat sah agar dapat menimbulkan akibat hukum yang mengikat para pihak. Jika syarat tersebut tidak dipenuhi, khususnya apabila tidak ada causa atau causa-nya bertentangan dengan hukum, maka perjanjian tersebut dinyatakan batal demi hukum. Perbedaan antara perjanjian yang batal demi hukum dan yang dapat dibatalkan menjadi penting untuk memahami status dan akibat hukumnya.
Penting bagi para pihak yang hendak membuat perjanjian untuk memahami unsur-unsur hukum secara mendalam, agar tidak terjebak pada perjanjian yang tidak memberikan perlindungan hukum atau bahkan merugikan. Pemahaman terhadap Pasal 1335 KUHPerdata dan praktik-praktik hukum terkait merupakan langkah preventif dalam menjamin keabsahan dan keberlakuan suatu perjanjian.***
Daftar Hukum:
- Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUHPerdata”).
- Putusan Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 1974 K/PDT/2001 (“Putusan MA 1974/2001”).
- Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 3335 K/PDT/2003 (“Putusan MA 3335/2003”).
- Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 406 K/PDT/2007 (“Putusan MA 406/2007”).
Referensi:
- Pasal 1335 KUH Perdata tentang Frasa Batal Demi Hukum. HukumOnline. (Diakses pada 15 Juni 2025 pukul 22.21 WIB).
- Arti Putusan Pengadilan Batal Demi Hukum. HukumOnline. (Diakses pada 15 Juni 2025 pukul 22.40 WIB).
- Kumpulan Yurisprudensi Kebatalan Perjanjian. Lawyersclub. (Diakses pada 15 Juni 2025 pukul 23.10 WIB).