Oleh: R. Yudha Triarianto Wasono, S.H., M.H.

 

Membahas tentang perjanjian menggunakan bahasa asing, belum lama ini Presiden Republik Indonesia, Bapak Joko Widodo menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 63 Tahun 2019 tentang Penggunaan Bahasa Indonesia (Perpres 63). Melalui Perpres 63, pidato resmi Presiden, Wakil Presiden, dan para pejabat negara yang lain harus disampaikan dengan Bahasa Indonesia baik di dalam maupun di luar negeri.

Tidak hanya urusan pidato, Perpres 63 juga mengatur Bahasa Indonesia wajib digunakan dalam nota kesepahaman atau perjanjian yang melibatkan lembaga negara, instansi pemerintah Republik Indonesia, lembaga swasta Indonesia, atau perseorangan warga negara Indonesia (Pasal 26 ayat (1) Perpres 63).

Sebelum terbitnya Perpres 63, Pemerintah telah terlebih dahulu menerbitkan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan (UU 24/2009). Dalam UU ini dinyatakan bahwa Bahasa Indonesia adalah bahasa resmi nasional yang digunakan di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (Pasal 1 angka 2 UU 24/2009).

Kedudukan Bahasa Indonesia dalam suatu kontrak atau perjanjian telah diwajibkan dalam UU 24/2009. Sejalan dengan Perpres 63, ketentuan dalam Pasal 31 UU 24/2009 berbunyi sebagai berikut:

“Bahasa Indonesia wajib digunakan dalam nota kesepahaman atau perjanjian yang melibatkan lembaga negara, instansi pemerintah Republik Indonesia, lembaga swasta Indonesia atau perseorangan warga negara Indonesia.”

Tidak hanya diatur dalam UU 24/2009, kewajiban menggunakan Bahasa Indonesia juga ditentukan dalam hal pembuatan akta otentik oleh seorang Notaris. Ketentuan ini diatur dalam Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (UU 02/2014). Dalam hal para pihak menghendaki akta dibuat dalam bahasa asing, maka notaris wajib menerjemahkannya ke dalam Bahasa Indonesia (Pasal 43 ayat (3) UU 02/2014).

Jika membicarakan tentang perjanjian, maka kita juga tidak bisa terlepas dari ketentuan-ketentuan yang ada dalam Buku III KUHPerdata. Syarat sahnya suatu perjanjian diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata, yaitu: (a) adanya kesepakatan mereka yang mengikatkan diri; (b) kecakapan para pihaknya; (c) adanya objek tertentu yang diperjanjikan; dan (d) suatu sebab yang halal. Syarat pertama dan kedua merupakan syarat subjektif, dimana pelanggaran atas dua hal ini akan menyebabkan perjanjian dapat dibatalkan. Sedangkan ketiga dan keempat merupakan syarat objektif, jika dilanggar menyebabkan perjanjian batal demi hukum.

Dalam KUHPerdata memang tidak mengatur Bahasa Indonesia sebagai syarat sahnya suatu perjanjian. OIeh karena itu, suatu perjanjian yang dibuat dengan bahasa asing tetap sah sepanjang memenuhi empat syarat yang diatur dalam KUHPerdata.

UU 24/2009 juga tidak mengatur adanya sanksi bagi pihak yang membuat perjanjian dalam bahasa asing. Tidak adanya aturan sanksi bagi pelanggar ketentuan Pasal 31 UU 24/2009 memang mengundang berbagai penafsiran. Dapat dikatakan sifat dari ketentuan ini bersifat fakultatif, tidak memaksa. Jika ada pihak yang melanggarnya, tidak seharusnya menimbulkan implikasi apapun bagi dirinya. Namun pada prakteknya pernah ada perjanjian yang kemudian dibatalkan oleh Pengadilan dengan alasan bertentangan dengan UU 24/2019 karena tidak menggunakan Bahasa Indonesia.[1]

Perjanjian yang dibuat antara para pihak yang salah satu maupun keduanya tunduk pada hukum Indonesia, memang sepatutnya disusun dalam Bahasa Indonesia. Paling tidak jika perjanjian menggunakan bahasa asing, terdapat terjemahannya dalam Bahasa Indonesia. Hal ini untuk memenuhi syarat formil yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, walaupun tidak ada kausa terlarang yang muncul semata-mata akibat dari perjanjian yang dibuat dengan bahasa asing. Sepanjang materi perjanjian tidak melawan hukum, memenuhi syarat objektif maupun subjektif, maka perjanjian tetap mengikat dan berlaku. Karena pada dasarnya syarat objektif terbentuk dari isi pokok klausul perjanjian, bukan dari penggunaan bahasanya.

Pembuatan perjanjian dengan dual bahasa juga perlu memperhatikan tafsir yang akan dipegang oleh para pihak. Tidak jarang para pihak bersengketa hanya karena ada perbedaan dalam menafsirkan suatu ketentuan dalam perjanjian, sehingga para pihak perlu menyepakati bersama pada saat proses awal pembuatan perjanjian terkait bahasa yang akan digunakan untuk menafsirkan perbedaan maksud yang mungkin terjadi dalam pelaksanaan perjanjian.

Dengan terbitnya Perpres 63, maka semakin mempertegas ketentuan penggunaan Bahasa Indonesia dalam ranah pemerintah sampai dengan perjanjian yang melibatkan perseorangan warga negara Indonesia. Dapat disimpulkan bahwa suatu perjanjian yang dibuat dengan tunduk pada hukum Indonesia, sudah selayaknya dibuat dalam versi Bahasa Indonesia. Begitu juga perjanjian yang dibuat di luar negeri tetapi salah satu pihaknya atau objeknya ada di Indonesia, terlepas adanya asas kebebasan berkontrak dan kesepakatan para pihak. Hal ini guna menghindari risiko perjanjian batal demi hukum.

Baik Perpres 63 maupun UU 24/2019 patut kita apresiasi sebagai salah satu bentuk publikasi Bahasa Indonesia kepada dunia. Namun hal ini tidak mungkin dilaksanakan secara letterlijk atau persis sama dengan konteksnya. Dalam artian jika suatu perusahaan asing ingin bekerjasama dengan perusahaan lokal tidak mungkin dipaksakan hanya dengan perjanjian yang menggunakan Bahasa Indonesia, melainkan tetap ada versi bahasa asing untuk mengakomodir pihak lainnya dalam perjanjian.

Kita semua memahami bahwa bahasa universal yang digunakan dalam forum-forum internasional adalah Bahasa Inggris. Penggunaan Bahasa Inggris menjadi titik tengah bagi para pihak yang memiliki latar belakang bahasa nasional yang berbeda untuk bisa berkomunikasi dengan baik dan lancar. Namun bahasa nasional yang diakui dan digunakan di negara kita adalah Bahasa Indonesia, sehingga dalam hal penyusunan perjanjian memang tidak bisa terlepas dari ketentuan ini guna memenuhi persyaratan undang-undang yang berlaku.

Baca juga artikel Tahap pembuatan perjanjian internasional

Referensi:

[1] Putusan No. 450/Pdt.G/2012/PN.Jkt.Bar

 

DISCLAIMER:

Any information contained in this Article  is provided for informational purposes only and should not be construed as legal advice on any subject matter.  You should not act or refrain from acting on the basis of any content included in this Legal Update without seeking legal or other professional advice.  This document is copyright protected. No part of this document may be disclosed, distributed, reproduced or transmitted in any form or by any means, including photocopying and recording or stored in retrieval system of any nature without the prior written consent of SIP Law Firm.

Setiap informasi yang terkandung dalam Artikel ini disediakan hanya untuk tujuan informasi dan tidak boleh ditafsirkan sebagai nasihat hukum tentang masalah apa pun. Anda tidak boleh bertindak atau menahan diri dari bertindak berdasarkan konten apa pun yang termasuk dalam Update Hukum ini tanpa mencari nasihat hukum atau profesional lainnya. Dokumen ini dilindungi hak cipta. Tidak ada bagian dari dokumen ini yang dapat diungkapkan, didistribusikan, direproduksi atau dikirim dalam bentuk apa pun atau dengan cara apa pun, termasuk fotokopi dan rekaman atau disimpan dalam sistem pengambilan apa pun tanpa persetujuan tertulis sebelumnya dari Firma Hukum SIP.